Cerpen  

CERMIN

Dulu sebelum aku sadar kalau di setiap lemari ada cermin, aku selalu minta pada ibuku agar mengganti dengan kaca yang warnanya hitam. Nggak tau kenapa aku lebih suka kaca warna hitam ketimbang warna putih yang ujung-ujungnya tembus pandang. Tapi semenjak kesadaranku muncul, setiap aku bangun tidur pasti yang pertama kulihat itu lemari yang ada cerminnya. Saat itu juga aku baru sadar kalau wajahku yang—kata kebanyakan orang—tampan ternyata menyebalkan juga kalau bangun tidur.

Pernah suatu ketika, karena aku saking senangnya dengan cermin sampai-sampai aku lupa kalau cermin di kamarku adalah cermin paling aneh yang pernah aku temui. Bagaimana tidak, setiap aku tertawa cerminku bukannya menurut denganku, justru dia menangis. Ketika aku menangis dia tertawa. Dan kejadian ini cuma aku yang tau, bahkan ibuku saja nggak pernah tau tentang hal ini padahal dia yang membeli.

“Kenapa kamu tidak pernah mau menurut denganku?” Tanyaku pada cermin.

Dia hanya diam.

“Bahkan aku bertanya kamu tidak menjawab?” Suaraku mulai tinggi

Dia masih saja diam.

“Oke, oke. Kalau kamu masih saja diam, aku akan meninggalkanmu dan tak pernah lagi menatapmu.” Nadaku mengancam.

Karena cermin tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku, aku meninggalkan kamar dan membanting pintu. Dari kejauhan mamaku menjerit kaget karena suara pintu yang aku ciptakan. Seketika aku minta maaf dan bercerita tentang kekesalanku kepada cermin. Ah, tapi sia-sia saja karena mamaku sama sekali tidak percaya.

“Kamu mikirin apa sih? Mana ada benda mati bisa bicara.” Kata mamaku sambil mengelus-elus rambutku yang masih berantakan.

“Beneran, ma, cermin yang ada di kamar bisa menirukan gerakanku.”

Loh, namanya juga cermin kan emang bisa meniru. Kamu itu gimana sih?”

Baca Juga  Ali Sopan Anak Jalanan

“Udah, ma. Mama nggak percaya sama aku.”

Sebenarnya aku sangat sebal dengan mama yang nggak percaya sama ceritaku. Seketika aku ingin kembali ke kamar tapi kok masih kesal sama cermin. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah menghirup udara segar. Syukur-syukur menemukan cermin yang baru yang benar-benar bisa setia denganku. Tapi dengar-dengar dari tetanggaku, zaman sekarang susah mencari cermin yang tidak mengingkari janjinya. Sering-seringnya berkata setia di depan, tapi Ketika sudah dimasukkan ke dalam kamar, selalu saja sama. Tidak menurut dengan yang punya.

Dari kejauhan, mama memanggilku sambil memberikanku cermin kecil. Katanya, cermin itu cocok kalau dibawa ke mana-mana. Tapi aku menolaknya, karena bepergian pun aku nggak pernah membawa cermin. Lebih baik tanya temanku saja kalau aku mau melihat wajahku sendiri. Tapi tetap saja mama memaksaku untuk membawanya. Ya sudahlah, aku menghargai tawaran mama, meskipun sama sekali tidak aku pakai.

Setelah aku berjalan menyusuri pasar, ternyata semakin banyak yang berminat menjual cermin. Ada yang warna merah, hijau, biru, kuning, hitam, dan masih banyak lagi. Bentuknya pun bermacam-macam, ada kotak, persegi, lonjong, daun waru, dan lainnya. Ukurannya tergantung dengan yang diinginkan pembeli. Aku sempat melirik satu cermin yang ada di sudut rak. Bentuknya mungil, lemas, dan sepertinya sedang sedih. Tak lama aku mencoba mendekat dan bertanya pada penjualnya.

“Pak, cermin yang di sana berapaan?” Tanyaku sambil menunjuk tempat cermin itu.

“Oh yang itu, murah, dek. Itu yang paling murah dari yang lain.”

“Kenapa begitu? Padahal itu lucu dan menggemaskan, pak.” Tanyaku penasaran.

“Karena itu anak haram, dek.” Jawabnya sembari melirik kejam ke arah cermin itu.

Baca Juga  Bulan Cinta dan Kita.

Kupahami betul perkataan penjual itu. Kalau dilihat dari wajah cerminnya memang itu yang paling lesu, tapi menurutku tetap menggemaskan. Ah sayangnya anak haram. Kemudian aku menjauh dari sana dan melihat cermin lagi di dekat kasir. Cermin itu cukup besar dan begitu bersih. Sepertinya bagus kalau digunakan sebagai pajangan di ruang tamu, batinku.

“Kalau yang ini berapa, pak?”

“Wahhh, kalau itu paling mahal, dek..”

“Karena besar, pak?”

“Bukan, bahkan ada yang lebih besar tapi harganya lebih murah.”

“Lantas karena apanya, pak?” Tanyaku menahan rasa penasaran.

Bapak itu mendekat ke tubuhku, lalu mulutnya mulai membisik di dekat telingaku.

“Itu anak pejabat, dek.” Katanya.

“Hahhhh??” Teriakku tidak sadar, segera aku memulihkan tubuh seperti sebelumnya, “Anak pejabat, pak?”

Penjual itu mengangguk mantap.

“Kelebihannya apa, pak?”

Penjual itu tiba-tiba menggandeng tanganku dan membawaku ke ruangannya. Sepi, hanya kita berdua. Aku disuruh duduk di sofa dan dikasih satu gelas minuman. Sementara penjual itu duduk di sebelahku dan menyulut rokok.

“Jadi apa, pak?”

“Banyak sekali kelebihannya, dek. Kalau kamu memakai cermin itu, wajahmu akan terlihat selalu tersenyum seperti para pejabat. Bahkan kamu bisa melipatgandakan barang kesukaan kamu menggunakan cermin itu, apalagi hanya uang. Ah, cepat kaya kamu, dek. Selain itu, di hadapan cermin itu, kamu akan pintar acting entah itu mimik sedih, senang, khawatir, takut, dan lainnya. Nah terus….”

“Stop, pak…”

“Kenapa?”

“Kelemahannya apa, pak?”

“Satu yang harus kamu perhatikan dengan cermin itu, cukup kamu diam-diam, jangan sampai ada yang tau tentang hal itu.”

Aku mengangguk.

Aku memutuskan tetap tidak membeli cermin itu. Selain mahal, aku masih belum percaya dengan semua cermin selama cermin di rumahku belum berubah. Aku pulang dan masuk ke kamar tanpa melirik cerminku sama sekali. Sebenarnya aku rindu bercumbu rayu dengan cermin lemariku, tapi rasanya aku masih kesal dengan perbuatannya. Andai saja egoku tidak sebesar ini, pasti aku mampu menasehatinya baik-baik. Tapi, ah sudahlah! Yang jelas aku masih kesal dengan cerminku.

Baca Juga  Sepasang Sendal

Di tengah malam, mataku belum bisa diajak tidur. Ia merasakan rindu yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Rindu menatap cermin dan saling bertukar cerita. Tapi aku paksa mataku untuk terpejam, hingga akhirnya aku jatuh di alam mimpi. Mimpiku malam itu benar-benar mengerikan dan membuatku kapok untuk tidur lagi.

Di dalam mimpiku itu, aku hanya hidup dengan cermin. Ke kamar mandi bertemu dengan cermin, ke ruang tamu bertemu cermin, ke pasar bertemu cermin, ke masjid bertemu cermin, ke gereja bertemu cermin, ke sawah bertemu cermin, ke tempat wisata bertemu cermin, hingga di gedung-gedung megah juga bertemu cermin. Aku merasakan betapa sulitnya hidup dengan cermin. Berbuat apapun aku, cermin selalu saja menyinggung perasaanku. Bahkan lebih mengerikannya lagi, aku dibunuh oleh cermin. Dan aku bangun dari tidurku.

Setelah aku bangun, seketika aku duduk di hadapan cermin lemariku dan berkata,

“Sampai kapan kamu akan menjadi diriku yang sebenarnya?”

 

Magelang, 2021

Tinggalkan Balasan