K.H. Tb. Muhammad Asnawi adalah putra K.H. Mas Abd. al-Rahman, seorang ulama yang menjabat sebagai penghulu di Kabupaten Cirangin. Muhammad Asnawi lahir dari pasangan Mas Abd. al-Rahman dengan Nyai Ratu Syabi’ah, seorang putri yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Banten. Ia dilahirkan di Caringin (Banten) pada tahun 1846 M.
Gelar “Mas” yang dipakai ayahnya menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga bangsawan Banten, sementara gelar “Nyai Ratu” yang disandang ibunya mensimbolkan keturunan Sultan. Nama K.H. Tb. Muhammad Asnawi dengan “Tb” (Tubagus) di depannya menunjukkan bahwa dia adalah keturunan bangsawan. K.H. Tb. Muhammad Asnawi juga sering disebut “Ajengan.”
Riwayat Pendidikan
Keberhasilan Tb. Muhammad Asnawi dalam mencapai ilmu pengetahuan agama tidak terlepas dari peran ayah dan lingkungan keluarganya. Pada masa itu, seorang penghulu, meskipun tugas resminya adalah mengawinkan dan mengumpulkan zakat, sangat selektif dalam proses pengangkatannya.
Penguasaan akan ilmu agama merupakan syarat pertama bagi seorang calon penghulu. Tidak jarang dalam tugas sehari-hari, persoalan-persoalan agama diserahkan kepada penghulu. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa K.H. Mas Abd. al-Rahman, ayah dari Tb. Muhammad Asnawi, adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama.
Tb Muhammad asnawi diusia 10-15 tahun telah ditinggal wafatayahnya. Dengan wafatnya KH Mas ‘Abd Al-rahman, maka pendidikan Tb Muhammad Asnawi untuk sementara berhenti. Dengan ayahnya, ia belajar ilmu-ilmu Al-qur’an (Tajwid), tauhid (ilmu Kalam), fiqh (hukum islam), Lughah, (bahasa arab), Akhlak, Tafsir dan hadis.
Muhammad Asnawi dikirim keluarganya ke tanah suci Makkah untuk melanjutkan studinya. Di makkah ia belajar kepada pujangga Islam terkenal dari banten yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Selain belajar pada ulama banten, Tb Muhammad Asnawi juga belajar kepada beberapa ulama Makkah yang sangat masyhurantara lain Syaikh Hasbullah Al-a’ma. Khusus untuk memperdalam imu al-Qur’an. Ia belajar kepada Syaikh Abdul Hamid Al-Makki, qurra’ ternam di Makkah. Tb Muhammad Asnawi juga belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Sambasi dan Syaikh ABD Al-Karim Anahara sebagai guru tarekatnya. Di Makkah Tb Muhammad Asnawi menghabiskan waktunya selam sepuluh tahun.
Pada tahun 1876 Tb Muhammad Asnawi berusia 30 tahun, ia kembali ke tanah air menuju tempat kelahirannya (caringin). Setibanya di caringan ia memeperdalam lagi tarekatnya kepada KH Shohib Kadupinang (sebuah desa didekat kopandenglang), kemudian ia belajar ilmu hikmat kepada K.H. Madot Mengger (pandeglang).
Setelah merasa yakin akan kemampuan dirinya, barulah Tb Muhammad Asnawi Mendermakan ilmunya bagi kepentingan nusa dan bangsa.
Keganasan dan tekanan yang semakin mencengkeram dari bangsa Belanda terutama pada kiai dan ustadz, maka pada 1905, Tb Muhammada Asnawi bersama-sama keluarganya meninggalkan Tanah Air dan kembali menuju Makkah yang keduakalinya.
Keberangkatannya kali ini, selain untuk memperdalam ilmu pengetahuannya juga untuk menunaikan haji kepada keluarganya.Disamping rencana untuk mengikuti jejak gurunya Syaikh Nawawi Al-Bantani yang bermukim di Makkah.
Rencananya untuk bermukim di Makkah itu ternyata mengalami kendala, karena situasi politik yang tidak menentu akibat dari terjadi PD I. akhirnya pada 1920 Tb. Muhammad Asnawi beserta keluarganya kembali ke Tanah Air, dengan menumpang sebuah kapal yang hendak menuju ke India.
Dari India, rombongan Tb. Muhammad Asnawi menuju Rangun (Burma) kemudian menuju Singapura dan barulah ke Indonesia.
Setelah kembali ke Tanah Air ini, barulah kelihatan perjuangan dan pemikiran Tb. Muhammad Asnawi terutama dalam masalah keagamaan.
K.H. Tb. Muhammad Asnawi, merupakan sosok yang pemurah dan penyayang, terutama terhadap anak-anak yatim piatu. Apabila ia menemukan anak yang terlantar di jalanan, ia selalu menaruh perhatian terhadapnya, dipanggilnya anak itu, ditanya asal-usulnya, kemudian diakuinya anak tersebut sebagai kerabatnya.
Selain itu ia juga dikenal sebagai sosok yang bijaksana. Suatu saat ia pernah dihadapkan pada masalah sengketa warisan. Olehnya, keluarga yang ribut dalam urusan rumah tangga atau warisan, diberikan keputusan yang sangat bijaksana, bertanggung jawab tanpa merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak lain, serta penuh keadilan dan kekeluargaan.
Ia pun dikenal sangat tegas dan keras terutama dalam hal moral keagamaan. Hal ini tercermin dari sikapnya yang keras dalam melarang hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan agama Islam.
Keterangan watak pribadinya juga terlihat dari sikapnya terhadap keluarganya sendiri. Dengan keras ia memerintahkan putra-putrinya supaya tidak bergaul dengan orang sembarangan terutama dengan orang yang bukan muhrimnya.
Tb. Muhammad Asnawi mendapat bimbingan ilmu tarekat dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Sambasi dan Syaikh ‘Abd. Al-Karim Al-Bantani, ketika ia bermukim di Tanah Suci Makkah.
Kemudian di perdalamnya lagi ilmu tarekat kepada K. H. Shohib Kadupinang (seorang kiai yang cukup terutama di daerah Pandeglang pada itu) sewaktu di Tanah Air.
Tb. Muhammad Asnawi membuktikan bahwa ia cukup mahir dalam ilmu tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Hal ini terbukti dengan ditemukannya sebuah kitab (Risalah) karangannya yang membahas secara mendetail kedua ilmu tarekat tersebut.
Kemahiran dan kepintarannya dalam kedua ilmu tarekat tersebut dapat dilihat juga dari banyaknya pengunjung yang datang kepadanya untuk belajar kedua ilmu tersebut. Mereka yang datang bukan hanya berasal dari daerah banten: tetapi ada juga yang datang dari bogor, cianur, bekasi, dan bahkan ada juga yang datang dari lampung.
Sebagai kiai yang bijaksana dan berpandangan luas ia sangat tanggap terhadap keadaan lingkungannya. Adanya kecenderungan masyarakat untuk mendalami tarekat, diarahkan dan dibimbingnya ke dalam hal-hal yang positif.
Ia selalu menyerukan kepada murid-muridnya bahwa mengikuti aliran suatu tarekat bukan untuk berbangga-bangga dan menyombngkan diri, akan tetapi digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SAW. Hal ini selalu ditekankannya, mengingat pada masa itu orang-orang memasuki tarekat bukan lagi untuk beribadah melainkan hanya sekedar simbol belaka.
Yang berguru kepadanya, bukan hanya orang-orang biasa, tetapi terdiri dari kiai, ustadz, Ajengan, dan para haji. Diantara mereka, ada yang sudah meiliki murid dan pesantren di daerahnya. Pada umumnya mereka datang secara khusus hanya untuk menuntut ilmu tarekat tersebut.
Tb. Muhammad asnawi pernah menolak terhadap orang yang hendak belajar kepadanya, namun dalam hal menurunkan ilmu tarekat, ia sangat selektif dalam menentukan murid mana yang akan dibimbingnya. Karena bagi dia, tidak sembarang orang boleh mengamalkan tarekat. Untuk itu, diperlukan kesabaran, keikhlasan, ketenangan, ketekunan, dan pembekalan. Jadi hanya orang-orang yang sudah “beristiqomah” lah yang dapat mengamalkannya.
Perjuangan
Di Banten pada masa itu, organisasi-organisasi tarekat tumbuh dengan subur, sehingga menarik perhatian yang cukup besar, terutama dari kalangan masyarakat petani. Sampai-sampai orang yang telah selesai berguru tarekat dianggap wali Allah. Dan fatwa-fatwanya pun lebih dihormati dari pada aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kemudian tarekat di Banten banyak digunakan oleh orang yang ekstrim sebagai basis dalam melawan pemerintah. Makanya, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten waktu itu, banyak digerakkan oleh pemimpin-pemimpin agama yang juga pemimpin tarekat. Ketika hendak dimulai pemberontakan Cilegon, sebagai persiapan diadakanlah pengkoordinasian berbagai cabang Tarekat Qadiriyah di Banten. Realitas ini menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin pemberontakan Cilegon merupakan anggota Tarekat Qadiriyah.
Tb. Muhammad Asnawi mempunyai banyak murid dan pengikut, serta memiliki pengaruh yang cukup besar, terutama di sekitar lingkungannya, namun tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan kalau ia mengadakan pemberontakan secara fisik terhadap pemerintah Belanda. Hal ini dikarenakan perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh para kiai dan guru-guru agama pada waktu itu selalu mengalami kegagalan, yang pada akhirnya masyarakat jugalah yang menderita.
Perjuangan Tb. Muhammad Asnawi dalam mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, tidak dengan mendirikan markas besar. Karena situasi di Banten pada waktu itu tidak memungkinkan ke arah sana.
Dalam melakukan kegiatan tarekat (apalagi setelah peristiwa Cilegon) sangat dibatasi dan dicurigai oleh pemerintah, akan tetapi Tb. Muhammad Asnawi bisa mengembangkannya dengan menggunakan Masjid Al-Salafi dan rumahnya sebagi tempat latihan dalam menjalankan kedua tarekat tersebut.
Perjuangannya dalam mengembangkan tarekat tidak seperti guru-gurunya, yang menyebarkannya dengan banyak berkeliling dari suatu daerah ke daerah lain. Namun ia ternyata tidak kalah gigih dengan guru-gurunya, sekalipun ia ada di daerah pengasingannya (Jakarta dan cianjur).
Kegiatan tarekatnya tetap tidak pernah berhenti. Hal ini terbukti dengan banyaknaya muridnya yang berasal dari kediua daerah tersebut. Dengan demikian, terjadi mata rantai yang saling bersambung.
Karya
K.H Tb. Asnawi juga di kenal sebagai penulis yang produktif sampai akhir hayatnya (1937), hal ini bisa dilihat dari karya-karya yang telah dihasilkannya. Namun hanya beberapa karya yang bisa dipaparkan disini yaitu:
1. syarah sittin. Buku ini menerangkan masalah fiqih, selesai ditulis pada hari ahad, waktu duhur ulan rabi’ Al-awal, tanpa tahun.
2. syarah samarqandi. Buku ini membahas masalah pokok-pokok aqidah (tauhid): selesai ditulis pada hari ahad, waktu ashar, bulan rabi’ Al-Awwal, tahun dal.
3. kalimah al sahadatain. Kitab inimenerangkan masalah dua kalimat sahadat: selesai ditulis pada tanggal 26 shafar, tahun mim.
4. Al-miftah. Kitab ini membahas ilmu usul fiqh, selesai ditulis pada hari senin,waktu Ashar, bulan rabi’ Al-awwal tahun ba’ (1289).
Keempat kitab di atas merupakan hasil tulisan tangan dari Tb Muhammad Asnawisendiri, ditulis dengan bahasa arab, jarak baris pertama dan kedua cukup renggang, di sela-sela kedua barisnya terdapat terjemahan dengan memggunakan tulisan Arab-Jawa. Keempat judul kitab ini, disatukan dalam satu jilid: sedang nama judul, hari, bulan dan tahun selesai ditulisnya masing-masing kitab tersebut, dicantumkan di halaman akhir pembahasannya.
Dan semua hasil karyanya ini, belum dicetak, sedang kondisinya sudah sangat memprihatinkan, halaman mukanya (jilidnya) sudah terlepas. Demikian halnya dengan halaman-halaman dalamnya sudah banyak yang lepas, dan sebagian huruf-hurufnya sudah banyak yang sulit dibaca, karena sudah banyak yang terhapus.
Al-salasil Al-Fadiyah fi bayan kafayah Al-A’mal bi Al-thariqatain Al masyhuratain: Al-Qadiriyyah wa Al-Naqsabandiyyah.buku ini merupakan tuntunan untuk mempelajari Tarekat Qadariyyah wa Naqsbandiyyah, yang ditulis dengan menggunakan dua bahasa, yaitu satu halaman dengan bahasa Jawa dan halaman lainnya memakai bahasa sunda. Dicetak dan diterbitkan di Cebeber, Cilegon: pada hari Ahad, 17 Muharram 1354 H. (*)
DAFTAR PUSTAKA
K.H. Tb. Muhammad Asnawi, Alsalasilu Al-fadiyyah fi bayani kaifayatu Al-A’mal bit Thariqatain: Al Qadariyyah wa Nnaqsabandiyyah, Cilegon: cebber, 1354 H.
Arsyad Yunus, KH. Tb Muhammad Asnawi Caringi Banten: Riwayat hidup dan perjuangannya, Jakarta: Skripsi Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, 1986.
K.H. Tb. Muhammad Asnawi, Alsalasilu Al-fadiyyah fi bayani kaifayatu Al-A’mal bit Thariqatain: Al Qadariyyah wa Nnaqsabandiyyah, Cilegon: cebber, 1354 H.
Fachrul, Biografi KH. Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Dalam https://www.laduni.id/