Jejak Keilmuan Tuan Guru Bangil dari Martapura hingga Makkah

Datu Muhammad Syarwani Abdan Bangil, lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bangil, adalah seorang ulama besar dari daerah Melayu Ilir, Martapura, Kalimantan Selatan.

Tuan Guru Bangil lahir pada tahun 1915 M. Perlu digarisbawahi bahwa, ia merupakan keturunan ke-6 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama besar, mufti Kesultanan Banjar.

Ia juga dikenal karena perannya dalam mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur pada tahun 1970. Selain itu, Tuan Guru Bangil juga pernah menuntut ilmu di Masjid al-Haram, Makkah al-Mukarramah, dan memiliki banyak murid yang menjadi ulama masyhur.

Tuan Guru Bangil wafat pada tanggal 11 September 1989 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawur, Kota Bangil. Makamnya sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah.

Mengenal Lebih Jauh Sanad Keilmuan Tuan Guru Bangil

Sejak kecil, Tuan Guru Bangil memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi untuk belajar ilmu agama. Ketika belajar, ia sangat serius dan tekun, sehingga guru-gurunya sangat menyayanginya. Semenjak berdomisili di Martapura, ia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebaliknya, beliau memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperdalam ilmu agama. Ia sempat belajar kepada ulama-ulama ternama di Martapura, termasuk kepada pamannya sendiri, yaitu:

1. K.H. Kasyful Anwar
2. Qadhi H. Muhammad Thaha
3. K.H. Ismail Khatib, di Desa Dalam Pagar, serta guru-guru lainnya.

Dalam usahanya menuntut ilmu, ia merasa bahwa apa yang diperolehnya dari para guru di Martapura masih belum cukup. Akhirnya, perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan ke Tanah Suci Makkah.

Ia berangkat ke Makkah bersama sepupunya, Muhammad Anang Sya’rani, untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan studi di kota suci tersebut. Di bawah pengawasan guru sekaligus pamannya, K.H. Kasyful Anwar mereka berdua belajar dengan tekun agar kelak dapat berdakwah menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di bumi Nusantara.

Baca Juga  Silsilah Keluarga KH Said Aqil Siraj

Selama berada di Makkah, mereka berguru kepada ulama-ulama terkenal yang memiliki reputasi internasional, di antaranya:

1. As-Sayid Amin Kutbi
2. Syaikh Umar Hamdan at-Tunisi
3. Syaikh Haji Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari

Di Makkah, ia memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam. Selain itu, beliau juga menerima banyak silsilah sanad ilmu dan amalan yang langsung diperoleh dari para gurunya yang memiliki pengetahuan yang sangat mendalam. Selain sanad ilmu yang didapatkan, beliau juga menerima sanad ilmu Tarekat dari Syaikh Mursyid pada masa itu.

Misalnya, Tuan Guru Bangil memperoleh sanad dan ijazah Tarekat Naqsyabandiyah dari Syaikh Umar Hamdan dan sanad serta ijazah Tarekat Sammaniyah dari Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari.

Di antara para murid yang belajar pada masa itu, Tuan Guru Bangil termasuk salah satu yang paling disayangi oleh gurunya, Sayid Amin Kutbi. Dalam ilmu Tasawuf, beliau banyak dipengaruhi oleh dan mengikuti ajaran Sayid Amin Kutbi, sehingga akhirnya beliau diangkat sebagai khalifah Sayid Amin Kutbi di Indonesia.

Tuan Guru Bangil, saat belajar di Makkah, sering kali diminta oleh gurunya untuk menggantikan mengajar di Masjidil Haram. Banyak orang datang untuk belajar kepadanya, termasuk santri-santri yang berasal dari Indonesia. Setelah sekian lama tinggal di Makkah al-Mukarramah, di mana beliau belajar dan mengajar serta selalu berada dalam lingkungan ilmu, akhirnya dengan izin dan restu dari para gurunya, beliau kembali ke kampung halamannya di Bumi Intan, Martapura, untuk mengembangkan ilmu yang telah diperolehnya di Makkah. Sesampainya di kampung halaman, beliau menghabiskan waktunya untuk mengajar, muthala’ah, dan beribadah.

Tuan Guru Bangil adalah seorang ulama yang wara’, tawadhu’, khumul, dan selalu menyembunyikan diri, sehingga banyak orang yang tidak mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Ia pernah ditawari untuk menjadi seorang Qadhi di kota Martapura, namun beliau menolak tawaran tersebut dengan lemah lembut. Beliau beralasan bahwa dirinya lebih senang menjalani kehidupan yang mandiri dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengabdi dalam dunia pendidikan agama.

Baca Juga  Biografi Lengkap Joko Tingkir Beserta Ajarannya

Ia adalah seorang ulama yang menguasai berbagai cabang ilmu agama, baik syariat, tarekat, maupun hakikat. Selain menguasai ilmu-ilmu tersebut, ia juga hafal al-Qur’an.

Tuan Guru Bangil adalah sosok ulama yang tidak pernah kenal lelah dan tanpa pamrih dalam berjuang melanjutkan cita-cita Datuknya, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Pada tahun 1946 M, ia bersama keluarganya hijrah ke Bangil, Jawa Timur, dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Meskipun memiliki sifat tawadhu’, ia menyadari bahwa Bangil bukan wilayah asalnya, sehingga ia enggan membuka pengajian di sana. Namun, akhirnya para ulama di Jawa Timur mengetahui siapa sebenarnya jati diri beliau, meskipun beliau berusaha menyembunyikan identitasnya.

Suatu hari, ketika para guru hendak pergi mengaji ke kediaman K.H. Hamid Pasuruan. Kiai Hamid tidak bersedia mengajari mereka. Sebaliknya, Kiai Hamid merekomendasikan agar mereka mengaji kepadanya.

Setelah Kiai Hamid memerintahkan dan merestui mereka untuk belajar kepada Tuan Guru Bangil, mereka pun pergi menuju kediamannya, yang tidak jauh dari kota Pasuruan.

Anehnya, ketika mereka tiba di rumah beliau, Tuan Guru Bangil sedang muthala’ah beberapa kitab, yang pada saat itu masih terbuka di hadapannya. Sebelum mereka sempat menyampaikan maksud kedatangannya, beliau dengan lembut menanyakan pertanyaan kepada mereka.

“Para kiai yang saya muliakan, apakah masalah ini yang kiai ingin tanyakan?” tanya beliau sambil menunjuk ke kitab yang sudah beliau sediakan dalam keadaan terbuka. Semua yang hadir merasa heran dan kagum, karena semua pertanyaan yang sudah dipersiapkan seakan-akan telah terjawab hanya dengan beliau menunjukkan kitab tersebut, bahkan sebelum pertanyaan diajukan.

Hal ini terjadi berulang kali. Setelah mereka yakin, barulah para kiai memohon agar beliau bersedia mengajari mereka. Dengan izin Kiai Hamid, yang merupakan sesepuh dan pemimpin para kiai di daerah itu, akhirnya beliau bersedia mengajar mereka. Sekitar tahun 1970-an, beliau mendirikan sebuah pondok pesantren yang bernama Datuk Kalampaian. Nama tersebut diambil dari gelar Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai bentuk tafa’ul kepada sang Datuk. Kebanyakan santri yang belajar di pondok itu berasal dari luar Pulau Jawa, seperti dari tempat kelahiran beliau di Kalimantan dan dari Pulau Sumatra.

Baca Juga  Haji Muhammad Nur Langkat Disebut-sebut Benteng Sebagai Penjaga Mazhab Syafi'i

Dalam memimpin pondok pesantren, beliau menangani semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Beliau mengajar sepanjang hari hingga malam untuk meningkatkan amaliah santri. Bahkan dalam keadaan sakit, beliau tetap memberikan pelajaran kepada santri-santrinya meskipun sambil berbaring.

Setelah di antara anak didiknya ada yang dianggap mumpuni dan mampu mengajar, beliau mempercayakan mereka untuk membantu mengajar para santri baru. Banyak dari santri-santri tersebut yang kemudian menjadi alim dan tersebar di penjuru Nusantara, seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Setelah ia wafat, kepemimpinan Pondok Pesantren Datuk Kalampaian diteruskan oleh putranya, K.H. Kasyful Anwar, yang merupakan menantu K.H. Anang Sya’roni Arif dari Martapura. (*)