Cerpen  

Bulan Cinta dan Kita.

Oleh: Ramdhani Sastra Negara.

“Kalo ngantuk, obatnya ya minum kopi. Nah, kalo patah hati ya obatnya jatuh hati.” sindir Kiai Wifi sewaktu Ali mengunjungi beliau.

Ali, santri beliau dahulu yang secara tiba-tiba, kirim pesan Whatsapp. Pak yai ini kalau sudah maunya. Ya begitu itu.

Ali, santri beliau yang sampai kini masih secara berkala rutin bersilaturahmi. Padahal Ali bukan siapa-siapa dan tak memiliki kepentingan apapun. Pagi itu selepas subuh, Ali terkesiap dari tidurnya karena HP-nya berbunyi berkali-kali, rupanya kirim pesan WhatsApp. Pak yai ini kalau sudah maunya. Ya begitu itu.

Kalau lagi pas-pasan begini. Nanti saya bawa apa ya sewaktu kunjung ke kediaman beliau. pikir Ali. Ali tak pikir panjang, segera bergegas dan tancap gas.

“Justru santri-lah yang semestinya ngarep pemberian dari pak yai. Nasehat dan doa itu jauh lebih bermanfaat” Ali menghibur diri.

Ali melipir sejenak di sebuah kedai kopi di tepian jalan dan membeli sesuatu. Tatkala Ali menunggu pesanannya, diam-diam ia memperhatikan sesuatu yang membangkitkan selera.

“Kopi dan mbak nya sama-sama mengandung protein kafein yang menghilangkan rasa kantuk.” canda Ali kepada barista kedai kopi tersebut.

“Mas, tugas kita hanya menjaga apa yang ada, soal terganti atau dipilih itu urusan sang Maha Kasih. ” sahut Mba barista dengan menampakkan wajah sumringah. Ali duduk santai lalu menyalakan sebatang rokok dan menuliskan sesuatu di buku saku kecil yang selalu dibawanya.

-Pura-Pura Pujangga-

Maka akan tiba pada kita

Kata-kata pujangga bukan lagi menjadi mantra penyembuh duka lara

Ia menjelma pundi-pundi angka

Yang bisa untuk berbelanja, “Berapa harga untuk bahagia?”

Maka akan tiba pada kita

Baca Juga  Sepasang Sendal

Kumpulan syair penyair bukan lagi menjadi resep penghilang rasa getir

Ia menjadi bungkus-bungkus nasi

Yang bisa dibeli siapa saja, “Sebungkusnya berapa?”

Ah, lupakan misi perjuangan kita

Untuk merdeka dari buta aksara

Lebih baik aku pura-pura lupa

Agar tetap bisa bekerja dan uang gaji sebulan lancar sentosa

Ah, lupakan pedoman kita tentang “Iqra”

Lebih baik aku pura-pura jadi Pujangga

Daripada Pujangga yang lupa cara berpura-pura

Puisiku hampir habis

Waktuku menipis

Aku nyaris pesimis

Untung saja aku bukan Pujangga romantis

Yang memuja-muja bulan cinta (14 Februari) dengan segala kisah tragis yang tak logis

Ali menutup kembali buku sakunya. Lalu menyeruput kopi yang tadi di pesannya. “Slruupp”. Nikmat kopi mana lagi yang kau dustakan. Kekasih, aku candu pada candamu itu. Ada benarnya yang dikatakan mba barista kopi,

“Tugas kita hanya menjaga apa yang ada, soal terganti atau dipilih itu urusan sang Maha Kasih”

Tangerang Selatan, 14 Februari 2022.

 

Tinggalkan Balasan