Cerpen  

Balada Shinta

Oleh: Puput Pelangi

Kuliah untuk memperbaiki hidup.

Kuliah untuk masa depan yang lebih baik.

Kuliah untuk mengangkat derajat keluarga.

Kuliah agar tidak dipandang sebelah mata.

Sudah terlampau sering telingaku mendengar semuanya.

Dan, ya! Alasanku juga tidak berbeda jauh dari itu semua. Namun dibandingkan semuanya, tujuanku ngotot berkuliah adalah untuk diriku sendiri. Bahagiaku, juga bahagia kedua orang tua yang serabutan menghidupiku dan saudara-saudaraku.

Kuliah adalah salah satu langkahku untuk membuktikan diri: bahwa aku adalah manusia yang benar-benar manusia karena dimanusiakan oleh sesama manusia lainnya—manusia yang dimanusiakan manusia—manusia yang benar-benar dianggap dan diakui identitas kemanusiaannya.

Aku ingin membuktikan diri meski terlahir dari keluarga yang jauh dari kata berada, aku juga akan memiliki nama, matahari di atas kepala juga emansipasi yang membawaku berdiri sejajar dengan kaum pria.

Aku menolak menjadi kalah dan tidak berdaya. Di atas kakiku, aku ingin menjadi pribadi tangguh yang berdiri mengantongi gemintang di saku.

Aku ingin menjadi damar untukku dan manusia-manusia lain yang ada di sekelilingku, meski untuk itu aku harus menelan penolakan, merasakan dinginnya kesendirian juga kerasnya dunia rantauan.

Karena untuk memberikan kehidupan lewat cahayanya, matahari bahkan selalu membakar dirinya, bukan? Begitu juga damar, lilin, lampion, pelita, obor dan sejenisnya.

Hal yang sama juga akan kulakukan dengan segenap hatiku.

Keterbatasan yang selama delapan belas tahun hidup membelengguku tidak akan berarti apa-apa. Karena sudah sejak awal juga, alih-alih menghapusnya aku memilih mengubah semuanya menjadi kekuatan. Maka itulah yang akan kudapatkan.

Saat usiaku duduk di bangku taman kanak-kanak, aku gadis kecil yang tidak pandai berkawan dan berkomunikasi karena ketidak-mampuanku mengucapkan huruf ‘R’.

Seharusnya itu menjadi hal yang lumrah bukan?! Anak kecil seumuran itu memang biasa belum bisa melafalkan beberapa huruf dengan benar—cadel. Namun alih-alih mendapat dukungan, sepupu sepantaranku yang kebetulan sudah bisa melafalkan ‘R’ mengejekku dengan pasukannya—saudara sepupuku lainnya yang umurnya jauh lebih dewasa dari kami.

Beramai-ramai mereka mengejekku di belakang kedua orang tua dan saudara kandungku.

Tempat bermain semasa kecilku memang di lingkungan mereka yang rumah-rumahnya saling berdekatan, sedang rumahku sendiri terletak cukup jauh meski masih terbilang tetangga. Sedang orang tua mereka—paman, bibi, pakde, dan bude—yang mengetahui tingkah laku anaknya membiarkan itu dan memandang semuanya sebagai hal yang biasa.

Bertahun-tahun aku mengalami perundungan itu. Sebab sejak masa kecil itu, di antara para sepupu aku seolah-olah dijadikan bahan tertawaan untuk mereka, dalam hal segalanya.

Finansial kedua orang tuaku berkembang tidak cukup baik seperti finansial orang tua mereka sehingga ‘gadis miskin’ pun menjadi panggilan lain untukku bagi mereka—dan orang tuanya.

Terdengar miris, bukan? Namun seperti itulah yang terjadi dari sudut pandang dan kaca mataku. Bisa jadi ini hanya kesalah-pahamanku, tapi dari sudut pandang kedua orang tuaku, hal yang sama pun dirasakan keduanya.

Terbukti dari betapa seringnya musyawarah dalam keluarga diadakan, kedua orang tuaku sama sekali tak pernah dilibatkan. Penting tidak penting. Ketertinggalan finansial ‘keluarga’ kami membuat keduanya dipaksa menyingkir.

Belakangan, saat aku sudah mengerti saja, aku tahu tindakan yang mereka perbuat padaku disebut perundungan.

Sakit sekali, saat keluargamu sendiri adalah orang-orang yang menyerang dan menjatuhkan mentalmu untuk pertama kali.

Maka semenjak itu, aku memandang mereka sebagai ‘orang asing’ untuk membentengi hatiku agar tidak terlampau sakit, dan melihat ayah, ibu, dan saudara kandungku sebagai keluargaku yang sebenar-benarnya. Sebab saat orang asing menyakiti kita, tentu saja tetap sakit rasanya, tapi tidak semenyakitkan saat orang yang menyakiti kita itu adalah orang terdekat kita alias keluarga kita sendiri.

***

Kemampuan berteman dan bersosialisasiku berkembang lamban selamban aku yang tidak kunjung bisa mengucapkan huruf ‘R’ hingga bangku kelas akhir sekolah dasar.

Praktis, selama masa-masa merah putih itu, selain sepupu yang semasa kecil mem-bully-ku, aku tidak memiliki banyak teman.

Sepupuku itu temanku, tapi di belakang ia menjatuhkanku di depan teman-teman yang lain dan membuatku benar-benar kesepian.

Sendirian.

“Eh, kalian jangan berteman sama Mbak Shinta. Dia itu suka mencuri, tahu! Kemarin saat dia main ke rumahku, uang Ibuku dia curi dan mainanku dia ambil diam-diam.”

“Hah, masa, sih, Fir? Orang Shinta keliatannya kalem gitu. Iya, kan? Di kelas dia cuma banyak diam.” Seseorang teman tidak langsung percaya.

“Hahaha!” Sepupuku Firna keras tertawa. “Lah, itu kan karena dia gak bisa ngomong, Rus. Orang ngucapin ‘R’ aja gabisa!”

Firna kembali tertawa dengan desau angin sebagai pengiringnya.

“Udahlah, pokoknya kalian harus percaya sama aku! Jangan dekat-dekat Mbak Shinta kalau kalian gak mau uang atau barang-barang kalian hilang, oke?!”

Tidak ada lagi suara yang terdengar.

Sejak itu aku benar-benar tidak punya teman, karena baik di rumah atau di sekolah, teman-temanku ya memang anak-anak itu.

Firna masih mendatangiku, tapi itu hanya terjadi jika dia belum mengerjakan tugas PR-nya. Dia akan datang dan mengeluh tidak bisa lalu alih-alih belajar bersama aku sendiri yang kemudian mengerjakan PR-nya.

Baca Juga  Ketika Kotak Suara Menjadi Rahasia

Firna akan bermain-main dengan mainan milikku. Lalu jika aku lengah, maka mainan itu akan berpindah kepemilikan menjadi miliknya.

Ya, finansial keluargaku memang masih kalah jauh dibandingkan keluarga Firna, tapi soal mainan, sepupuku itu selalu merasa kurang dan kerap mengambil mainanku diam-diam.

Aku memandang masa sekolah dasarku sebagai masa yang kelam dan sekolah menengah atas sebagai revolusi besar-besaran.

Merasa kapok, aku tidak ingin bersekolah di tempat yang sama dengan Firna meski untuk itu aku harus sekolah menyeberang dari desa.

Teman-teman yang tidak benar-benar kumiliki selama sekolah dasar dulu pun kuhindari sebisa mungkin. Meski kami sekolah di tempat yang sama, jangan sampai kami berada dalam satu kelas dan jikapun berada dalam satu kelas, jangan sampai kami duduk sebangku dan terperangkap dalam satu pergaulan.

Dan di situlah aku benar-benar mengubah kelemahanku sebagai kekuatan.

Aku irit bicara. Otakku yang cukup bekerja pun kugunakan untuk menyerap pelajaran sebanyak-banyaknya dan aku semakin aktif menulis kata-kata yang tidak bisa kuungkapkan lewat mulut menjadi baris demi baris kalimat. Mulai dari diary, puisi, prosa, atau apa pun itu.

Huruf ‘R’ tidak pernah benar-benar pilih kasih padaku.

Di saat yang tepat, ia bersedia terucap.

Aku mencintai menulis, namun berkomunikasi menggunakan lisan ternyata juga menyenangkan terlebih jika dilakukan dengan banyak orang.

Di akhir semester kelas satu sekolah menengah pertama, aku memperoleh banyak ‘teman’ meski tidak sebanyak teman-teman Firna. Tidak menjalin pertemanan dekat, tapi kami selalu memiliki bahan pembicaraan hebat juga bermanfaat.

Aku bicara memang tidak selancar tanganku mengguratkan pena, tapi dari dialog-dialog itu aku belajar sama banyaknya seperti ketika membaca. Banyak sekali hal yang rasa-rasanya tidak pernah ditulis tuntas oleh siapa pun dan dalam buku mana pun.

Orang-orang datang dan pergi. Dan bersama wewaktu, kelemahanku semakin kental menjadi kekuatan untukku.

Ah, bukan kelemahan yang menjadi kekuatan lagi. Tapi keajaiban. Keajaiban yang benar-benar keajaiban.

Aku tidak pernah benar-benar tak pandai bersosial. Karena apa yang semula kusebut kelemahan, sungguhan ternyata keajaiban.

Alam memberi tahuku jika semua itu adalah benteng pelindungku. Dari orang-orang jahat yang hanya datang untuk memanfaatkan kenaifanku atau orang-orang tidak bertanggung-jawab yang datang bertujuan melukai perasaanku.

Aku selamat. Dari cinta palsu, teman palsu, dan apa pun hubungan yang akan segera lenyap ditelan waktu.

Jalan melankolis, tidak selamanya tidak akan berbuah manis.

Diriku menolak menjadi extrovert seperti yang ‘teman-temanku’ dengungkan sejak sekolah menegah atas. Tapi dari seorang gadis kecil yang seolah introvert, aku lebih bahagia saat menjadi seorang gadis muda berkepribadian ambivert.

Kehidupan berputar seratus delapan puluh derajat. Di masa putih abu-abu yang entah kenapa bagiku tidak sebewarna dan sedrama masa sekolah menengah pertamaku, aku memiliki banyak teman meski tidak semuanya benar-benar kulihat sebagai teman.

Aku menjuluki masa-masa berseragam putih biru dongker itu sebagai masa paling berwarna. Mungkin, karena aku yang sejak awal memang menjadikan waktu itu sebagai masa revolusiku.

Dan di masa putih abu-abuku, kemampuanku ‘bicara’ hampir sama lajunya dengan kecepatan tanganku menggoreskan tinta. Sambil bekerja-sama dengan otak tentu saja.

Aku menyiapkan banyak naskah. Dan dari semua profesi yang pernah kulihat dan hampir semuanya juga singgah sebagai anganku, penulis seolah mendekap erat karsa di harapku. Melingkupi segumpal daging berdetak di dadaku penuh-penuh.

Aku ingin jadi penulis. Sebab dengan menulis, aku bisa menjadi apa pun yang kumau bahkan yang ada di luar cita-citaku.

***

“Arek wedok ae loh, Mbak, Mbak. Gak usah sekolah duwur-duwur! Engko akhire yo masak-macak-manak! Sabane mek pawon, sumur, ambek kamar. Ambean Shinta iku ayu, olehno bojo anak e wong sugih seng sawahe ombo rak yo akeh seng gelem.”

(Anak Perempuan saja loh, Mbak, Mbak. Gak perlu sekolah tinggi-tinggi! Akhirnya nanti juga memasak, berdandan, dan melahirkan! Tempatnya cuma di dapur, sumur, dan kamar. Lagipula Shinta itu cantik, dapatkan suami anak orang kaya yang memiliki sawah luas pasti banyak yang mau.)

Mendidih. Kata-kata yang barusan diucapkan Bibiku itu membuatku merasa begitu terhina sebagai kaum hawa.

Apa maksudnya? Iya, memang, memasak, berdandan, dan melahirkan adalah kodrat setiap perempuan mana pun. Tapi tidak perlu mengenyam bangku pendidikan tinggi-tinggi dan hanya berkutat menghabiskan waktu di rumah? Ini sama sekali tidak benar.

Aku mengepalkan kedua tangan bersiap keluar dari kamar.

“Tidak, Tim. Shinta mau kukuliahkan dulu semampuku. Dia cerdas daripada saudara-saudaranya. Aku yakin anakku itu bisa menjadi orang besar pada akhirnya.”

Kata-kata Ibu membuatku mengurungkan niatku memutar kenop pintu yang sudah ada dalam cengkeramanku.

“Hahaha.” Tidak kusangka terdengar suara tawa Bibi Fatimah yang begitu keras setelah mendengar perkataan Ibu. “Dikuliahkan? Uang dari mana, Mbak, sampean?” tanyanya dengan nada yang sarat akan mengejek. “Wong finansial keluarga sampean sama kaluargaku saja masih jauh di bawah mau menguliahkan anak? Uang dari mana? Utang lagi ke Mbak Rodiyah? Anakku Firna saja tidak mau kuliah kok karena gak mau egois sama adiknya yang sekolahnya masih perlu biaya banyak. Lha ini, Shinta yang mau lulus SMA biaya sekolahnya selalu ngutang ke Mbak Rodiyah mau kuliah?! Mbok kerja saja seperti Firna gitu jika belum mau menikah!” Bibi Fatimah mendegus keras hingga sampai di telingaku yang masih ada di dalam kamar.

Baca Juga  Sepasang Sendal

Tidak ada suara dan Ibuku hanya diam.

Yo weslah, kalau sampean gak mau dengerin saranku nikahin Shinta gak pa-pa. Tapi kalau mau menguliahkan, pikir dua kali lah, Mbak! Utang sampean masih banyak di mana-mana. Masa menguliahkan Shinta mau ngutang ke Mbak Rodiyah juga?”

Aku sudah berdiri di samping Ibu saat adik ayahku itu menyelesaikan kalimat celaannya.

“Eh … ada Shinta,” kata Bibi Fatimah begitu melihatku. “Mau lanjut ke mana kamu setelah lulus SMA? Nikah? Kerja? Atau bagaimana? Saran Bibi lebih baik kamu nikah saja, Shin. Nanti Bibi carikan calon yang pas. Yang kaya biar kamu bisa bantu ayah sama ibumu melunasi utang-utang mereka. Tapi, melihat utang ayahmu di Bibi Rodiyah yang sudah mencapai belasan juta, sepertinya sedikit susah cari yang seumuran kamu atau Masmu. Dapet yang tua dikit seumuran ayahmu gak pa-pa yo, Nduk?!”

Aku merapatkan gigi dengan tangan terkepal. “Bibi kalau bicara jangan sem—”

“Shin!”

Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, Ibu memegang erat lengan tanganku.

“Sudah, Nduk!” lirihnya di sampingku. Terdengar hampir terisak.

“Tapi, Bu …. Bibi Fatimah—”

Ndak pa-pa.” Ibu menatapku tajam sambil menggelengkan kepala. Manik hitam beliau yang bening tampak berkaca-kaca siap luruh.

“Huh!” Terdengar Bibi Fatimah yang mendengus keras melihatku yang saling bertatapan dengan Ibu. “Yo weslah. Aku mau pulang saja, Mbak!” ujarnya kemudian keluar dari rumah kami.

Setelah Bibi Fatimah pergi Ibu langsung menangis keras sekali. Membuatku semakin marah dan berhambur memeluk beliau.

Kebetulan, di rumah tidak ada siapa pun selain aku dan Ibu. Ayah sedang bekerja di pabrik, Masku pergi ke luar kota jadi kuli selama beberapa minggu sedangkan adikku bermain layangan dengan teman-temannya.

Aku mencoba menenangkan Ibu dengan mengelus-elus punggungnya. “Jangan menangis, Bu!” bisikku. “Jangan mendengarkan ucapan Bibi Fatimah! Kalau tau Ibu menangis begini kenapa tadi tidak membiarkan Shinta menjawab Bibi Fatimah? Shinta juga merasa sangat kesal, Bu. Bibi Fatimah keterlaluan!”

Ibu mencengkeram bajuku dari bahu ke pergelangan tangan, mengurai pelukan. “Kamu harus jadi orang, Shin,” ucapnya larat. “Kamu harus jadi orang!” ulang Ibu sekali lagi.

Aku mengangguk. “Pasti, Bu,” kataku. “Shinta pasti jadi orang. Shinta akan membanggakan Ibu sama Ayah.”

Ibu menatapku lama. Tangis beliau kembali pecah setelah beberapa saat.

Aku langsung membawa Ibu duduk di dipan yang ada ruang tamu, beranjak hendak mengambilkan beliau air minum di dapur namun tanganku ditahannya.

“Kenapa, Bu?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.

Ibu terdiam lagi untuk beberapa lama. “Shin,” panggil Ibu dengan tatapan pilu campur sayu. “Ibu takut ndak bisa menguliahkan kamu, Nduk,” ucap beliau dengan air mata yang kembali bercucuran.

Aku menghela napas diam-diam karena sadar, perkataan Bibi Fatimah sedikit-banyak pasti sudah mempengaruhi Ibu.

“Jangan hiraukan ucapan Bibi Fatimah, Bu,” ucapku.

“Tapi yang diucapkan Bibimu ada benarnya, Nduk.” Wajah Ibu tampak begitu sedih.

“Jadi, Ibu berubah pikiran soal menguliahkan Shinta?” tanyaku yang membuat Ibu terdiam cukup lama.

Aku meghela napas setelahnya. “Kalau Ibu berubah pikiran, ndak pa-pa, Bu. Shinta akan mengusahakannya sendiri. Toh, ada yang namanya beasiswa.”

Ibu segera menggelengkan kepalanya dua kali. “Tidak, Nduk,” kata Ibu. “Ibu tetap mau menguliahkan kamu,” lanjut beliau yang membuatku langsung tersenyum.

“Lalu kenapa?” Aku menautkan jemariku dengan milik beliau sembari bertanya.

“Kamu harus jadi orang, Shinta,” kata Ibu kembali seperti sebelum-sebelumnya. Membuatku hanya diam.

“Ibu ingat tawaran Nak Faris, Nduk,” kata Ibu kemudian yang sukses membuatku mengerutkan dahi.

“Dia pemuda yang baik,” tutur Ibu lagi. “Usianya hanya empat tahun di atas kamu, dan Ibu tahu, sudah lama dia suka kamu. Kalian juga saling mengenal. Ramah, sopan, ganteng juga. Nak Faris bersedia menguliahkan kamu sampai sarjana kalau kamu mau jadi istrinya, Nduk. Ibu memikirkan bagaimana kalau kamu menikah sama dia.”

Pelan aku menarik tanganku. Cukup tercengang dengan fakta yang baru kuketahui jika Mas Faris, salah satu tetangga yang suka membantuku berbelanja di pasar dan mengantar-jemputku pulang sekolah jika dia memiliki waktu luang di rumah berkata seperti itu pada Ibu.

Iya, aku dan Mas Faris cukup dekat. Dan seperti yang Ibu katakan, dia pemuda yang baik. Sangat baik. Siapa pun yang menjadi istrinya pasti perempuan yang sangat beruntung di dunia.

Tapi, menikah setelah lulus SMA? Sungguh aku tidak pernah membayangkan itu semua.

Baca Juga  Lantunan Doa Bujangan Akhir Zaman

Jauh-jauh hari aku sudah merancang masa depanku. Aku memiliki peta hidup yang sebisa mungkin ingin kulakoni. Dan pernikahan? Dalam peta hidupku hanya akan terjadi jika aku sudah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan nanti.

Iya, manusia tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya. Tapi sebagai manusia, aku berhak berencana bukan?! Penentuannya urusan Tuhan. Aku tidak ingin memasuki kehidupan rumah tangga di usia muda. Sekalipun itu dengan pemuda yang kucinta, Faris Zamzamy. Bagiku, cinta bukanlah porsiku untuk sekarang. Setidaknya sampai empat-lima tahun ke depan, porsi yang kuharapkan adalah pendidikan.

Ibu menatapku lamat-lamat. Penuh harap.

“Shinta ….” Beliau meraih tanganku dan kembali menggenggamnya. “Nak Faris benar-benar pemuda yang baik.” Ibu mencengkeram tanganku keras. “Ibu rasa, dia laki-laki yang tepat untukmu, Nduk. Ibu yakin kalian bisa saling membahagiakan.”

Aku menggelengkan kepala perlahan. “Ndak, Bu,” tolakku. “Shinta belum bisa menerima semua itu.” Aku kemudian menghela napas.

“Tapi Nak Faris bisa menguliahkanmu, Nduk. Ibu sedih jika Bulik Fatimahmu sudah mulai menghina keluarga kita. Apalagi kamu! Jika kamu mau menikah dengan Nak Faris, setidaknya kita bisa membuktikan pada Bulikmu kalau kamu bisa mendapatkan suami yang baik, dikuliahkan juga.”

Aku kembali menghela napas. “Tapi Shinta ndak bisa menerimanya, Bu …. Shinta … Shinta ingin berdiri di atas kaki Shinta sendiri.”

Ibu menatapku nanar. Pegangan tangannya padaku terlepas. Beliau turut menghela napas.

“Perempuan itu dipilih, Nduk,” kata Ibu. “Laki-laki yang memilih,” lanjutnya. “Sangat sayang jika kamu melepas Nak Faris demi keras kepalamu itu. Kalau dia sudah putus asa dengan kamu, bagaimana kalau Nak Faris menikahi gadis lain?”

Aku menghela napas lagi. Lebih keras. Tiba-tiba merasa geram dengan ucapan yang dikatakan oleh Ibuku sendiri. Bukan. Bukan kepada beliau, tapi pada pola pikirnya.

Aku menatap tak percaya, karena yakin, sedikit-banyak, Ibu bicara seperti itu pasti karena terpengaruh kata-kata Bibi Fatimah.

Aku tahu Ibuku, dan beliau bukan orang yang akan mengatakan semua itu kepadaku tanpa ‘alasan’.

“Kalau begitu Shinta yang akan memilih, Bu,” balasku. “Bukan hanya Mas Faris yang notebenenya laki-laki yang bisa memilih. Sebagai perempuan, Shinta akan membuktikan jika perempuan juga bisa memilih. Perempuan punya pilihan. Kalau karena pilihan Shinta Mas Faris memutuskan menjatuhkan pilihan pada perempuan lain, berarti itu sudah guratan takdir.” Aku tersenyum meski hatiku merasa sedikit sesak. “Shinta punya pilihan. Dan tidak memilih Mas Faris untuk sekarang adalah pilihan Shinta. Seandainya di masa depan nanti Mas Faris belum memilih perempuan lain dan kembali memilih Shinta, saat itu Shinta juga tetap punya kuasa untuk memilih atau tidak memilihnya.”

Ibu menghela napas panjang sambil memejamkan mata.

“Percaya sama Shinta, Bu,” kataku begitu Ibu membuka pejaman matanya. “Kalau Ayah dan Ibu tidak mampu menguliahkan Shinta, Shinta akan mencari jalan lain. Jika beasiswa yang Shinta usahakan ditolak, Shinta akan bekerja untuk cita-cita Shinta yang lain. Intinya, Shinta akan menjadi perempuan tangguh yang berdiri di atas kaki sendiri.”

Ibu menghela napas, menatapku larat.

“Seumpama Shinta tidak bisa berkuliah, jalan yang lain masih banyak, Bu. Shinta bisa mewujudkan cita-cita Shinta yang lain. Dan tentu saja, cita-cita utama Shinta sebagai penulis akan Shinta kejar sampai Shinta benar-benar meraihnya.”

Ibu menghela napasnya sekali lagi.

Ya, katakanlah aku perempuan yang ambisius, bebal, dan congkak dengan semua kata-kataku. Namun badai hidup yang berkali-kali menimpa bidakku membuatku senang hati berlaku seperti itu. Kemiskinan menjadi guruku dan dinginnya kesendirian yang pernah kudera benar-benar menjadi pecutan bagi semangatku. Toh, aku melakukannya demi ingin dan bahagiaku. Pun tidak merugikan siapapun.

“Baiklah.” Ibu akhirnya berkata. “Ibu mendukung pilihan kamu, Shinta. Tapi sekalipun kamu tidak boleh berpikir untuk tidak kuliah meski kita tidak punya uang, Shin. Bagaimanapun caranya, kamu harus mendapat gelar sarjana, Nduk. Ayah dan Ibumu akan berusaha keras untuk semua itu. Kamu harus jadi orang!”

Aku megangguk mantap dengan senyum terlebar yang pernah kutunjukkan.

Kamu harus jadi orang!

Kata-kata Ibu itu menjadi kobaran api yang sangat berarti untuk tekad dan semangatku.

Maka sejak percakapan itu, bukan hanya untuk memperbaiki hidup, masa depan yang lebih baik, mengangkat derajat keluarga, juga bukan hanya agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain, kuliah bagiku adalah agar aku bahagia sebagai manusia.

Untukku, untuk orang tuaku, juga untuk masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitarku: Aku berusaha membuktikan kemanusiaanku.

– SELESAI –

Jombang, 23 September 2020

*Puput Pelangi, nama pena seorang gadis muda kelahiran Jombang yang kini sedang menempuh bangku pendidikan tinggi di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan sebuah PTKIN Timur Pulau Jawa. Penyuka seni dan sastra. Neng Zulfa adalah tulisannya di Wattpad yang tidak lama lagi akan segera terbit.

Tinggalkan Balasan