Opini  

Eksistensi Awal Munculnya Pemikiran Teologi Dalam Dunia Islam


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Oleh: Bella Ana Sahida

Islam adalah agama dengan sejarah perjuangan teologis yang panjang. Teologi Islam memiliki sejarah panjang, telah berpartisipasi dalam perjuangan ideologis aktif berdasarkan fakta di panggung ilmu pengetahuan dunia dan peradaban politik. Berbagai konsep dan sudut pandang teologi muncul secara dialektis dalam suasana budaya Islam.

Teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan agama. Teologi mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Teologi digunakan oleh para teolog untuk memahami tradisi agama mereka sendiri atau agama lain. Selain karena banyaknya metode yang digunakan umat Islam untuk mengenal Tuhan, alasan yang melatarbelakangi munculnya berbagai konsep para teolog Islam juga berkaitan dengan wajah Tuhan itu sendiri. Syekh Akbar Ibn’Arabi membagi Tuhan menjadi dua wajah: esensi dan atribut. Wajah Tuhan yang terdiri dari esensi dan alam telah menyebabkan perbedaan pandangan di kalangan mutakallim. Beberapa orang mengklaim bahwa Tuhan memiliki sifat, sementara yang lain tidak percaya bahwa Tuhan memiliki atribut.

Dinamika dan dialektika sejarah teologi Islam di atas masih mencari arah, bahkan dikuatkan dalam konteks Indonesia. Munculnya gerakan Islam Puritan dengan tema radikalisme Islam, yang menuntut Islam ditarik sejak dini, merupakan wujud penguatan teologi Wahhabi dan Salafiah. Lahirnya konsep teologi ini antara lain karena lahirnya gerakan kebangkitan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang tergolong neokonservatif.

Sejarah teologi islam tidak terlepas dari persoalan politik yang muncul selepas wafatnya Rasulullah saw. Ketika Nabi Muhammad mulai menyebarkan ajaran Islam di Mekah, kota ini memiliki sistem sosial di bawah kepemimpinan suku Quraisy. Saat itu Nabi saw melihat bahwa dengan Khulafaurrasyidin, umat Islam bersatu, mereka memiliki akidah, hukum Islam dan moralitas. Jika mereka memiliki perbedaan, mereka dapat diselesaikan melalui wahyu, dan tidak ada perselisihan di antara mereka. Awal mula perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba (Yahudi) pada masa pemerintahan Usman bin Afan dan berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Awal mula tanda-tanda sekte dimulai dengan khalifah Usman bin Affan (khalifah ketiga setelah wafatnya Nabi Muhammad). Saat itu, karena adanya kepentingan kelompok yang menyebabkan perselisihan terus-menerus hingga terbunuhnya Khalifah Usman bin Afan. Kemudian digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib.Pada saat itu, perpecahan dalam komunitas Muslim terus berlanjut.[1]

Baca Juga  Gus Muwafiq dan Dakwahnya di Ruang Virtual

Berdasarkan pendapat di atas, sumber lain menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad, hingga masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M), tidak ada masalah teologis di kalangan umat Islam. Masalah baru muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M). Dengan munculnya Kelompok Khawarij, para pendukung Ali tidak setuju dengan Ali untuk menerima tahkim (arbitrase) Sikap menyelesaikan konfliknya dengannya terpecah . Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur SyNoam. Selama Perang Shiffin.

Masalah politik adalah penyebab utama dari masalah teologis dalam Islam. Khawarij percaya bahwa tahkim adalah cara untuk memecahkan masalah, tidak berdasarkan Al-Qur’an, tetapi ditentukan oleh orang itu sendiri. Mereka yang tidak menentukan hukum oleh Al-Qur’an adalah bid’ah.Oleh karena itu, orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir.Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Muawiyah dan pendukungnya semuanya kafir, Karena mereka adalah “murtakib al Kabirah” atau orang-orang yang bersalah.Teologi Islam (ilmu kalam) sebenarnya merupakan disiplin ilmu mandiri yang tidak ada pada zaman Nabi atau para sahabatnya. Namun, hanya ketika banyak orang berbicara tentang medan tak kasat mata (metafisika). Munculnya permasalahan teologis ini disebabkan oleh banyak faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal yang berasal dari umat Islam itu sendiri.[2]

Dalam perkembangan selanjutnya, Kavariji tidak hanya menganggap orang yang tidak menghukum apapun dengan Quran sebagai kafir, tetapi juga setiap Muslim yang melakukan kejahatan berat bagi mereka adalah kafir.Pandangan ini ditentang keras oleh umat Islam lainnya, sehingga muncul sekte baru bernama Murji’ah. Menurut pandangan mazhab ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang yang sesat, ia tetap seorang yang beriman. Besarnya dosa yang dia lakukan tergantung pada Allah, apakah diampuni atau tidak.Belakangan lahir lagi sekte baru, yaitu Mutazla, yang meyakini bahwa umat Islam yang berduka atas dosa-dosanya bukanlah mukmin atau kafir, melainkan menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).Pada abad kedua Masehi, filsafat dan pemikiran rasional Yunani memasuki dunia Islam, yang berdampak signifikan terhadap perkembangan pemikiran teologis Muslim.[3]

Baca Juga  Bahaya Bahaya Ilmu Menurut Imam Al Ghozali

Mu’tazilah menempatkan rasionalitas pada posisi yang tinggi, sehingga banyak produk pemikiran mereka yang tidak sesuai dengan pandangan kaum tradisionalis, sehingga mengembangkan pemikiran mereka secara rasional.Ketika Al-Ma’mun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah, menetapkan Mu’tazilah sebagai sekolah resmi dan memaksakan pemahaman Mu’tazilah pada umat Islam. Sebagai pendukung dan pendukung mazhab Al-Ma’mun Mu’tazilah Khalifah, perlu diajarkan kelompok ahli hadits karena mereka bertekad untuk membelaAl-Qur’an tidak “diciptakan” (makhluq), justru semakin merajalela, terutama di Bagdad. Berbagai gejolak sosial di Bagdad antara para ahli hadis dan kaum Syiah tak pelak mengganggu keamanan ibu kota. Sebagai seorang khalifah yang mencari dukungan Syiah, tidak mengherankan jika ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap para ahli hadis.[4]

Sebagai topik yang kontroversial, Al-Qur’an mungkin lebih merupakan alasan yang dibuat untuk melawan para ahli hadis. Di sisi lain, para ahli hadits yang awalnya banyak kesulitan dengan mihnah kini menjadi sorotan, meski bukan berarti mereka menggantikan lawan-lawan berpengaruh mereka sebelumnya. Reaksi keras kaum tradisionalis terhadap Mu’tazilah akhirnya diwujudkan dalam bentuk aliran teologi Ahlussunnah waljamaah, yang tokoh utamanya adalah Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan Abu Mansur al Maaturidi.

Selain beberapa seminari tersebut di atas, Islam juga memiliki seminari lain, seperti Syiah, Kadariya, dan Jabariya. Sekte Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang di masa lalu. Saat ini, sebagian besar umat Islam menganut aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menekankan pemahaman moderat tentang Murji’ah dalam masalah iman.Namun, pemikiran rasional Eropa yang bersumber dari Islam pada abad ke-12 kembali memasuki dunia Islam abad ke-19 dan ke-20, menghidupkan kembali pemikiran rasional mazhab Mutaz masa lalu. Pada saat yang sama, kaum Syi’ah masih bersikeras pada Mu’tazillah yang rasional dan filosofis sejak awal.

Baca Juga  Ibu dan Karakter Anak yang Loman

Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Sumber:

Nasition, Harun, (1986) Teologi Islam: Aliran-Aliran/ Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press.

Abdur Razak dan Rosihan Anwar, (2006),  Ilmu Kalan, Bandung: Pustaka Setia.

Hanafi, (2003), Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna Baru.

[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran/ Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6

[2] Ibid.

[3] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalan, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 14.

[4]A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2003), hal. 1.

Tinggalkan Balasan