Haji Muhammad Nur Langkat Disebut-sebut Benteng Sebagai Penjaga Mazhab Syafi’i

Dalam Konferensi Internasional Melayu Kedua yang diadakan pada 15 – 20 Agustus 1989, Pusat Manuskrip Melayu, Perpustakaan Negara Malaysia, menyusun catatan biografi beberapa ulama dunia Melayu untuk dipamerkan dalam konferensi tersebut.

Di antara banyak pengunjung pameran, terdapat seorang pemuda yang merupakan cucu dari ulama yang dibahas dalam biografi ini. Pemuda tersebut menyerahkan riwayat hidup ulama tersebut serta beberapa foto yang dianggap penting kepada Hj. Wan Mohd Shaghir Abdullah.

Paparan riwayat ulama yang dibahas ini merupakan kombinasi dari catatan tahun 1989 dan naskah yang diserahkan kepada Hj. Wan pada bulan Juli 2004. Pemuda tersebut bernama Shahrir bin Mohd Kamil bin Haji Muhammad Nur Ismail.

Saat membicarakan ulama Langkat, perlu dicatat bahwa pada zaman yang sama terdapat dua ulama bernama Muhammad Nur Langkat. Salah satu dari mereka adalah Mufti Kerajaan Langkat, dan yang lainnya adalah Kadi Kerajaan Langkat. Keduanya merupakan ulama besar dan pernah menuntut ilmu bersama di Makkah. Ulama yang dibahas dalam artikel ini adalah Muhammad Nur yang menjadi Kadi.

Biografi

Nama lengkapnya adalah Haji Muhammad Nur bin Haji Ismail. Ayah dan ibunya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Haji Muhammad Nur juga lahir di Minangkabau pada tahun 1296 H / 1879 M. Ia meninggal dunia di Kampung Baru, Kuala Lumpur, pada hari Rabu, 18 Dzulhijjah 1362 H / 15 Desember 1943 M, pada usia 65 tahun. Ia dimakamkan di Pemakaman Islam Ampang, Kuala Lumpur.

Haji Muhammad Nur mendapatkan pendidikan awal dari ayahnya sendiri, Ismail al-Minankabawi, yang merupakan salah satu pembesar di Kerajaan Langkat. Setelah mendapatkan banyak ilmu dari ayahnya dan ulama-ulama di Langkat, Haji Muhammad Nur dikirim ke Makkah untuk memperdalam berbagai bidang ilmu. Haji Muhammad Nur belajar di Makkah selama sekitar 10 tahun.

Baca Juga  Biografi dan Riwayat Hidup KH Muhammad Ilyas Bagian 3

Meskipun ulama-ulama yang menjadi gurunya telah banyak kali disebutkan dalam tulisan-tulisan terdahulu, di sini nama-nama tersebut tetap dicantumkan karena ditulis oleh Shahrir bin Mohd Kamil, cucu Haji Muhammad Nur, berdasarkan hasil penyelidikannya.

Ulama-ulama yang disebut oleh Shahrir bin Mohd Kamil sebagai guru dari kakeknya adalah Syaikh Wan Ahmad al-Fathani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minankabawi, Syaikh Ahmad bin Muhammad Yunus Lingga, Syaikh Wan Ali Kutan, Syaikh Mukhtar bin `Atharid Bogor, dan Syaikh Usman Sarawak.

Selain menyebutkan ulama-ulama yang berasal dari dunia Melayu, Shahrir bin Mohd Kamil juga menyebutkan para ulama Arab yang pernah menjadi guru Haji Muhammad Nur Langkat, yaitu Syaikh Muhammad Said Babshail (Mufti Mazhab Syafi’i), Syaikh Muhammad bin Yusuf Khaiyath, Syaikh `Umar Bajunid, dan Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani.

Praktek

Haji Muhammad Nur Langkat juga menerima praktik Tarekat Naqshabandiah ketika berada di Makkah. Diriwayatkan bahwa sejak di Makkah hingga akhir hayatnya, Haji Muhammad Nur Langkat senantiasa mengamalkan selawat dan seluruh wirid yang termaktub dalam “Lum’atul Aurad,” karya Syaikh Wan Ali bin Abdur Rahman Kutan al-Kalantani.

Shahrir bin Mohd Kamil juga menyebutkan bahwa sahabat-sahabat Haji Muhammad Nur bin Ismail Langkat ketika berada di Makkah antara lain adalah Syaikh Tahir Jalaluddin, Syaikh Hasan Maksum Deli, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli Bukittinggi, Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Hamka), Kiai Haji Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur, mantan Presiden Indonesia), Tok Kenali, Tok Kelaba, Syaikh Abdullah Fahim (kakek Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia), Syaikh Wan Sulaiman (Syaikhul Islam Kedah), serta sejumlah ulama Melayu lainnya yang menuntut ilmu di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Baca Juga  Silsilah Keluarga KH Yusuf Masyhar

Aktivitas

Setelah 10 tahun di Makkah, Haji Muhammad Nur pulang ke Sumatera. Kepulangannya diketahui oleh Sultan Langkat, Sultan Abdul Aziz ibni Sultan Musa, yang juga merupakan salah seorang murid Syaikh Ahmad al-Fathani dan sahabat seperguruan Haji Muhammad Nur. Sultan Abdul Aziz kemudian menunjuk Haji Muhammad Nur sebagai Kadi Kerajaan Langkat Bagian Hulu. Pada waktu itu, posisi Mufti Kerajaan Langkat dijabat oleh sahabatnya yang juga bernama Syaikh Muhammad Nur, yang memiliki nama mirip dan sama-sama menuntut ilmu di Makkah.

Selama Haji Muhammad Nur menjabat sebagai Kadi Kerajaan Langkat, muncul istilah Kaum Tua dan Kaum Muda. Haji Muhammad Nur bin Ismail (Kadi), Syaikh Muhammad Nur (Mufti), serta ulama-ulama Langkat lainnya tetap teguh memegang ajaran Kaum Tua.

Sebaliknya, beberapa sahabatnya seperti Syaikh Tahir Jalaluddin, Syaikh Abdul Karim Amrullah, dan lainnya, menjadi penyebar dan tokoh Kaum Muda. Seperti di banyak negara lain, di Kerajaan Langkat juga terjadi serangkaian perdebatan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Haji Muhammad Nur bin Ismail, sebagai seorang kadi, menjadi benteng kokoh dalam mempertahankan mazhab Syafi’i dan Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dari serangan Kaum Muda.

Selain menjalankan tugasnya sebagai kadi, Haji Muhammad Nur bin Ismail juga aktif mengajar putra-putri Kerajaan Langkat. Dalam pengajarannya, Haji Muhammad Nur menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu dasar seperti tauhid, fikih, tasawuf, nahwu, saraf, dan berbagai ilmu Islam lainnya.

Setelah pindah ke Kuala Lumpur, sahabatnya, Tengku Mahmud Zuhdi, yang pada waktu itu menjabat sebagai Syaikh al-Islam Selangor, menugaskan Haji Muhammad Nur untuk mengajar di beberapa tempat di Kuala Lumpur, termasuk di Masjid Jamek, Kampung Baru, dan tempat-tempat lainnya. (*)