Biografi KH. Hasan Gipo: Ketua Umum Tanfidziyah Pertama PBNU
KH. Hasan Gipo, yang dikenal juga sebagai Hasan Basri, merupakan tokoh penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU). Ia lahir di Surabaya pada tahun 1896 dan wafat di kota yang sama pada tahun 1934. Sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU pertama, ia mendampingi KH. Hasyim Asy’ari dalam membangun pondasi organisasi yang kini menjadi salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Silisilah Keluarga, Latar Belakang dan Dinasti Gipo
KH. Hasan Gipo berasal dari keluarga santri yang kaya dan berpengaruh di kawasan elite perdagangan Ngampel, Surabaya. Dinasti Gipo ini didirikan oleh Abdul Latif Sagipoddin, atau Tsaqifuddin, yang dikenal sebagai tokoh dengan etos kewirausahaan tinggi. Hasan Gipo adalah generasi kelima dari dinasti ini, yang juga memiliki hubungan erat dengan Sunan Ampel.
Sebagai seorang pemuda, Hasan Gipo mendapatkan pendidikan yang memadai. Selain belajar di pesantren sekitar Surabaya, ia juga mengenyam pendidikan umum ala Belanda. Meskipun demikian, jiwa kesantriannya tetap kuat, dan semangat kewirausahaannya menjadikannya salah satu tokoh penting dalam dunia perdagangan di kawasan Pabean, Surabaya.
Saudagar Sukses dan Aktivis Pergerakan
Hasan Gipo tak hanya dikenal sebagai saudagar sukses, tetapi juga sebagai aktivis pergerakan. Ia memiliki hubungan erat dengan para ulama dan tokoh pergerakan nasional. Bersama KH. Wahab Hasbullah, ia sering bertemu tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo, Soekarno, dan Kartosuwiryo. Pertemuan-pertemuan ini menjadi bagian dari upaya merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai pendukung aktif Nahdlatul Wathan (1914), Taswirul Afkar (1916), dan Nahdlatut Tujjar (1918), Hasan Gipo turut memfasilitasi berbagai diskusi dan kegiatan para ulama. Ketika Komite Hejaz dibentuk untuk mengirim utusan ke Makkah, Hasan Gipo berperan besar dalam menghimpun dan menyumbangkan dana.
Ketua Tanfidziyah PBNU Pertama
Pada saat NU berdiri, Hasan Gipo ditunjuk sebagai Ketua Tanfidziyah oleh KH. Wahab Hasbullah. Penunjukan ini disetujui oleh KH. Hasyim Asy’ari, mengingat kontribusi besar Hasan Gipo dalam bidang administrasi, penggalangan dana, dan dukungannya terhadap organisasi.
Sebagai Ketua Tanfidziyah, Hasan Gipo terus mengembangkan NU, baik melalui dukungan finansial maupun pengelolaan organisasi. Ia memanfaatkan jaringan bisnisnya untuk mendukung kegiatan NU, termasuk sosialisasi dan pengembangan NU ke daerah-daerah lain. Dalam waktu singkat, NU berhasil menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, bahkan Singapura.
Peran dalam Bidang Ekonomi
Hasan Gipo juga menginisiasi berbagai kegiatan ekonomi untuk mendukung kemandirian NU. Bersama para pengusaha lain di NU, ia membentuk syirkah dan merintis usaha impor sepeda dari Eropa, pengimporan gerabah dari Jepang, serta industri percetakan. Langkah-langkah ini membantu NU tetap mandiri dan bebas dari pengaruh kolonial.
Debat dengan Muso PKI
Salah satu momen penting dalam perjalanan hidup Hasan Gipo adalah perdebatan teologi dengan Muso, tokoh PKI yang dikenal sebagai orator ulung. Dalam debat tersebut, Hasan Gipo berhasil mematahkan argumen Muso dan bahkan menantangnya secara fisik, menunjukkan keberaniannya sebagai seorang santri sekaligus pemimpin.
Warisan dan Akhir Hayat
Setelah dua periode menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah, Hasan Gipo kembali fokus mengembangkan bisnisnya. Keuntungan bisnisnya sebagian besar disumbangkan untuk mendukung kegiatan NU. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1934, ia tetap aktif berkontribusi untuk NU dan pesantren.
KH. Hasan Gipo dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel, bersama keluarga besar Dinasti Gipo. Warisannya sebagai saudagar, aktivis, dan pemimpin terus dikenang sebagai salah satu fondasi penting dalam perkembangan NU dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.