“Sedang dengan cermin aku enggan berbagi” begitu kata Chairil Anwar dalam bait terakhir dalam puisinya yang berjudul “Penerimaan.” Tidak mudah untuk bisa totalitas dalam menerima kenyataan buruk tentang diri kita. Butuh kekuatan hati untuk mampu memotret diri dengan sepenuh hati.
Cermin adalah alat untuk memotret diri. Memandang diri sendiri dengan asli. Tanpa tipu daya apalagi edit sana-sini. Sarana untuk muhasabah diri di masa Pandemi. Masa yang sudah kita lewati selama 10 bulan terakhir.
Desember 2020, Bulan terakhir di tahun ini. Beberapa hari lagi, Kita akan mengakhiri tahun ini. Tahun ini akan menjadi sejarah panjang dalam abad ini. Sejarah yang sama bahkan di belahan dunia mana pun. Sejarah yang bukan hanya untuk kita yang dewasa. Bahkan anak – anak kita pun akan mencatat sejarah ini.
Anak-anak tiba -tiba saja dalam 10 bulan terakhir ini harus diam dan belajar di rumah. Kesempatan bermain tiba – tiba saja menjadi terbatas. Tahun ini dimana hanya sekitar 60 hari kita hidup dengan normal saat kita memasuki awal tahun ini.
Islam menyebutnya muhasabah. Muhasabah adalah sebuah media guna introspeksi diri. Dengan menelaah diri dan mendengarkan nurani. Kita berharap ada langkah untuk mengevaluasi diri sendiri. Secara jujur mengakui betapa pribadi ini perlu banyak direparasi.
Muhasabah berasal dari kata hasyib yahsabu hisab, yang artinya perhitungan. Sedangkan pengertian muhasabah yakni upaya dalam melakukan introspeksi dan evaluasi terhadap diri sendiri dalam melihat aspek kebaikan dan keburukan.
Dalam Islam, muhasabah ini bertujuan untuk memperbaiki hubungan kepada Allah (habluminallah), hubungan kepada sesama manusia (habluminannas), serta hubungan dengan diri sendiri (habluminannafsi).
Bagi seorang muslim, muhasabah adalah hal penting dan sebisa mungkin tak boleh dilewatkan. Sebab hidup di dunia itu sangat singkat. Jauh berbeda dengan kehidupan akhirat yang kekal. Kehidupan yang kita jalani saat ini pun akan menentukan bagaimana kehidupan di akhirat kelak. Apakah berakhir baik dan masuk surga, atau berakhir buruk dan masuk neraka. Karena itulah, setiap muslim sebaiknya senantiasa melakukan amal baik dan menjauhi segala kemaksiatan. Dengan muhasabah, kita akan terbiasa merenung dan mengetahui makna di balik kehidupan.
Mencoba memahami dibalik masa Pandemi akibat virus Covid-19 ini tidak semudah membalikkan tangan. Rasanya letih sekali menjalani tahun ini. Mata kadang sulit terpejam ketika malam telah jauh dari larut. Ada rindu yang mungkin hanya bisa terungkap dalam kata dan lisan. Selalu ada ingin untuk memeluk orang yang kita kasihi seperti dahulu biasanya.
Seorang pujangga mengatakan “dalam Kesunyian ada kesejatian”. Saat kita berlama-lama hidup dalam sepi karena membatasi pertemuan fisik yang berjarak bahkan untuk berkerumun pun dilarang. Saat yang tepat untuk merenung menemukan kesejatian diri saat sendiri. Mencoba mengevaluasi diri sendiri dari tahun yang telah berlalu dan menyiapkan diri di hari esok. Tentu saja dalam keadaan yang lebih baik.
“Badai pasti berlalu”, masa pandemi ini pasti berakhir. Kita harus yakin dan tetap optimis. Sehingga doa-doa yang telah dilangitkan di ruang-ruang sunyi akan sampai ke langit. Pemilik Jagat raya ini pasti mendengar. Sang Khalik tidaklah tidur. Allah pasti memiliki rencana yang indah di balik semua yang telah terjadi.
Tak ada yang kebetulan semua sudah direncanakan dengan Sang Maha Perencana. Mungkin kita sekarang menjadi sadar. Bahwa kita makluk yang lemah. Bahkan kita lemah untuk sesuatu yang tak terlihat. Segala rencana bisa dengan mudah berubah, ketika ada suatu kuasa yang berkehendak berbeda.
Langkah sederhana sebagai muslim setelah bermuhasabah dan introspeksi diri adalah hijrah. Hijrah tak sekedar bermaknah pindah. Jika merujuk kajian Dr. Quraish Shihab, hijrah berarti (1) berpindah dari sifat buruk ke sifat baik; (2) orang yang sungguh-sungguh akan mendapatkan kelapangan dari Allah SWT; (3) perencanaan yang matang; (4) ikhtiar diri yang maksimal.
Sebuah kisah sederhana mengajarkan kepada kita tentang hijrah pun butuh perjuangan. Perlu pengulangan pembiasaan secara terus menerus. Bahwa sesuatu yang diulang-ulang akan menjadikan terbiasa. Meski pemahaman masyarakat tentang protokol kesehatan itu sederhana namun tidak mudah. Namun pada akhirnya nanti akan terbiasa dengan kehidupan dan pembiasaan model baru.
Misalnya kisah seekor monyet yang dimasukkan ke dalam sangkar. Setiap pagi disajikan sesisir pisang di pintu masuk. Setiap monyet itu mendekat, akan disemprotkan air dengan volume besar ke wajah monyet dari tempat pisang itu digantung. Begitu dilakukan kepada seekor monyet selama satu bulan. Sehingga monyet mengira makan pisang akan mendatangkan bahaya. Sudah tertanam di otak monyet, “Jangan makan pisang, itu berbahaya”. Sebuah pembelajaran terus menerus yang dilakukan berulang-ulang akan tersimpan dalam memori atau otak, meskipun kepada seekor hewan.
Ketika didatangkan monyet baru di dalam sangkar tersebut, monyet lama memberi kode supaya tidak makan pisang yang dipasang di depan pintu karena itu berbahaya. Begitu juga pisang yang diletakkan di sembarang tempat, monyet lama tidak akan memakannya. Sementara monyet baru tidak menghiraukan, menganggap monyet lama itu bodoh. Namun, monyet lama tetap bersikukuh mengingatkan bahwa makan pisang mendatangkan bahaya. Sampai monyet baru tersebut percaya begitu saja.
Jika monyet saja bisa belajar sesuatu dari yang diketahui dan diulang-ulang kenapa terkadang manusia tidak. Belajar melalui pembiasaan dapat menghadirkan sejuta makna. Meskipun kita tidak selamanya bisa belajar sesuatu dari yang tak tampak. Terkadang ada pembelajaran dari sesuatu yang tersira atau tidak nampak. Apabila kita tak mampu menangkap sesuatu saat pandemi melanda, ada makna yang hilang dalam kehidupan tersebut. Adanya perubahan sikap dan perilaku menjadi salah satu tolak ukur seseorang belajar sesuatu dari hal yang dialami.
Namun sebagian orang tidak pernah belajar dari setiap peristiwa yang terjadi. Sebagian mengatakan bahwa Virus Covid-19 adalah kospirasi belaka, hanya akal-akalan pemerintah. Sekedar memeras untuk memperoleh keuntungan sepihak. Namun kita tidak akan membahas tentang itu. Sudah lelah kita berdebat sesuatu yang tidak penting. Alangkah baiknya kita mengais hikmah di setiap peristiwa yang sudah dan telah terjadi.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Bukankah hidup ini mengajarkan tentang kebaikan dan saling menghormati sesama manusia? Selain kepada sesama, beda agama beda suku bahkan beda negara. Menyalahkan berbagai pihak lain, tidaklah menyelesaikan masalah. Mencoba menawarkan solusi menjadi bagian penting.
Bukan siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua ini, apalagi bertanya mengapa ini terjadi. Namun bagaimana kita terlepas dari masa sulit dan terbebas dari masa yang kurang menyenangkan. Tidak mudah memang, tapi harus terus berusaha. Setiap pribadi berkewajiban untuk mencari solusi terbaik untuk kehidupan yang lebih baik. Kesempatan ini lah untuk berhijrah.
Lalu apa hubungannya dengan Covid-19 atau masa pandemi? Semua harus bergandengan tangan untuk berubah. Memulai dengan niat yang benar. Mencoba memperbaiki diri dari keadaan melalui pengalaman hidup masing-masing. Jika seseorang tidak berhijrah, tidak akan ada perubahan dari waktu ke waktu, meski waktu terus berubah. Semua akan sia-sia.
Ketika hari ini sama dengan hari kemarin, hidup kita sudah merugi. Apalagi kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, celaka itu namanya. Andai setiap manusia paham makna hijrah, setiap kata dan perbuatan akan selalu dievaluasi.Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita tinggalkan.
Jika seekor monyet bisa berubah dengan kegiatan yang dilakukan terus-menerus, bagaimana dengan manusia. Manusia yang dibekali dengan hati dan pikiran. Kemauan dan kemampuannya berhijrah sangatlah penting. Sehingga perubahan dalam menjalani kehidupan selanjutnya sangatlah mutlak dibutuhkan. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran yang artinya: “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang saleh dan jadikanlah aku, lisan yang jujur bagi orang-orang (yang datang) kemudian; dan mohon jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.” (As-Syu’ara’: 83-85)
10 bulan kita mampu bertahan. “Menerjang Badai Pandemi. Menyosong Harapan Baru …… ”
Jangan menyerah …
terus berjuang …
percayalah …
Tidak ada harapan yang sia – sia …
Kita pasti bisa ….
Selamat menikmati bulan Desember 2020
Selamat mempersiapkan tahun ke depan yang akan segera datang dalam beberapa hari lagi.
Tahun esok dimana kita akan selalu melihat dan merasakan betapa ALLAH tak pernah luput mengasihi umat NYA.