Cerpen  

Rumah Mana yang Lebih Hangat dari Peluk Ibu?

Rumah Mana yang Lebih Hangat dari Peluk Ibu - dawuh guru
Gambar: Washilah

Oleh: Zarkasyi Abulhauly

Mereka menyebutnya rumah – bangunan sederhana di atas sepetak tanah berukuran
seperempat lapangan sepak bola – Tempat ternyaman untuk meretas keletihan usai
menunaikan serumpun kewajiban yang melelahkan. Selain itu, rumah ialah tempat teraman
untuk berlindung dari kepungan hujan yang tak jarang mengguyur seharian. Rumah juga
tempat paling strategis untuk bermalas-malasan bila libur akhir pekan telah tiba, memang tak
cukup luas tapi bersemayam di dalamnya akan membuatmu pulas. Namun rumah mana yang
lebih hangat dari peluk ibu?
Oh iya, kau tau, rumah-rumah disini cukup beragam. Ada yang berkamar tiga dengan
satu kamar mandi plus garasi, ada yang berkamar empat dengan satu kamar mandi tanpa
garasi, adapula yang berkamar lima dengan dua kamar mandi plus balkon mungil dan garasi.
Meski beragam, tetapi rumah-rumah disini punya sedikit kesamaan, yakni jarang menguarkan
asap dapur di pagi hari. Jangankan asap dapur, lampu-lampu halaman mereka pun nampak
masih menyala hingga sesiang ini. Biasa, penghuninya para pria yang acap kali berangkat
kuliah tergesa-gesa lalu lupa mematikan mati. Namun bila sudah teringat akan lampu yang

belum padam, mereka pasti akan saling menuding. Biasanya terlontar dari pertanyaan-
pertanyaan sinis yang tak lama kemudian membuat suasana rumah menjadi lebih dingin.

Saling membisu.

Bagi mereka, sepetak bangunan ini adalah surga. Yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai kasih sayang dan hamparan kedamaian. Rumah-rumah disini melahirkan saudara-
saudara seimpian yang menciptakan sebuah atmosfer kekeluargaan. Andaikata tak se-impian

pun, kedekatan emosional akan bertunas dari kejumbuhan ironi akan kerinduan yang sama-
sama ditangguhkan oleh keadaan. Apalagi di penghujung tahun seperti ini. Mereka semakin

Baca Juga  Bulan Cinta dan Kita.

banyak bercerita. Tentu tentang kerinduan yang lebih sering hinggap di kala temaram, lalu
disusul warta percintaan, keputusasaan, dilema ala mahasiswa, hingga saling menghitung
kawan-kawan yang sudah wisuda bahkan ijabsah.
Namun di tengah riuhnya kisah-kasih itu, aku malah teringat pada permulaan pagi
yang telah menyeretku ratusan depa dari bapak ibuku di kampung sana. Permulaan pagi yang
hening tanpa rengekan si mungil yang biasa kudengar. Permulaan pagi yang sunyi tanpa
celoteh burung yang saling bersautan di dahan dan ranting pepohonan. Permulaan pagi yang

hambar. Tak ada aroma nasi yang sedang ditanak, tak ada aroma sedap irisan bawang yang
sedang dioseng. Sebab itulah kusebut bangunan ini hanyalah lumbung kesunyian yang
memasungku di palung kesedihan. Di dalamnya tidak kutemukan kadar cinta seluas rumahku
di kampung. Meski tak bergarasi dan ruang tidurku pun hanya berupa bilik-bilik sederhana,
tapi setidaknya tiap pagi dapurku menguarkan asap yang sedap. Selain itu di lumbung ini tak
ada sosok kekasih yang benar-benar mencintaiku laiknya ibu. Ya, asal kau tau, kata-kata ini
pernah terlontar saat ia bertanya padaku, “Bagaimana bila shubuh mulai berdentang, apa kau
segera pergi ke langgar?”
“Ibu, maksud hati ingin demikian. Segera terjaga lalu bergegas pergi ke langgar tapi apalah
daya yang tersedia di sini bukan bentakan cintamu yang sekali meletup akan melenyapkan
segenap kantukku. Yang ada hanyalah alarm handphone yang dawainya justru memenjarakan
kantukku. Memang di sini tak ada kekasih yang benar-benar mencintaiku selain dirimu, Ibu”
Cukup romantis, bukan?
Meski begitu, Ibu tak langsung memaklumi alibiku. Justru dari perbincangan itulah, ia
mengantarkanku pada sebuah kesadaran sekaligus meretas kegusaranku akan jarak yang
memisahkan kita begitu jauh.
“Nak, saat engkau duduk di bangku sekolah dasar Ibu memang selalu di sampingmu, karena
sekolah itu tak lebih dari 100 meter dari rumah kita. Lalu engkau beranjak remaja dan Ibu
meletakkanmu di sekolah yang jauh dari rumah selama enam tahun. Mulanya memang berat.
Kemudian dilanjutkan kini engkau malah berkuliah di kota yang berjarak ratusan kilometer
dari rumah. Bukankah sebagai Ibu, melepaskanmu adalah hal yang amat berat? Benar-benar
berat. Tapi tau kah engkau, Nak? Berapapun jarak yang merentang di antara Ibu dan kamu
selama ini, sedetik pun ingatan Ibu tak pernah luput darimu, tak pernah terlewatkan namamu
di setiap sujud dan do’a Ibu. Ibu selalu meletakkan namamu di urutan do’a terdepan sehingga
keberadaanmu terasa selalu dekat dengan Ibu. Begitulah seharusnya engkau meletakkan
sembahyangmu, Nak. Letakkan kesadaran akan ibadahmu serekat tulang belikat, Tuhanmu
tak lebih jauh dari urat nadimu, bukan?”
Bak terhujam panah berjilam. Kata-kata ibu meresap dalam palung terdalam. Darinya
aku belajar bahwa tak elok menyalahkan jarak. Karena perubahan perilaku datangnya bukan
dari jarak yang memisahkan tapi dari kesadaran kita akan bertuhan. Ibu hanyalah perantara
saat di rumah. Dan perlahan aku mulai sadar bahwa tak selamanya ibu bisa membersamai

Baca Juga  Jangan Tengok Kiri!

langkah ini. Diriku harus segera berbenah. Menafikan stigma bahwa rumah ini hanyalah
lumbung kesedihan. Lalu menyemaikan kesadaran bahwa rumah yang membentangkan jarak
ratusan depan ini sebagai sasana pendewasaan. Bila masa remajaku dituntut untuk hidup
mandiri, berdiri sendiri, tak mengembik pada bapak ibu. Kini lebih dari itu, Aku harus pandai
bahu membahu, melebur bersama kawan-kawan dan menjadi bagian dari kemajemukan.
Proses perbaikan mainset itu tak menghabiskan waktu yang lama. Perlahan aku mulai
mencintai bangunan yang mereka sebut rumah ini. Setiap shubuh kubuang jauh kantukku,
segera bangun lalu pergi ke langgar. Sepulang shubuh, kupaksa jemariku menggenggam sapu
dan membersihkan kamar tidurku. Lamat-lamat aku benar-benar mencintai rumah ini. kujaga
kebersihannya, kujaga kehangatan kekeluargaannya. Menginjak akhir masa ini, hatiku justru
mengecambahkan sebutir kekhawatiran akan kecintaanku pada rumah ini bisa mengikis
kerinduanku padamu, Ibu. Aku khawatir hari liburku habis untuk bercinta dengan rumah ini.
Padahal kuyakin di setiap waktu, engkau senantiasa menantikan kepulanganku.

Tinggalkan Balasan