Oleh : Bagas Arya Muttaqin
Pendiri Pondok Pesantren As-Sholichiyah, KH. Muhammad Ilyas wafat pada 6 Syawal 1941 M di usianya yang sudah lanjut yaitu kurang lebih 130 tahun-an. Waktu kecil beliau dipanggil “Muhammad Ilyas”, kemudian setelah dari berpergi melaksanakan haji namanya berganti “Muhammad Sholeh”.
Hal yang sudah menjadi kebiasaan orang zaman dulu, bagi siapa saja yang telah menunaikan ibadah haji namanya akan diganti, dan juga mendapatkan status baru yang disebut “Haji”. Namun, masyarakat di daerah Penarip memanggilnya dengan “Mbah Sholeh Ilyas”. Di Mojokerto terdapat dua ulama bernama “Ilyas” yang juga merupakan ulama sesepuh, yakni “Mbah Ilyas Penarip” dan “Mbah Ilyas Karangnongko” yakni ayah dari KH. Husein Ilyas Karangnongko.
KH. Muhammad Ilyas merupakan pendatang di daerah Penarip, untuk tanggal dan lahir beliau secara pasti masih sangat sulit untuk dideteksi peneliti, karena dia telah meninggalkan kampung halamannya sejak kecil sehingga peneliti tidak dapat menemukan data yang dapat dipercaya.
Namun, pernyataan tersebut disampaikan oleh ahli warisnya melalui tradisi lisan yakni Muhammad Ilyasin keturunan generasi ke 3 dari KH. Muhammad Ilyas, bahwa KH. Muhammad Ilyas dilahirkan pada kisaran tahun 1822-an di Desa Kasesi, Kecamatan Kasesi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Ayah beliau bernama Abu Bakar Batowil Ba’asyin merupakan orang yang terpandang di daerahnya. Namun, sedari kecil KH. Muhammad Ilyas sudah menjadi anak yatim karena ayah beliau sudah meninggal sebelum beliau di khitan.
Hal ini menjadikan KH. Muhammad Ilyas meninggalkan tanah kelahirannya untuk melanjutkan hidupnya. Kemudian dari meninggalkan tempat kelahirannya KH. Muhammad Ilyas merantau menuju arah ke Barat, lebih tepatnya untuk nyantri kepada seorang kyai di sebuah desa yang bernama Bondan, Kecamatan Kertasemaya, Indramayu di Jawa Barat, yang dikenal sebagai Kiai Asro.
Tidak hanya berguru kepada Kiai Asro, KH. Muhammad Ilyas juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat tentang ilmu-ilmu agama yang sekarang berkembang menjadi Pondok Pesantren Assalafie.
Alm. KH. Syaerozie Abdurrohim pertama kali mendirikan pondok pesantren ini pada tahun 1960-an dan merupakan cabang dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang konon merupakan pesantren tertua di Jawa Barat dan telah beroperasi selama 300
tahun.
Beberapa tahun kemudian KH. Muhammad Ilyas meneruskan perjalanannya ke Jawa bagian tengah. KH. Muhammad Ilyas melanjutkan menuntut ilmu ke daerah Tegalsari Ponorogo. Bila menyinggung Tegalsari, tidak akan lepas dari salah satu tokoh ulama besar yakni KH. Hasan Besari, KH. Muhammad Ilyas menyempatkan untuk belajar di Pondok Pesantren Tegalsari.
Dari beragam macam kitab dipelajari disini, Kitab Sittin, Kitab Fathul Mu’in, Kitab Fathul Qarib, Kitab Midkhal, Kitab Samaraqandi, Kitab Miftahul Ulum, dan juga kitab lainnya yang berjenis Ushul Fiqh, Tauhid, dan lain sebagainya.
Salah satu pesantren tua yang tertulis dalam catatan sejarah adalah Pesantren Tegalsari. Setidaknya terdapat 47 buku ditemukan dalam manuskrip digital delpher terdapat tulisan terkait Pesantren Tegalsari, serta 107 manuskrip dalam The British Library yang dianggap sebagai peninggalan Pesantren Tegalsari.
Pesantren yang didirikan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari ini, terletak di desa Tegalsari Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. Di sinilah santri-santri dari pesisir utara pergi untuk melanjutkan pelajarannya. Bahkan masih belum ditemukannya bukti atau data yang jelas adanya pesantren sebelum berdirinya Tegalsari.
Para sejarawan juga berbeda pendapat dengan para pendiri pertama pesantren. Pesantren pertama di Jawa ini menurut beberapa ahli didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenal dengan Sunan Gresik. Raden Rahmat, juga dikenal sebagai Sunan Ampel, adalah pengurus pondok pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya, menurut sejarawan lain.
Ada pula yang menegaskan bahwa selama dalam pengasingan bersama para pengikutnya, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati menggarap pesantren, dan keberadaan pesantren serta perkembangannya di Indonesia baru diketahui setelah abad ke-16.
Bersambung…..