Cerpen  

Setelah Kamboja Terakhir Gugur

Oleh: Krisna Yuniasari Rizkiani

Angin seakan berhenti, namun sejuk itu ada di sisiku. Keheningan pada dinding-dinding dan atap ruang ini begitu terasa. Meredam bising dari luar, mempersilakan syair indah berlabuh mengisi ruang ini dengan suaranya. Suara berat namun lembut, mengalun pelan penuh penghayatan menyebut nama Rasulullah untuk jiwaku. Duhai hati, sirnalah sudah segala duka, amarah, dan gelisah.

Shallallahu`ala Muhammad

Shallallahu`alaihi wa sallam

Nama Sang Rasul selalu disebut dalam shalawat Jibril, salam padanya terpanjatkan dari ruang ini. Berulang-ulang dengan irama yang sangat pas di telingaku. Irama yang ingin kudengarkan lagi dan lagi. Rasanya, selesailah sudah semua kurang yang kurasa, sampailah sudah apa yang kukejar. Tibalah aku pada kedamaian.

Duhai dunia, biarlah engkau menawarkan berbagai macam hal tak berkesudahan yang menggugah nafsuku, bagiku selama ada dia di sisiku  maka semua terasa cukup.

Shalawat itu terus mengalun lembut dari suaranya. Menggema di antara keheningan malam. Mengantarku pada tidur lelap dan damai. Damai sekali hingga aku bermimpi surga. Bagaimanalah mimpiku tidak indah, bila yang mengantarku ke sana adalah lantunan syair dari kekasihku untuk sang Kekasih Allah yang paling kurindui. Andai aku mati saat itu, maka matilah aku dalam keadaan tenang.

Udara pagi menelisik dari celah-celah ventilasi, dibangunkannya aku dengan dingin air pada tangannya yang diusapkan di kelopak mataku. Mana mungkin aku terganggu? Mana mungkin aku kembali tertidur? Bila hal pertama yang kuingat di setiap bangunku adalah dirinya. Semua tentangnya adalah amanah bagiku. Semua kewajibanku padanya adalah amal bagiku.

Tersenyumlah dia ketika aku membuka mata sebagaimana caranya ketika memandangku. Hidupku sebelum ini begitu berantakan, tapi Yaa Rabb, izinkan aku berusaha memperbaiki. Izinkan aku menjemputi kebaikan-kebaikan yang pernah kulewati. Izinkan aku untuk mengerti sebagaimana cinta yang begitu mendamaikan. Sebagaimana air yang memadamkan api, sebagaimana hujan pada sungai yang kering.

Air wudhu dini hari yang dahulu terasa dingin di kulit, kini berubah sejuk setelah kehadirannya. Aku tahu ini hanya suasana hatiku yang berubah, sedang air dan suhu tetaplah bersiklus seperti biasa. Maka, Yaa Rabb, tetapkanlah semua perasaan ini untuk selamanya sebagaimana hatiku padanya saat ini.

Beginikah rasanya menunduk penuh takzim? Beginikah rasanya menjadi jama`ah imamku? Beginikah rasanya shalat bersama imamku? Setelah sekian lama sajadah terdepan ditinggal oleh pemiliknya. Yaa Rabb, pada sujud terakhirku, aku menangis. Barulah aku mengerti sebagaimana teori yang ketika berusaha dipahami maka akan menjadi makna. Pada tahajjud ini, aku menemukan makna sejati.

***

Dulu aku bepikir bahwa cinta adalah hal yang salah. Siapalah diriku hingga berani memberikan jaminan hidup untuknya?

Ternyata aku yang keliru memahami. Dia yang menjadi makmumku ini, membuatku seakan lilin pada puncak mercusuar yang paling gelap tanpa bantuan lampu-lampu listrik. Seakan aku menjadi cahaya kecil di ujung mercusuar yang pendarnya sangat dibutuhkan, bila padam maka terbenturlah kapal malam yang tengah berlayar pada beton-beton mercusuar.

Ia menghapus segala rasa ketidakmampuanku. Dia menyampaikan semua pesan itu melewati relung-relung perasaannya yang paling halus untuk menyentuh logikaku. Menjadikan semuanya begitu masuk akal. Dia wanitaku, makmumku hingga nanti, meski shalatku dalam keadaan berbaring kelak.

Tak boleh tersakiti, tak boleh kubiarkan dirinya menderita bersamaku. Dia telah menempatkanku di atas kebahagaiaannya, maka Yaa Allah, izinkan aku meski hanya serupa lilin kecil di tengah kegelapan malam sebagai pendar untuknya. Yaa Allah, mampukan aku menuju surga-Mu dengan tautan  tanganku bersamanya.

Baca Juga  Kini

Tiga tahun silam, duka itu datang menyelimuti bumi yang tersentuh jatuhan air matanya dan langit yang menurunkan gerimis seakan menangis. Liang lahat telah tertutup, langkah-langkah kaki mulai menjauh pergi. Tertinggal dia dan beberapa keluarganya yang lain. Aku juga tetap berdiri di sana meski bukan siapa-siapa dari mereka. Aku hanya mengenal almarhum ayahnya, dan beliau mengenaliku lebih baik daripada diriku sendiri.

Aku pun tidak mengerti, kaki ini enggan untuk menjauh. Melihat dirinya tertunduk sedih, rasanya sama seperti di saat aku melihat almarhum ayahnya ketika menghadapi situasi tersulit. Kehilangan sang ayah membuat dirinya terlihat setengah hampa. Bila aku menjadi seorang ayah dan melihat putriku tengah berduka, maka akan kudekap putriku. Menenangkannya dengan lantunan doa-doa untuk mengusir gundah pada putriku.

Setelah kamboja terakhir gugur dalam siraman jingga sore itu, mereka beranjak pulang. Aku mengiringi hingga pada kendaraan masing-masing.

Tinggallah timbunan tanah basah bertajak nisan putih bersih sebagai penghuni baru di sini, seseorang yang pernah membuatku dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki ayah. Seseorang yang kepergiannya hari itu mampu memberikan kehilangan mendalam pada siapapun yang pernah mengenalnya. Husnul khatimah, insya Allah.

***

Tiga tahun silam, dengan jemari yang menyusuri permukaan gundukan tanah yang basah.

Duhai rintik gerimis, terima kasih telah membersamai duka ini. Sesungguhnya hati ini telah terambil setengahnya di hari ini. Kini kehampaan perlahan mengisi. Aku ridho ayah berpulang, aku ridho raga ayah tak lagi bisa di sampingku, tapi Yaa Rabb…  sampaikanlah rasa rinduku padanya dalam setiap doaku.

Izinkan Rasulullah meminumkan air telaga Al-Kautsar dari tangannya untuk ayah, sebagaimana hausnya kerinduan ayah pada Rasulullah yang dulu sering dihantarkannya melalui shalawat Jibril.

Ayah, aku tahu ayah tidak sedang pergi. Ayah hanya sedang menunggu dari jauh. Aku juga tahu bahwa aku bukan kehilangan. Aku hanya sedang tertinggal. Namun jauhnya bukan lagi sekadar jarak antara bumi dan langit, tapi jarak antara dimensi yang berbeda.

Kemanalah aku mencari lantunan syahdu, bila sang penyair yang biasa menenangkanku dengan shalawat Jibril telah berpindah dari sisiku? Bagaimanalah aku bisa tertidur lelap, bila kini tangannya pun tak lagi bisa kugapai, sedang dia adalah pemilik usapan paling lembut pada keningku di setiap mata ini enggan terpejam.

Setelah kamboja terakhir gugur dalam siraman jingga sore ini, aku beranjak pulang. Pulang berteman kehampaan dan hati yang akan terus merindu.  Perjalanan apa yang paling terjal? Perjalanan pulang yang tiada lagi seseorang yang akan dituju dan dijadikan tempat untuk  kembali. Tempat apa yang paling gelap? Rumah yang tiada lagi di dalamnya seseorang yang selalu menungguku untuk pulang.

Hari ini, untuk pertama kalinya, bagaimanalah gundahku bisa hilang tanpa ada lagi suaranya yang menyebut nama Rasulullah di dekatku? Bagaimanalah mataku bisa terpejam tanpa ada lagi tangan yang memiliki usapan paling lembut pada keningku? Bagaimanalah aku bisa bermimpi bila sang pengantar tidur pun telah berpulang selamanya?

Ayah, apa rasanya berpulang dengan senyuman di wajahmu seperti tadi?

***

Enam bulan setelah kepergian seseorang yang pernah membuatku dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki ayah. Seseorang yang mengenaliku lebih baik daripada diriku sendiri.

Aku menuju pertambakan besar dimana beberapa jenis ikan dibudidayakan di sana. Entah sudah berapa kali aku harus memantaskan diri, entah sudah berapa kali aku menghela  napas dalam-dalam, aku bahkan belum mempersiapkan diri untuk semua ini. Tapi dalam hati paling dalam, aku berjanji tak akan berkhianat atas amanah ini.

Baca Juga  Karomah Habib Ja’far Al kaff: Mengislamkan Orang yang Sudah Meninggal

Sampailah aku pada tepian danau yang di pinggirnya berjejer petak-petak keramba ikan. Berseberangan dengan deretan gunung yang makin jauh makin memudar seakan membentuk siluet. Angin sejuk langsung menerpaku.

Setelah kepergian seseorang yang mengenaliku lebih baik daripada diriku sendiri, putri beliau menghubungiku untuk mengelola pertambakan milik beliau. Saat itu, dibawa kepadaku tulisan tangan bertinta tebal dengan penekanan sangat dalam di setiap hurufnya. Menyuratkan pesan, memberikan amanah itu kepadaku. Tulisannya begitu tulus, tanpa ragu. Nampak menyiratkan kepercayaan.

Bisakah aku memanggilnya ayah meski beliau telah tiada? Sungguh beliau lebih daripada rekan bisnis. Beliau adalah sosok ayah yang kucari dan kuinginkan. Aku tak pernah memandang wajah ayahku, aku tak pernah tahu. Aku dibesarkan oleh kerasnya perjuangan ibu, oleh cibiran orang sekitar, oleh imaji-imaji ngeri setiap mendengar cerita-cerita tentang ayahku dari mulut mereka.

Mereka bilang ayahku tukang tipu, tukang mabuk, tukang kelahi. Lalu kabur meninggalkan kami di kontrakan sempit dalam gang kecil yang berdekatan dengan area pembuangan sampah. Ibu yang selalu ada untukku. Ibu juga sekaligus menjadi ayahku. Ibu yang mengurusku di rumah dan mencari nafkah di bawah panas terik.

Ketika aku beranjak dewasa dan kembali dari perantauan, ibu berpulang. Ibu telah menunaikan semuanya. Katanya, bila masih dapat melihat senyum ibu, maka dunia akan baik-baik saja. Senyum ibu  selalu ada di ingatanku. Kapan ibu pernah menangis? Bahkan di tidur terlamanya saja, ibu masih tersenyum. Ibu tidak benar-benar pergi, ibu selalu tinggal di hatiku.

Angin menerpa, awan-awan di atas pegunungan bergerak perlahan. Air danau tenang bergelombang karena tekanan angin, para pengurus keramba sibuk dengan aktivitasnya. Hanya aku yang terdiam dari tadi, sedang mengingat ibu dan… oh ibu, apa yang bisa kujadikan jaminan selain kejujuran bila seseorang di sana mempercayakan sepenuhnya sebuah amanah kepadaku?

***

Enam bulan sudah ayah pergi, kehadiran ayah tidak pernah tergantikan, hingga akhirnya aku begitu akrab dengan kesedihan. Dulu bila aku sedih, ayah selalu bilang sedihnya tidak boleh lama-lama. Tapi kali ini, bolehkah aku berharap ayah ada di sini dan mengatakan hal itu lagi untukku?

Danau ini adalah saksi bisu, perjuangan ayah dari sepetak keramba dan berkembang  menjadi ladang pekerjaan untuk beberapa orang, hingga membangun berbagai sarana untuk objek wisata. Ayah adalah pembelajar yang baik.

Menyaksikan awan-awan seperti kapas, angin yang berhembus, dan sekawanan burung yang terbang merendah mencari ikan adalah pemandangan yang berulang setiap hari, tapi tak pernah aku bosan menikmatinya meski sudah sedari tadi.

Dari kejauhan, aku mendengar serangkaian suara yang kuhapal betul. Deru suara mobil itu aku tahu. Suara yang dihasilkan ketika dia menutup pintu mobil, juga aku tahu. Apalagi suara langkahnya. Dulu, ketika aku membantu ayah mengurus pertambakan ini, aku dan dia memang tidak saling mengenal, tetapi pernah beberapa kali bertemu meski tanpa saling mau tahu.

Oh ayah, aku mempercayainya sebagaimana ayah percaya padanya atas amanah yang ayah tulis. Selain karena ayah dapat mengenali diri seseorang dengan sangat baik, entah mengapa aku juga seakan melihat jiwa ayah pada dirinya.

Ayah, dia bilang dia tidak bisa menjaminkan apapun selain hanya kejujuran untuk usaha pertambakan ayah ini.

Padahal, jaminan apa yang lebih berharga dari sebuah kejujuran?

Lagi pula, apa yang bisa kutitipkan selain rasa percaya?

Pada danau ini, pada pemandangan gunung dan langit, pada gerak ikan-ikan yang berenang di keramba, aku selalu merasakan bahwa ayah ada di sana, sedang melihat-lihat, sedang ikut mengurus tambak, atau juga sedang duduk di sampingku sambil memberi makan ikan.

Baca Juga  Puasa Hari Terakhir

Tapi mengapa juga aku seakan melihat ayah dalam dirinya?

***

Dua tahun setelah kami pertama kali berbicara untuk kepengurusan pertambakan. Setelah berkali-kali aku menengadahkan tanganku dengan panjatan doa-doa terdalamku.

Dia tidak meminta apapun dari yang kupunya dan kukumpulkan selama ini. Namun jawabannya adalah apa yang kucari selama ini. Dia bilang, “hatiku memiliki kecenderungan kepadamu atas izin Allah, untuk menjalankan konsep keluarga sesuai yang kutulis dan kau balas pada lembaran kemarin. Maka aku berharap, kelak atas wasilah kepemimpinanmu kepadaku, aku ingin menjadi pembelajar  dalam menyempurnakan separuh agamaku.”

Bagaimana bisa bidadari menjadi makhluk terindah, sedangkan di sini ada wanita yang memiliki hati paling mulia? Bagaimana bisa aku menutup pintu hati, sedang dia mengetuknya dengan membawa ladang pahala? Bagaimana bisa aku tak menjaganya? Sedang dia adalah putri dari seseorang yang pernah membuatku dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ayah.

Pada hari itu, tak ada pesta megah dan meriah. Semua sederhana dan sakral. Kain-kain putih tipis yang menghias anggun, udara pagi yang memenuhi seisi masjid, dan jabat tanganku pada wali nikah yang menguat seiring ucapan qobulku.

Dia tidak meminta apapun dari yang kupunya dan kukumpulkan selama ini. Namun ada satu permintaan darinya yang akan  kupelajari seumur hidupku.

“Bagaimanapun kita, selama masih bersama bahkan bila nanti tubuhku telah di dalam tanah, teruslah lantunkan surah Al-Fatihah untukku. Setiap hari. Bila kau sedang ada di sisiku, Al-Fatihah bagiku adalah magnet daya tarik dalam dirimu. Bila kau sedang jauh dari sisiku, Al-Fatihah adalah penjaga untukku. Bila kita sedang dalam kondisi sakit, Al-Fatihah adalah obat penawar terbaik.”

Aku bertanya, mengapa surah Al-Fatihah?

“Sesuka itu aku dengan surah tersebut. Kata ayahku, surah tersebut berisi rangkuman dari seluruh isi Al-Quran. Surah yang berisi besarnya Allah atas makhluk-Nya, juga surah yang mengajarkan kita untuk menghamba.”

Yaa Allah, seakan batu karang yang terbelah oleh hempasan gelombang laut yang paling dasyat, seakan tembok tebal yang runtuh karena satu tembakan peluru, begitulah perkataannya menggeser idealisme duniawi dalam menjalankan ibadah terlama.

Kepada dirinya yang memilihku untuk membersamainya dalam perjalanan ibadah terlama ini, surah Al-Fatihah kulantunkan untuknya di setiap pagi, setiap hari, di manapun entah ketika jarak kami dekat maupun jauh.

Kuhantarkan di setiap tidurnya dengan shalawat Jibril. Shalawat yang sering kulantunkan dari dulu hingga sekarang, yang ternyata juga menyimpan kenangan manis antara dirinya dan ayahnya.  Kuusap lembut keningnya. Ada berapa banyak kerinduan di benaknya hingga hanya lantunan shalawat yang dapat mengobati?

Wahai seseorang yang pernah membuatku dapat membayangkan bagaimana rasanya memiliki seorang ayah, tibalah bagiku saat ini untuk memanggilmu ayah. Akan kulantunkan shalawat untuk mengantarkan putrimu pada mimpi indah, sebagaimana engkau melakukannya dulu. Akan kuusap keningnya, sebagaimana ia merindukan usapan tanganmu seperti waktu dulu. Dalam surah Al-Fatihah, kutemukan kebaikan yang  kau ajarkan.

Tentang Penulis

Krisna Yuniasari Rizkiani, kelahiran 10 Juni 1998, yang belajar mengembangkan hobi menulisnya sebagai kegiatan untuk menuangkan berbagai sudut pandang dari ilmu-ilmu yang pernah didapatkannya. Selain itu, baginya menulis adalah cara efektif untuk mengobati  diri sendiri dan mengelola imajinasi menjadi bentuk yang dapat dibaca. Penulis dapat disapa melalui akun instagramnya: @krisnayuniasari

Tinggalkan Balasan