Ngaji Budaya: Ketika Pesantren Yogyakarta Menjadi Pusat Kajian Islam dan Tradisi

ngaji budaya
Sumber: google

Yogyakarta tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar, tetapi juga sebagai pusat kajian Islam yang kaya dengan nuansa budaya. Di tengah perkembangan zaman, pesantren di Yogyakarta tidak hanya menjadi tempat menghafal kitab kuning dan mendalami ilmu agama, tetapi juga wadah bagi perpaduan Islam dan kebudayaan Jawa. Fenomena ini dikenal dengan istilah “Ngaji Budaya”, yaitu kajian Islam yang tidak lepas dari nilai-nilai tradisi yang telah berkembang di masyarakat.

Pesantren dan Keistimewaan Budaya Yogyakarta

Sejak lama, pesantren di Yogyakarta memiliki karakter unik dalam mengajarkan Islam. Para kiai di daerah ini tidak hanya membimbing santri dalam aspek keagamaan, tetapi juga mengajarkan kearifan lokal yang berbasis budaya. Beberapa pesantren, seperti Pesantren Krapyak, Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Pesantren Pandanaran, dan Pesantren Ali Maksum, menjadi contoh bagaimana ajaran Islam tetap harmonis dengan nilai-nilai budaya Jawa, seperti kesenian, sastra, dan filosofi hidup.

Keistimewaan Yogyakarta sebagai daerah yang masih memegang erat tradisi kerajaan juga berpengaruh pada pola pendidikan pesantren. Beberapa tradisi Islam-Jawa yang masih terpelihara di lingkungan pesantren antara lain tahlilan, kenduri, maulid nabi, hingga mujahadah yang sering dikemas dengan kesenian seperti macapat atau sholawatan Jawa. Bahkan, di beberapa pondok pesantren, santri diajarkan menulis aksara Jawa dan membaca naskah-naskah klasik yang berisi ajaran Islam dengan corak budaya lokal.

Mengaji Islam Lewat Seni dan Budaya

Di beberapa pesantren Yogyakarta, santri tidak hanya diajarkan membaca kitab kuning, tetapi juga mengenal seni dan budaya Islam-Jawa. Beberapa pesantren memiliki program khusus seperti Ngaji Sastra Islam, yang mengupas makna keislaman dalam karya-karya sastra Jawa, seperti Serat Wedhatama, Serat Kalatidha, dan Serat Centhini. Karya-karya ini sering kali mengandung pesan moral dan nilai-nilai tasawuf yang sejalan dengan ajaran Islam.

Baca Juga  Cara Menerbitkan Novel dari Wattpad

Selain itu, ada pula pesantren yang membekali santrinya dengan keterampilan seni, seperti seni kaligrafi Arab-Jawa, hadrah, dan bahkan teater Islami. Beberapa kelompok seni di lingkungan pesantren juga aktif dalam melestarikan kesenian tradisional seperti Sholawat Jawa, yang dikombinasikan dengan gamelan. Tradisi sholawatan ini tidak hanya dipandang sebagai hiburan, tetapi juga sebagai bentuk dakwah kultural yang menarik bagi masyarakat luas.

Kajian Budaya di Beberapa Pesantren Yogyakarta

Beberapa pesantren di Yogyakarta secara khusus mengadakan kajian budaya yang menghubungkan Islam dengan tradisi lokal. Berikut beberapa pesantren yang aktif dalam kajian budaya:

  1. Pesantren Krapyak (Al-Munawwir)
    Di pesantren ini, selain mengaji kitab kuning, santri juga diajarkan macapat Islami, yaitu seni tembang Jawa yang mengandung nilai-nilai sufistik dan pesan moral Islam. Macapat ini sering dibacakan dalam berbagai acara keagamaan dan menjadi media dakwah yang efektif.
  2. Pesantren Kaliopak
    Pesantren ini dikenal dengan kajian Islam Nusantara dan diskusi mengenai hubungan Islam dan budaya lokal. Kegiatan Ngaji Budaya di pesantren ini sering menghadirkan budayawan dan intelektual Islam yang membahas filosofi hidup Jawa dalam perspektif Islam.
  3. Pesantren Pandanaran
    Pesantren ini memiliki program khusus di mana santri mempelajari kaligrafi Arab-Jawa. Kajian seni ini tidak hanya memperindah tulisan Arab, tetapi juga melestarikan seni menulis aksara Jawa dalam konteks keislaman.
  4. Pesantren Sunan Pandanaran
    Selain fokus pada tahfiz Al-Qur’an, pesantren ini juga memiliki kajian teologi Islam Jawa, yang membahas bagaimana konsep ketauhidan dalam Islam diharmonisasikan dengan filosofi Jawa, seperti ajaran hamemayu hayuning bawana (menjaga keseimbangan alam dan kehidupan).

Pesantren Sebagai Pusat Dakwah Budaya

Tidak dapat disangkal bahwa pesantren di Yogyakarta memiliki peran besar dalam menjaga harmoni antara Islam dan budaya. Beberapa kiai dan ulama besar dari Yogyakarta, seperti KH. Ali Maksum, KH. Mahrus Amin, dan KH. Muhammad Zainal Abidin, telah menunjukkan bahwa Islam bisa dikembangkan tanpa harus meninggalkan unsur budaya lokal.

Baca Juga  Sebuah Teks Biografi Dikatakan Faktual Jika Berdasarkan

Pesantren-pesantren di Yogyakarta sering mengadakan diskusi keislaman dalam bentuk “Ngaji Budaya”, yang membahas berbagai persoalan aktual dengan pendekatan budaya. Kajian ini tidak hanya diikuti oleh santri, tetapi juga oleh masyarakat umum, seniman, dan budayawan. Beberapa forum seperti Ngaji Kebangsaan dan Ngaji Rasa di Yogyakarta bahkan menggabungkan kajian keislaman dengan perspektif budaya, sosial, dan politik.

Pesantren dan Tantangan Modernisasi

Meskipun pesantren di Yogyakarta masih mempertahankan nilai-nilai budaya, mereka juga dihadapkan pada tantangan modernisasi. Globalisasi dan perkembangan teknologi membawa perubahan dalam cara santri mengakses ilmu pengetahuan. Namun, banyak pesantren yang tetap beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Beberapa kiai di Yogyakarta mengembangkan dakwah berbasis budaya di media sosial, mengadakan kajian ngaji filsafat Islam, hingga diskusi terbuka tentang hubungan antara Islam dan budaya lokal. Dengan cara ini, pesantren tidak hanya menjadi tempat pendidikan agama, tetapi juga pusat intelektual yang relevan dengan perkembangan zaman.

Tak hanya itu, pesantren juga semakin terbuka dalam merespons isu-isu kontemporer, seperti keberlanjutan lingkungan, hak asasi manusia, dan ekonomi kreatif. Beberapa pesantren bahkan mulai mengajarkan wirausaha berbasis kearifan lokal kepada santri mereka, sehingga mereka bisa tetap mempertahankan nilai-nilai Islam sambil berkontribusi dalam bidang ekonomi dan sosial.

Ngaji Budaya

Fenomena Ngaji Budaya di pesantren-pesantren Yogyakarta menunjukkan bahwa Islam dan budaya bisa berjalan seiring tanpa harus bertentangan. Tradisi-tradisi pesantren yang dipadukan dengan nilai-nilai budaya Jawa menjadikan Islam semakin membumi dan diterima oleh masyarakat luas.

Di tengah arus modernisasi, pesantren tetap menjadi penjaga nilai-nilai luhur Islam sekaligus pelestari budaya, membuktikan bahwa Islam tidak hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang bagaimana merawat peradaban. Dengan tetap menjaga keseimbangan antara nilai Islam dan budaya lokal, pesantren di Yogyakarta terus menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang religius sekaligus berbudaya.

Baca Juga  Menelusuri Jejak Wali di Madura

***

Sumber : diolah ulang dari berbagai situs media dan karya tulis ilmiah

Media keislaman by : dawuhguru.co.id

Baca juga: Silsilah keluarga KH Muhammad Munawwir Krapyak

Respon (1)

Komentar ditutup.