Gus Maksum atau K.H. Maksum Jauhari sang Pendekar Gondrong dari NU adalah salah satu ulama’ yang memiliki peran besar dalam perkembangan Islam di Jawa Timur. Beliau merupakan Kiai yang nyentrik dan mempunyai Kharisma khusus, terutama dalam bidang Ilmu Kanuragan.
Ketika menelusuri Nasab dan Garis Keturunan K.H. Maksum Jauhari, penulis telah mendapatkan beberapa data yang mencatat bahwa beliau lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, beliau merupakan seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo K.H. Abdul Manaf. Tidak heran jika beliau menjadi begitu kondang dan tersohor, bukan karena kelincahan gerak silatnya saja, melainkan juga karena kearifan dan kharismatik beliau sebagai seorang Kyai.
Kakeknya adalah santri dari Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari. Di bawah Asuhan Mbah Hasyim dengan tradisi keilmuan khas Tebu Ireng Jombang, kematangan pribadi Kyai Abdul Manaf banyak terbentuk dan semakin balance, ketika nyantri di Tebu Ireng beliau adalah teman segenerasi dengan Ulama’ Kharismatik Ahli Ilmu Kadigdayan yang berasal dari Pekalangan, Cirebon, beliau bernama K.H. Abbas, yaitu menantu Pendiri Pesantren Buntet.
K.H. Maksum atau yang sering disapa dengan Gus Maksum adalah murid dari ayahnya sendiri, ia belajar kepada K.H. Abdullah Jauhari. Selain belajar kepada ayahnya, Gus Maksum juga menimba Ilmu di Sekoah Dasar, layaknya seorang pemuda seusianya, beliau menempuh pendidikan di SD Kanigoro pada Tahun 1957. Setelah lulus dari SD Kanigoro kemudian beliau melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Karena beberapa data yang penulis dapatkan mencatat bahwa Gus Maksum terlalu jenius dan cerdas, sehingga Gurunya yang mengajar, justru malah diajari.
Bagi Gus Maksum, pendidikan bukan hanya didapatkan di bangku Sekolahan, beliau tidak terpaku pada ilmu-ilmu yang ada di perpustakaan sekolah, dan cerita-cerita bijaksana dari guru-gurunya di sekolahan. Karena bagi Gus Maksum, perpustakaan yang sesungguhnya adalah segala persoalan di muka bumi ini, sehingga beliau lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan.
Bagi warga Nahdliyin, nama Kiai Maksum Jauhari atau Gus Maksum, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, selain dikenal sebagai kiai juga dikenal sebagai pendekar. Sebab selain pandai mengaji kitab kuning, kiai nyentrik tersebut juga ahli dalam seni beladiri atau silat.
Semasa kecil Gus Maksum tidak hanya diisi dengan rutinitas mengaji. Namun dia juga gemar mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa untuk berguru ilmu silat. Dari hasil pengembaraannya itulah beliau di masa dewasanya tampil menjadi pendekar legendaris di kalangan NU.
Penampilan Kiai NU ini terbilang nyentrik; berambut gondrong, jenggot dan kumis panjang, bersarung setinggi lutut, memakai bakiak, berpakaian seadanya dan tidak makan nasi. Di kalangan dunia persilatan, beliau dikenal sangat mahir dan menguasai berbagai aliran silat dengan sempurna.
Konon saking saktinya sampai rambut beliau tidak mempan dipotong, mulutnya bisa menyemburkan api, mahir menaklukkan jin, mampu melemparkan sapi seperti melemparkan sandal, tidak mempan disantet, tidak mempan senjata tajam, dan lain sebagainya.
Gus Maksum kembali keharibaan-Nya di Kanigoro pada 12 Januari 2003. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga, sebelah barat masjid lama Ponpes Lirboyo. Kiai yang lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada 8 Agustus 1944 itu juga merupakan pendiri perguruan silat NU Pagar Nusa yang kini semakin banyak anggotanya di berbagai belahan Nusantara.
Nasab Keturunan
Ulama’ merupakan subyek utama dalam agenda penyebarluasan Islam di Bumi Nusantara, mereka adalah Begawan-begawan pembawa ajaran Islam yang pada akhirnya bisa diterima di bumi Nusantara. Termasuk K.H. Maksum Jauhari.
Ajaran Islam diajarkan oleh Gus Maksum tentu saja tidak serta merta, tetapi bertahap dan gradual. Ada dinamika yang mewarnainya. Namun, yang menarik adalah tingkat kecepatan dan akseptabilitasnya yang cukup cepat. Dengan keahliannya bela diri, ia mampu menyerap masyarakat sekitar untuk menimba ilmu kepadanya. Pada posisi inilah penting digeledah dan diungkapkan bahwa kunci tingkat akseptabilitas itu tentu saja terletak selain pada ketepatan memilih metode dalam misi menyebarkan Islam tersebut, juga adanya ulama-ulama cerdas dan santun dalam mengkomukasikan ajarannya.
Pertanyaan paling mendasar adalah siapakah dibalik kehebatan K.H. Maksum Jauhari pada saat itu? Rasanya kurang lengkap jika menelisik nasab keturunan K.H. Maksum Jauhari, namun kita sendiri belum mengetahui siapa Ayah K.H. Maksum Jauhari. Kiai Berambut Keriting yang panjang ini Anak dari Seorang Kiai yang sangat Masyhur di Kanigoro, ia adalah K.H. Abdullah Jauhari, sedangkan K.H. Abdullah Juhari adalah anak dari K.H. Abdul Karim (Pendiri Pesantren Lirboyo)
Kakek Gus Maksum adalah Kiai yang punya Kontribusi besar dalam proses pendirian Pesantren Lirboyo, ia bernama K.H. Abdul Karim, lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecil beliau dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melanglang buana dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau berangkat bersama sang kakak (Kiai Aliman).
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di desa Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setalah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7 tahun lamanya beliau menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya beliau nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, beliau kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan ulama’ kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.
Peran Sentral Lirboyo Dalam Penumpasan PKI
Saat meletus peristiwa G30S/PKI, Lirboyo adalah kiblat perjuangan masyarakat di eks-Karesidenan Kediri, bahkan sebagimana diakui Gus Maksum 60% dari proses Penumpasan dan pembersihan sisa-sisa PKI di wilayah Karesidenan Kediri berasal dari komando para Masyayikh Lirboyo. Peran sentral itu tidak lepas dari sejarah perjalanan panjang Lirboyo dalam memimpin masyarakat sejak zaman kolonialisme Jepang dan Belanda. Pasukan PETA misalnya, dibentuk di Lirboyo dan berawal dari inisiatif Kiai Ibrahim (Banjarmlati, ipar Kiai Abdul Karim), sedangkan Laskar Hizbullah-Sabilillah di Kediri disponsori oleh Kiai Mahrus Ali, yang di belakang hari menjadi embrio terbentuknya Kodam V Brawijaya.
Peran sentral itu tidak hanya berhenti disitu. Dimasa pemberontakan PKI aksi sepihak yang dilancarkan diberbagai daerah seperti Banyuwangi, Besuki, Blitar, Pemalang, Indramayu, Kediri dan lain-lain menggugah kesadaran para pengasuh Lirboyo untuk bertindak. Saat peristiwa Madiun, Kiai Mahrus Ali bersama para santrinya berangkat ke Madiun untuk menumpas pemberontakan PKI disana. Pasukan Kiai Mahrus Ali bergabung dengan Brigade S.Soerahmad dan berhasil menumpas pemberontakan disana. Sikap tegas Kiai Mahrus Ali sempat mengundang kekhawatiran sebagian kalangan. Bahkan ketika anggota PKI di Kediri banyak yang dibersihkan. Komando korem Kediri kala itu, Wili Sujono dipanggil presiden Soekarno ke Istana Negara dan ditanya mengapa anggota PKI di Kediri banyak yang dihabisi? Dengan tegas Wili Sujono menjawab, bahwa tindakan itu atas restu para pengasuh Lirboyo, khususnya Kiai Mahrus Ali serta Kiai Wahab Hasbullah (Tambak Beras, Jombang). Ternyata hanya dengan jawaban singkat itu presiden Soekarno tidak melanjutkan pertanyaannya dan tidak memberikan sangsi apapun kepada Wili Sujono.
Keprihatinan para pengasuh Lirboyo semakin memuncak kala mendengar intensitas teror, sabotase dan aksi sepihak yang dilakukan PKI. Lebih-lebih ketika mendengar melalui RRI bahwa Tujuh Jendral telah dibantai oleh mereka. Terkait peristiwa itu, Komandan Resimen Kediri, Kolonel Sampoerno mengontak Ketua Umum NU Wilayah Kediri, Syafi›i Sulaiman dan meminta untuk mengadakan apel besar warga NU, GP Ansor dan santri di alun-alun Kediri. Atas restu Kiai Mahrus Ali dan para Masyayikh Lirboyo lainnya, apel besar itu pun dilaksanakan pada 13 Oktober 1965, kemudian diteruskan dengan penumpasan besar-besaran PKI dan seluruh antek-anteknya diwilayah Karesidenan Kediri.
Gus Maksum sebagai orang yang dekat dengan Kiai Mahrus didapuk sebagai Komandan Tempur lapangan dalam setiap aksi penumpasan. Kedekatan Gus Maksum dengan Kiai Mahrus ini tampak ketika setiap ada tamu meminta restu, melapor atau berkomunikasi dengan Kiai Mahrus Ali, disamping beliau ada Gus Maksum. Sebaliknya, setiap ada tamu yang mau melapor atau menghadap kepada Gus Maksum disana pasti ada Kiai Mahrus.
Fakta lain yang menambah kewaspadaan para Masyayikh Lirboyo adalah; satu setengah bulan sebelum pembantaian para Jenderal, di belakang kediDaman Kiai Mahrus Ali dan sebelah timur desa Lirboyo ditemukan barongan(penutup galian yang terbuat dari bambu). Ditempat itu sudah digali sebuah sumur yang rencananya akan digunakan untuk mengubur Kiai Mahrus. Sedang disebelah barat areal pondok terdapat galian yang sangat besar dan dirancang untuk tempat mengubur santri. Sekedar catatan, santri Lirboyo kala itu belum begitu banyak, sedang anggota PKI diwilayah Kediri sudah sangat banyak dan dominan.
Wafat
Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa. (*)