Oleh: Muhammad Ali Hayyi Mughni
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Sufisme atau tasawuf merupakan buah peradaban Iaslam yang sangat tua, namun mengalami revitalisasi di era modern ini. Kehadirannya semakin bermakna ketika ia mampu menjadi “oase di padang pasir” bagi masyarakat modern yang pengalami krisis spiritual. Dalam bentuk tarekat tertentu atau dalam bentuk yang sudah termodifikasi, tasawuf menjadi obat penyakit modernisasi dengan segala dampak negatifnya. Tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya semakin memainkan peranan penting. Ia yang dahulu dituduh penyebab kemunduran Islam, dan disikapi secara negatif oleh beberapa pakar Islam, seperti Faslur Rahman dan al-Faruqi, kini makin mendapatkan tempat dalam masyarakat modern. Bahkan ia menjadi solusi yang dinantikan bagi problematika masyarakat modern.
Tasawuf merupakan salah satu khazanah intelektual muslim yang kehadirannya saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan teologis tasawuf mengawal dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia dan akhirat.[1] Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek kerohanian manusia yang selanjutnya menimbulkan kebaikan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani manusia selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Melalaui tasawuf seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya, dan tampil sebagai manusia yang dapat mengendalikan dirinya, dapat menjaga kejujuran hatinya, keikhlasan dan tanggung jawab.
Perhatian terhadap pentingnya tasawuf, kini muncul kembali, yaitu di saat manusia di zaman modern ini dihadapkan pada masalah moral dan akhlak yang cukup serius, yang kalau dibiarkan akan menghancurkan masa depan bangsa yang bersangkutan. Praktek hidup yang menyimpang dan penyalahgunaan kesempatan dengan mengambil bentuk perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain, kian tumbuh subur. Korupsi, kolusi, penodongan, perampokan, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan perampasan hak-hak asasi manusia, semakin banyak terjadi. Untuk mengatasi semua ini, tidak bisa hanya dengan uang, ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus dibarengi dengan penanganan di bidang mental spiritual dan akhlakul karimah.
Definisi Tasawuf
Para pakar tasawuf berselisih pendapat tentang asal-muasal tasawuf, berikut ini terdapat beberapa pendapat dari para pakar terkait dengan asal tasawuf. Teori pertama, menyatakan bahwa secara etimologi tasawuf diambil dari kata “suffah” yaitu sebuah tempat di masjid Rasulullah SAW. Mereka disebut sebagai ahl-assuffah. Teori kedua, menyatakan bahwa tasawuf diambil dari kata “sifat” dengan alasan bahwa para sufi suka membahas sifat-sifat Allah sekaligus mengaplikasikan sifat-sifat Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari. Teori ketiga menyatakan bahwa tasawuf diambil dari akar kata “sufah” artinya selembar bulu.
Samsul Munir mengutip pendapat beberapa para ahli adalah seperti berikut ini:
- Syaikh Ahmad Zarruq, tasawuf adalah ilmu yang dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata karena Allah.
- Syekh Islam Zakaria Al-Anshari. Tasawuf adalah ilmu yang menerangkan cara-cara mencuci bersih jiwa, memperbaiki akhlak, dan membina kesejahteraan lahir serta batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi
- Sayyed Hussein Nasr, tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga jiwa bersih serta memancarkan akhlak yang mulia.
- M. Amin Sykur, tasawuf adalah sistem latihan dengan kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sehingga segala perhatiannya hanya terpusat pada sang khaliq.[2]
- Dalam naskahnya Ri’ayah al-himmah, Ahmad Rifa’i sebagaimana yang dikutip oleh Nasrudin bahwa tasawuf adalah pengetahuan untuk menghayati sifat-sifat yang terpuji serta menghindari sifat-sifat yang tercela sebagai jalan menuju akhlak yang sempurna.[3]
- Ulama Ahlussunnah, tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
- Shaikh Rashad Rida, tasawuf adalah salah satu dari pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan menaikkan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi.[4]
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa tasawuf adalah upaya melatih diri dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat mengantarkan dirinya lebih dekat dengan Tuhannya sehingga memancarkan akhlak yang mulia.
Tujuan Tasawuf
Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui pencucian ruhnya dengan melakukan berbagai amalan-amalan yang istiqomah, sehingga tujuan akhir dari tasawuf adalah ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) dengan sebenar-benarnya sehingga dapat tersingkap tabir atau hijab seorang hamba kepada Tuhannya.[5]
Amin mengutip beberapa pendapat ahli terkait dengan tujuan tasawuf, antara lain:
- Rievar Siregar, tujuan tasawuf adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Mengenai makna dekat dengan Tuhan, terdapat 3 simbol yaitu, dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dan sang khaliq, dekat dalam arti penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah monolog antara manusia yang telah menyatu dalam iradat-Nya.
- Syaikh Abdush Shamad Al-Falimbani seorang tokoh sufi dari Palembang dalam bukunya As-Sayr As Salikin ila Rabb Al-Alamin menyatakan bahwa tujuan akhir tasawuf adalah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik didunia maupun di akhirat dengan puncaknya menemui dan melihat Allah.
- Mustafa Zahri, tujuan tasawuf adalah fana untuk mencapai ma‟rifah. Arti fana adalah meniadakan diri supaya ada. Definisi ini secara filosofis. Sementara secara tasawuf, fana adalah leburnya pribadi pada kebaqaan Allah, di mana perasaan keinsanan lenyap diliputi rasa ketuhanan dalam keadaan di mana semua rahasia yang menutup diri dengan Tuhannya tersingkap kasyaf. Ketika itu pula antara diri dan Tuhannya terasa begitu dekat.[6]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ilmu tasawuf merupakan tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, ma’rifat adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk mengenal Allah, kemudian mengenal dirinya sendiri.
Urban Sufisme
Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai menggeser popularitas tarekat konvensional. kenyataannya tasawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di tengah hiruk-pikuk masyarakat modern (Voll 2003: 6). Fakta ini semakin menegaskan nilai universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan. Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahda al-adyan). Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia.
Dalam sebuah diskusi terbatas di PPIM UIN Jakarta pada 2005, Komaruddin Hidayat menjelaskan setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup; kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual; ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis; dan keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan.
Pengertian Urban Spirituality atau Urban Sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Di samping gerakan spiritual yang lebih mengutamakan gerakan dzikir dan doa tanpa organisasi tarekat. Sebagaimana yang dilakukan Ustadz Haryono, Ustadz Arifin dll. juga termasuk urban sufisme. Urban Sufism adalah gerakan tasawuf konveksional yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang diperlihatkan oleh komunitas tarekat Qodariyah – Naqsabandiyah[7]
Pengertian Masyarakat Modern
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, masyarakat diartikan sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hdup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu).[8]Sedangkan modern berarti yang terbaru, secara baru, mutakhir.[9]Dengan demikian secara harfiah, masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan tertentu yang bersifat mutakhir.
Secara etimologis, pengertian umum kata‘modern’ adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau.[10] Jadi era modern adalah era kehidupan yang dibangun atas dasar sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Bangunan yang mencakup sistem kehidupan di era ini disebut peradaban modern.
Era modern ditandai dengan berbagai macam perubahandalam masyarakat. Perubahan ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagaimana menurut Astrid S.Susanto, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek), mental manusia, tekhnik dan penggunaannya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan tuntutan manusia (the rising demands). Semuanyaini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalam masyarakat secara mengagetkan, dan inilah yang kemudian menimbulkan perubahan masyarakat[11]
Masyarakat modern selanjutnya sering disebut sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Deliar Noer misalnya sering menyebutkan masyarakat modern dengan ciri-ciri sebagai berikut:[12]
- Bersifat rasional: yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi. Sebelum melakukan pekerjaan selalu dipertimbangkan lebih dahulu untung dan ruginya. Dan pekerjaan tersebut secara logika dipandang menguntungkan
- Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh. Tidak hanya memikirkan masalah yang berdampak sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
- Menghargai waktu. Yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, dan perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
- Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik berupa kritik, gagasan dan perbaikan, darimanapun datangnya.
- Berpikir objektif yakni melihat segala sesuatunya dari sudut fungsi dan kegunaanya bagi masyarakat.
Peran Tasawuf Pada Masyarakat Modern
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern.[13]Kondisi kekinian telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini.
Salah satu tokoh era modern yang begitu sungguh-sungguhmemperjuangkan internalisasi nilai-nilai spritual Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat datangnya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spritualitas yang sesungguhnya inhern dalam tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan akomodatif dari kalangan modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat menghancurkan seni dan budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang muslim.
Dalam situasi kebingungan seperti ini, sementara bagi merekaselama berabad-abad Islam dipandangnya dari isinya yang legalistik formalistis, tidak memiliki dimensi esoteris (batiniah) maka kini saatnya dimensi batiniyah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif.[14] Menurut Komarudin Hidayat yang dikutip oleh Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan : Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.[15]
Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasikerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuktujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dan dimensi dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam, hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Pembebasan batin dalam kenyataan bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens.[16]
Nurcholis Majid sebagaimana yang dikutip oleh Simuh mengatakan bahwa sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan yang lengkap dan utuh. Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) dan esoterik (batini) sekaligus.[17]
Tasawuf bukan berarti mengabaikan nilai-nilai syari’at (nilai-nilai formalistik dalam Islam). Tasawuf yang benar adalah adanya tawazun (keseimbangan) antara keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan batin (substansialistik).
Untuk betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai spiritual Islam) di era kekinian atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf untuk mengatasi masalah moral yang ada pada saat ini diperlukan adanya pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap term-term tasawuf yang selama ini dipandang sebagai penyebab melemahnya daya juang di kalangan umat Islam yang akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi mandeg (statis).
Fazlur rahman mengatakan bahwa tidak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Yang perlu kita lakukan pada saat sekarang ini adalah mengambil unsur-unsur yang diperlukan tersebut, memisahkan unsur-unsur tersebut dari serpihan-serpihan yang bersifat emosional dan sosiologikal, dan mengintegrasikan unsur-unsur tersebut ke dalam suatu Islam yang seragam dan integral.[18]
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga orang merasa dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuanyang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang-bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan.
Dengan adanya bantuan tasawuf, maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Tasawuf melatih manusia agar memilikiketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sikap bathin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi, dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.[19]
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajamanbatin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama[20]
Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalamkehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud (asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini mempunyai pengertian khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus terhadap kehidupan, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[21]
Konsep zuhud, yang pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu, atau menghindarkan diri dari kecendrungan-kecendrungan hati yang terlalu mencintai dunia.[22] Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai oleh Tuhan.Selanjutnya sikap frustasi, putus asa dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal mungkin
Ajaran Uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupannya, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya, berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak berarti seseorang harus jadi pertapa, ia tetap terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi tetap mengendalikan aktifitasnya sesuai ddengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan.[23]
Gangguan-gangguan kejiwaan yang diderita oleh manusia modern, ternyata bisa diobati dengan terapi tasawuf, sebagaimana dikatakan Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting.[24] Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor”.[25]
Menurut Jalaluddin Rahmat, di seluruh dunia sekarang ini, timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains.[26]Jadi sains harus dilandasi dengan etika, tapi karena etika akarnya adalah pemikiran filsafat, maka diperlukan akhlak yang bersumber pada al Qur’an dan al Hadits.
Kesimpulan
Tasawuf adalah upaya melatih diri dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat mengantarkan dirinya lebih dekat dengan Tuhannya sehingga memancarkan akhlak yang mulia.
Masyarakat modern terdiri dari dua kata, yaitu masyarakat dan modern. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, masyarakat diartikan sebagai pergaulan hidup manusia (himpunan orang yang hdup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu). Sedangkan modern berarti yang terbaru, secara baru, mutakhir. Dengan demikian secara harfiah, masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan tertentu yang bersifat mutakhir.
Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.Tasawuf dapat menjadi solusi alternatif terhadap kebutuhanspiritual dan pembinaan manusia modern, karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis dan psiko terapi relegius yang dapat menghantarkan kita menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup yang hampir hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari oleh manusia modern. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamourdan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (zuhud pada dunia).
Daftar Pustaka
Voll, John O., 2003, “Sufism in the Perspective of Contemporary Theory”,makalah dalam International Conference on Sufism and the Modern in Islam, Bogor, 4-6 September 2003.
Fathurahman, Oman 2019 “Urban Sufism. “Kaum Sufi Berdasi” di Indonesia” dalam http://indonesiamuslim/37.html diakses pada tanggal 25 Desember 2021
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Suryahadipraja, Sayidiman, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman dalam Kontekstual Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1993.
Susanto, Astrid S. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial,Bandung: Bina Cipta, 1979.
Naisbitt, John, dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000, New York:Ten new directions for the, 1990
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Nasr, Seyyed Hossein, Sufi Essays, Second Edition,State University Of New York Press, Albany, USA, 1991.
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology In History, Ed. Terjemah oleh Anas Mahyuddin, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1984
Asy-Sya’rani, Sayyid Abdul Wahab, Al-Minah as-Saniyah, Ed.Terjemah oleh Ach. Khudori Soleh, Menjadi Kekasih Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998.
Al-Tafthazani, Sufi dari zaman ke zaman, Terj. Ahmad Rafi’ Usmani, Bandung: Pustaka ITB, 1985.
Alishah, Omar, Tasawuf sebagai Terapi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
———-,Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif,Bandung: Mizan, 1991.
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, XIII
[2] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2012), 7-8
[3] Nasrudin, “Ajaran-Ajaran Tasawuf Dalam Sastra Kitab Ri‟ayah al-himmah Karya Syekh Ahmad Rifa’i”, 1 (Januari-Juni, 2015), 122
[4] Uni Marni Malay, http://tentangimamal-ghazali.blogspot.com/2014/04/makalah-mengenal-tasawuf-imam-ghazali, 15 April 2015, diakses pada tanggal 25 Desember 2021.
[5] Syamsun Ni‟am, Tasawuf Studies (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 78-79.
[6] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2012), 60
[7] Oman Fathurahman, “Urban Sufism “Kaum Sufi Berdasi” di Indonesia” dalam http://indonesiamuslim/37.html diakses pada tanggal 25 Desember 2021
[8] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, 636
[9] Ibid., 653
[10] Sayidiman Suryahadipraja, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman dalam Kontekstual Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1993, 553
[11] Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial,Bandung: Bina Cipta, 1979, 178
[12] Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1987, 24
[13] John Naisbitt dan Patricia Aburdene,Megatrends 2000,NewYork:Tennew directionsforthe,1990, 11.
[14] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012, 294
[15] Ibid., 294
[16] Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, Second Edition, State University Of New York Press, Albany, USA, 1991, 69-170.
[17] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997, 271
[18] Fazlur Rahman, Islamic Methodology InHistory,Ed.Terjemah oleh Anas Mahyuddin,Membuka Pintu Ijtihad, Bandung: Pustaka, 1984, 181
[19] Ibid., 297
[20] Ibid., 297
[21] Al-Tafthazani,Sufi dari zaman ke zaman, Terj. Ahmad Rafi’ Usmani, Bandung: PustakaITB,1985, 54
[22] Sayyid Abdul Wahab Asy-Sya’rani, Al-Minahas-Saniyah, Ed.Terjemah oleh Ach. Khudori Soleh, Menjadi Kekasih Tuhan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998, 9
[23] Abuddin Nata, Akhlak tasawuf,… 299.
[24] Omar Alishah, Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004. 5.
[25] Omar Alishah, Tasawuf sebagai Terapi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, 151
[26] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif,Bandung: Mizan, 1991, 158