Esai  

Siti Jenar: Pemimpin Pasukan Revolusi

Oleh: Rozaq Muhammad*

Belakangan diceritakan oleh Sejarawan Agus Sunyoto (penulis buku Atlas Walisongo) bahwa gerakan Manunggaling Kawula Gusti yang diusung oleh Siti Jenar bukanlah gerakan keagamaan namun gerakan sosial yang menuntut kesetaraan kelas di wilayah negara kerajaan Demak era pemerintahan Sultan Trenggana.

Ketika itu Abdul Jalil atau Siti Jenar sedang memperkenalkan sebuah konsep ideologi baru untuk tatanan masyarakat Jawa yang “tanpa kelas” atau dalam istilah lain bisa disebut “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Kerajaan Demak. Akan tetapi oleh Siti Jenar konsep ideologi egalite tersebut dibungkus dalam konsep filsafat agung Jawa “Manunggaling Kawula Gusti” dan filsafat tasawuf Islam “wahdatul wujud”. Strategi tersebut sengaja dilakukan agar lebih mudah dipahami baik oleh golongan Abangan, Santri, maupun Priyayi Jawa.

Siti Jenar mengusulkan agar rakyat (kawula) dan pejabat negara (gusti) dapat bersatu (manunggal) dalam sebuah tatanan sosial yang setara. Konsep “persatuan” yang dimaksud dalam hal ini bukanlah persatuan untuk melawan musuh yang sama -atau barangkali iya- akan tetapi lebih ditekankan untuk bersatu dalam sebuah tatanan masyarakat yang egaliter tanpa sekat kelas. Maksudnya adalah tidak ada golongan sosial yang memiliki derajat lebih tinggi dibanding golongan yang lain. Seluruh elemen masyarakat memiliki derajat yang setara di mata negara.

Ini berarti kalangan Priyayi (termasuk raja dan keluarga kerajaan) dan kalangan Santri (termasuk para ulama dan wali) akan menempati posisi sosial yang sama dengan kalangan rakyat jelata (abangan). Menurut Agus Sunyoto, Siti Jenar melancarkan gerakan ini sepulang belajar dari Mesir dan menyaksikan sendiri budaya egaliter antara rakyat dan penguasa yang begitu harmonis duduk sejajar di lantai yang sama. Siti Jenar merasa budaya seperti inilah yang harus dipakai oleh masyarakat Jawa apabila menginginkan persatuan kekuatan yang utuh untuk membangun bangsa, bukan disekat dengan sistem kasta atas nama unggah-ungguh dan sopan santun dalam beradab.

Baca Juga  Isu Wujudiyah dalam Panggung Sejarah Politik di Jawa

Yang terjadi saat itu, nampaknya definisi mengenai adab telah dipotong-potong untuk kepentingan dan arogansi segelintir pihak, sehingga oknum priyayi dapat berlaku sewenang-wenang kepada siapapun yang memiliki kasta sosial lebih rendah. Diceritakan pula oleh Agus Sunyoto bahwa pada masa itu banyak oknum kerajaan yang semena-mena kepada rakyat jelata, dari isu eksploitasi hasil pertanian hingga pengambilan secara paksa istri atau anak perempuan. Seseorang harus merelakan istri atau anak perempuannya apabila “diminta” oleh oknum pejabat kerajaan. Rakyat golongan jelata tidak ada yang berani melawan karena kasta rendahan tidak seharusnya melawan kasta di atasnya.

Sekeras apapun kita berargumen bahwa agama Islam tidak mengenal sistem kasta, faktanya memang sistem pengelompokan sosial berdasarkan “golongan darah” tersebut pernah berlaku di masyarakat Jawa feodal di bawah penguasaan kerajaan Islam. Setidaknya bekas-bekas tatanan tersebut masih dapat dijumpai hingga era kini.

Secara umum konsep pengastaan tersebut membuat golongan yang dianggap lebih rendah harus sepenuhnya menyerahkan hidupnya kepada golongan yang lebih tinggi. Golongan “darah rendah” tidak memiliki kuasa apapun atas tata kelola alam, masyarakat, dan negara. Mereka harus mempercayakan seluruhnya kepada golongan “darah tinggi” meskipun itu akan merugikan mereka. Ada ancaman berupa “kualat” apabila golongan bawah berani melawan kehendak golongan atas. Akan tetapi hal tersebut tidak berlaku sebaliknya. Tidak ada ancaman “kualat” bagi golongan tinggi apabila menyakiti hati golongan rendah. Golongan tinggi memiliki hak istimewa yang lebih bebas bertindak apapun dengan jaminan golongan di bawahnya akan menuruti.

Struktur dan pola seperti inilah yang dianggap Siti Jenar sebagai sekat pemisah. Idealnya dalam bermasyarakat dan bernegara, seluruh golongan dan kelompok baik itu rakyat jelata, priyayi, maupun kiai harus ditempatkan pada posisi yang setara. Dengan seperti itu diharapkan akan timbul rasa persatuan (manunggal) di berbagai golongan, serta tidak adanya ketimpangan sosial atas hak-hak rakyat sebagai bagian dari negara. Karena rakyat tidak seharusnya dianggap sebagai komoditas budaya saja, akan tetapi memegang fungsi penting sebagai subjek pelaksana tata kenegaraan.

Baca Juga  Biografi Lengkap Sunan Muria Beserta Ajarannya

Sontak saja konsep yang diusung oleh kelompok masyarakat Lemahabang yang dipimpin oleh Siti Jenar ini dianggap sebagai hama oleh pihak kerajaan. Tak hanya merusak tatanan masyarakat yang sudah berjalan, konsep tesebut dianggap akan melemahkan posisi pemerintah karena memicu keberanian rakyat untuk menyampaikan protes.

“Gerakan Revolusi” ini mendapat perhatian serius dari Raja Demak kala itu. Gerakan ini harus segera ditumbangkan. Tangkap dalang dibalik gerakan pemberontakan ini. Adili seadil-adilnya baik menurut hukum negara -yang mana undang-undang kerajaan waktu itu sebagian sudah mengadopsi hukum Islam- maupun menurut hukum Titah Gusti. Singkat cerita gerakan pembangkangan Siti Jenar dapat dikalahkan oleh kerajaan. Siti Jenar terpojok karena harus melawan dua golongan sekaligus, yaitu pihak kerajaan dan pihak ulama (para wali).

Kalah dengan kekuatan kerajaan, Siti Jenar selaku pemimpin pasukan revolusi melarikan diri ke Cirebon untuk meminta perlindungan kepada Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu tokoh wali paling dihormati. Pada titik ini Siti Jenar sudah dinyatakan kalah, sehingga pihak kerajaan segera melakukan upaya untuk menghapus nama baik Siti Jenar dengan memenggal seekor anjing dan mengumumkan ke seluruh penjuru kerajaan bahwa Siti Jenar mati terhina sebagai anjing karena menyerukan ideologi sesat. Menurut Agus Sunyoto, Siti Jenar meninggal secara wajar karena usia tua dan dikuburkan juga di Cirebon.

Ideologi yang dibawa Siti Jenar ini tak hanya berisi tentang konsep sosial masyarakat saja, akan tetapi terselip pemikiran Siti Jenar tentang kepemimpinan. Pemimpin (gusti) harus mau bersatu (manunggal) dengan yang dipimpinnya (kawula). Konsepnya bukan dengan memaksa kawula untuk tunduk kepada segala kehendak gusti, akan tetapi memaksa diri sendiri sebagai pemimpin agar selalu patuh kepada amanat rakyat. Dalam hal ini Siti Jenar mengajarkan konsep kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dalam sebuah tatanan yang disebut manunggaling kawula gusti.

Memang, dalam pengertian filsafat agama manunggaling kawula gusti berarti hamba harus patuh pada segala kehendak Gusti. Konsep manunggal di sini berarti seorang hamba harus menyatu dan menghilangkan eksistensi dirinya dengan patuh dan pasrah kepada segala perintah dan kehendak Gusti. Akan tetapi dalam pengertian filsafat sosial, manunggaling kawula gusti berarti seorang gusti harus patuh pada segala kehendak dan amanat kawula.

Di sini Siti Jenar mengajarkan agar urusan ketuhanan dan urusan sosial yang menyangkut hak masyarakat luas dibedakan. Jangan sampai membohongi rakyat dengan dalil-dalil agama untuk kepentingan segelintir pihak. Kini sang pemimpin revolusi itu telah tiada akan tetapi namanya selalu dikenang. Meskipun beberapa pihak mengenangnya dengan catatan kelam, akan tetapi ideologi yang diusungnya dulu kini telah dipakai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia secara resmi dan menjelma sebagai sila ke lima berupa “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” yang tanpa diskriminasi dan sekat kelas sosial.

Baca Juga  Sekolah dan Pendidikan Humanistik

Siti Jenar atau Syaikh Abdul Jalil adalah seorang ulama yang memiliki andil besar bagi kelangsungan sejarah masyarakat Jawa. Pemikirannya tentang tata negara dan ide besarnya tentang konsep kepemimpinan telah mengguncang sebuah kerajaan. Kepeduliannya kepada hak rakyat jelata membawa namanya dikenal sebagai tokoh yang harus diwaspadai, gerak-geriknya diawasi, dan kematiannya dipalsukan. Sejatinya Siti Jenar adalah pembela kaum lemah yang dipecundangi oleh oknum kerajaan. Doa dan hadiah fatihah untuk beliau Syaikh Abdul Jalil Siti Jenar agar semangat juangnya selalu membimbing kita ke arah kemajuan peradaban. Al-faatihah..

*Rozaq Muhammad, Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah UGM.

Tinggalkan Balasan