Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wordpress-seo domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Inklusivitas dalam Wisata Religi: Membuat Ziarah Makam Wali Ramah Bagi Disabilitas - Dawuh Guru
Esai, Opini  

Inklusivitas dalam Wisata Religi: Membuat Ziarah Makam Wali Ramah Bagi Disabilitas

Oleh: Mohammad Ulil Rosya
Mahasiswa S2 Universitas PTIQ Jakarta

Data dari Kementerian Pariwisata pada tahun 2022 menunjukkan jumlah wisatawan ziarah makam domestik mencapai lebih dari 12 juta orang, sementara kunjungan wisatawan mancanegara tercatat sebanyak 450 ribu.

Sayangnya, jenis wisata ini tidak bisa dinikmati semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas. Padahal, pengalaman pariwisata seperti ini sangat berharga bagi mereka, baik untuk berdoa dan bertawasul, belajar sejarah, melakukan riset, atau sekadar bertamasya.

Dikutip jadi JPNN.com menceritakan pengalaman para difabel saat bertamasya ke makam Bung Karno. Rara Lingga dan Dwi Lindawati, perwakilan dari Komunitas Disabilitas Malang Raya, menyampaikan rasa bahagia dan terima kasih kepada Polresta Malang Kota.

Rara mengatakan bahwa berwisata dengan kereta api mungkin terlihat sederhana bagi kebanyakan orang. “Namun, bagi kami penyandang disabilitas, bisa naik kereta bersama seperti ini merupakan mimpi kecil yang menjadi nyata,” ujarnya. “Kami merasa bahagia dan terharu akhirnya bisa naik kereta api juga,” tambahnya.

Sayangnya, penyandang disabilitas masih menghadapi diskriminasi sistematis dalam perjalanan dan aksesibilitasnya. Mereka menghadapi hambatan yang tidak dialami oleh orang tanpa disabilitas, yang dapat menghalangi mereka saat berlibur atau setidaknya sangat membatasi pilihan mereka mengenai destinasi dan aktivitas.

Menurut Garrod, alasan ini sudah dikenal luas. Penyandang disabilitas sering kali tidak mendapatkan tiga hal utama: informasi yang memadai, fasilitas yang memadai, dan sikap positif dari orang lain.

Pembahasan Disabilitas & Difabel

Definisi penyandang disabilitas berdasarkan UU No 8/2016 selaras dengan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, yang mengacu pada penyandang disabilitas sebagai: mereka yang memiliki gangguan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksi dengan berbagai hambatan dapat menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan orang lain.

Baca Juga  Muwajjah: Tempat Terbaik Interaksi Guru dan Murid

Namun, istilah ini masih dianggap merendahkan pandangan terhadap kaum disabilitas. Oleh karena itu, muncul istilah “difabel” atau “difabilitas” yang berasal dari kata “different ability,” yang berarti orang dengan kemampuan berbeda atau kebutuhan khusus. Berdasarkan klasifikasinya, jenis difabel terbagi menjadi tiga: difabel fisik, difabel mental, dan difabel karakteristik sosial.

Pertama, difabel fisik, yaitu kekurangan pada satu atau lebih organ tubuh tertentu yang menyebabkan fungsi organ tersebut tidak dapat beroperasi secara normal. Kedua, difabel mental, yaitu individu yang memiliki kekurangan dalam kemampuan berpikir kritis dan logis dalam menanggapi dunia sekitar. Ketiga, difabel karakteristik sosial, yaitu mereka yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain.

Dalam upaya menciptakan pariwisata di sektor ziarah makam, masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan oleh badan penyelenggara dan pemerintah terkait agar ziarah makam menjadi pariwisata yang ramah disabilitas.

Kebutuhan seperti jalur pemandu khusus penyandang disabilitas, ruang tunggu khusus, toilet khusus, tempat parkir khusus, jalur sirkulasi khusus, jalur pedestrian khusus, perangkat Braille, guiding block, dan lain-lain harus dipenuhi.

Seiring berjalannya waktu, Konstitusional Indonesia telah menghasilkan 114 perundang-undangan sejak tahun 1945 yang terkait dengan disabilitas dan berasaskan pendekatan HAM (Hak Asasi Manusia). Contohnya adalah UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-undang lainnya termasuk UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, terdapat Perda Kabupaten, Kota, dan Provinsi tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak untuk menikmati pariwisata seperti ziarah kubur.

Baca Juga  CERDAS MENYIKAPI DARING DAN PANDEMI

Dalam penerapannya, ada beberapa pemakaman yang sudah memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas. Salah satunya adalah makam KH. Soleh Darat di Semarang. Menurut Kabid Pertamanan dan Permukiman Disperkim Kota Semarang, Murni Ediati, kebanyakan akses jalan di wisata religi belum ramah disabilitas.

Oleh karena itu, dilakukan pembangunan dan pemugaran agar area tersebut ramah bagi penyandang disabilitas, termasuk peziarah yang menggunakan kursi roda. Pelebaran jalan dilakukan dengan menambahkan akses khusus bagi penyandang disabilitas, agar mereka dapat berziarah dengan nyaman.

Adanya role model seperti makam Rasulullah saw. di Madinah bisa dijadikan acuan. Meski tak semua fasilitas bisa diterapkan, setidaknya terdapat antrian khusus dan jalan khusus yang tidak membuat para penyandang disabilitas berdesakan dengan orang lain.

Fasilitas ini sangat penting terutama saat terjadi lonjakan peziarah di makam pahlawan, wali, dan tokoh-tokoh daerah. Penyandang disabilitas akan sangat terbantu dengan adanya fasilitas tersebut.

Islam sangat menjunjung tinggi hak penyandang disabilitas. Hal ini tercantum dalam QS. Abasa ayat 1-4. Ayat ini terkait seorang tunanetra bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Abdullah bin Ummi Maktum datang menghadap Rasulullah saw. yang sedang sibuk berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum mengundang kekecewaan dari Rasulullah saw. Beliau pun bermuka masam dan berpaling.

Setelah surah ‘Abasa ayat 1-4 turun untuk menegur sikap Rasulullah, barulah Abdullah bin Ummi Maktum dilayani secara terhormat. Sebagian ulama menarik hikmah dari peristiwa ini.

Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan agama. Etika sosial harus dijaga. Rasulullah saw. memberikan pelajaran (ta’dīb) kepada Abdullah bin Ummi Maktum. Bahkan, ia diberi kesempatan menjadi pemimpin sebagai pengganti Rasulullah saat beliau berperang.

Baca Juga  Tingkatan Bersesuci Menurut Imam Al-Ghazali

Untuk menciptakan inklusivitas dalam wisata religi, kolaborasi antara pemerintah, pengelola wisata, dan masyarakat sangat penting. Fasilitas ramah disabilitas dan informasi yang jelas perlu dibangun untuk memastikan semua individu dapat menikmati wisata religi dengan lebih baik.

Kita tidak hanya membuka kesempatan bagi semua individu untuk menikmati wisata religi, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual bersama melalui sikap positif dan penghormatan. Marilah kita bersama-sama mewujudkan wisata religi yang inklusif untuk memperkuat kepedulian dan penghormatan terhadap sesama.

Pastikan setiap orang dapat merasakan manfaat dan kebahagiaan dari wisata ini untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan adil. Langkah kecil kita hari ini merupakan lompatan besar menuju visi yang lebih baik bagi wisata religi yang inklusif. (*)