Kajian Turats Ulama Nusantara yang rutin digelar oleh Islam Nusantara Center (INC) kali ini membahas sosok Syekh Abdul Syakur Surabaya, salah satu guru dari Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari.
Menurut Ginanjar Sya’ban, dalam catatan pribadi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang bertitimangsa bulan Ramadhan 1318 Hijriah atau Desember 1900, disebutkan bahwa Syekh Abdul Syakur Surabaya adalah salah satu gurunya saat belajar di Mekkah. Dari Syekh Abdul Syakur ini, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari juga mendapatkan sanad untuk kitab al-Hikam karya Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari.
Namun, lanjut Ginanjar Sya’ban, yang juga penulis buku Mahakarya Ulama Nusantara, sangat sedikit sumber yang menjelaskan keberadaan Syekh Abdul Syakur Surabaya ini. Baik dalam sumber-sumber Arab maupun Nusantara, informasi tentang beliau hampir tidak ditemukan. Satu-satunya petunjuk yang mengarah pada keberadaan Syekh Abdul Syakur adalah catatan pribadi Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Yang mengejutkan, menurut Ginanjar, jejak intelektual Syekh Abdul Syakur ternyata juga terekam dalam catatan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda. Snouck bertemu dengan Syekh Abdul Syakur Surabaya saat ia berada di kota Mekkah pada tahun 1885-1886. Selain dengan Syekh Abdul Syakur, Snouck juga bertemu dengan ulama besar lainnya seperti Syekh Nawawi Banten.
Dalam catatan Snouck Hurgronje, sebagaimana diungkapkan oleh Dosen Pascasarjana UNU Indonesia (Unusia) Jakarta, Syekh Abdul Syakur digambarkan sebagai intelektual besar asal Nusantara dengan reputasi yang cemerlang di Makkah. Sosoknya dianggap sepadan dengan ulama besar lainnya, seperti Syekh Nawawi Banten. Menurut Ginanjar Sya’ban, Syekh Abdul Syakur Surabaya bahkan menjadi menantu dari Syekh Muhammad Syatha, seorang ulama besar Mekkah pada zamannya yang juga ayah dari Sayyid Bakri Syatha, pengarang kitab *Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in*, yang sangat populer di kalangan pesantren Nusantara.
Di sisi lain, sosok Kiai Raden Abdusy Syakur, yang biasa disingkat K. R. Abd. Syakur, mungkin kurang populer bagi generasi saat ini. Namun, bagi generasi tiga zaman sebelum era reformasi, nama Kiai yang tinggal di Jalan Manikam, Kelurahan Bangselok ini sangat dikenal dan disegani, khususnya di kalangan Nahdliyin. Kiai Syakur, atau yang juga sering dipanggil Dhin Syakur—di mana “Dhin” merupakan penggalan dari Radhin atau Raden—lahir di Sumenep pada tahun 1919 Masehi. Ia adalah putra dari pasangan Raden Sidin Joyowitomo dan Nyai Sabati, yang berasal dari kampung Lao’ Sok-sok, Desa Pandian, Kecamatan Kota Sumenep.
Dhin Syakur berasal dari keluarga ulama dan bangsawan. Ayahnya, Raden Sidin, adalah cucu dari Kiai Zainal Abidin, seorang Penghulu Batuampar yang menikah dengan salah satu putri Raja Semarang. Putri ini wafat pada tahun 1830-an Masehi dan dikuburkan di Kabupaten Sumenep. Kangjeng Kiai Adipati Ario Suroadimenggolo V, putri tersebut, merupakan salah satu penguasa di masanya yang dikenal sebagai tokoh anti-Belanda. Beliau juga adalah saudara sepupu Sultan Sumenep, Pakunataningrat, yang sekaligus menjadi mertuanya.
Kiai Zainal Abidin sendiri adalah cucu dari Kiai Ibrahim, saudara Bindara Saut, Raja Sumenep, dari ibu yang berbeda. Keduanya adalah putra dari Kiai Abdullah, yang lebih dikenal sebagai Kiai Batuampar, salah satu waliyullah dan ulama besar di zamannya. Dengan demikian, Dhin Syakur mewarisi darah ulama dan bangsawan yang kuat dalam garis keturunannya, menjadikannya sosok yang dihormati dalam lingkup masyarakatnya.
Menurut salah satu putra Kiai Syakur, Kiai Haji Raden Taufiqurrahman, ayahnya menempuh pendidikan umum dan juga salafiyah. Namun, Kiai Taufiq, yang merupakan panggilan akrab KH. R. Taufiqurrahman, menyatakan bahwa tidak ada catatan yang jelas mengenai riwayat pendidikan Kiai Syakur. Meskipun demikian, pengaruh dan ketokohan Kiai Syakur tetap kuat dirasakan dalam komunitasnya, terutama di kalangan Nahdliyin di Sumenep.
Kiai Haji Raden Taufiqurrahman, putra dari Kiai Raden Abdusy Syakur, menjelaskan bahwa ayahnya belajar agama kepada banyak kiai. “Hanya setahu saya, Kai (ayah; red) itu mengaji pada banyak kiai. Jadi gurunya banyak. Istilahnya tabarrukan,” ungkapnya. Kiai Taufiq menyebut beberapa nama guru Kiai Syakur, termasuk Kiai Haji Zainal Arifin dari Tarate, dan seorang kiai alim di Desa Kebunagung yang namanya tidak ia ingat.
Setelah menimba ilmu agama dari berbagai kiai, Kiai Syakur melanjutkan pengabdiannya dengan mengajar mengaji. Selain itu, ia juga bekerja sebagai pegawai pemerintah di PN Garam Sumenep. Meskipun demikian, kariernya di sana tidak berlangsung lama, karena Kiai Syakur memutuskan untuk mengajukan pensiun dini. “Hanya saja, di PN Garam, Kai itu tidak lama, alias mengajukan pensiun dini,” tutur Kiai Taufiq.
Kiai Syakur juga terlibat dalam dunia politik. Pada era Orde Baru, ia menjadi fungsionaris Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai berlambang Ka’bah. Bahkan, ia tercatat sebagai Juru Kampanye (Jurkam) PPP. Namun, seperti dalam kariernya di PN Garam, Kiai Syakur juga memilih untuk mundur dari dunia politik. “Namun, lagi-lagi beliau mengundurkan diri. Mengenai alasannya, saya juga kurang begitu tahu,” ujar Kiai Taufiq.
Di kalangan Nahdliyin, Kiai Syakur dikenal sebagai tokoh alim yang sangat dihormati. Peranannya dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Sumenep cukup signifikan. Ia turut membesarkan NU di wilayah tersebut dan menjabat sebagai Musytasyar, atau penasehat, dalam struktur organisasi NU setempat.
Setelah memutuskan pensiun dini dari PN Garam Sumenep dan mundur dari PPP, Kiai Syakur mengalihkan fokusnya pada kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Ia membina aktivitas pengajian yang digelar di sebuah mushalla atau langgar di depan dhalemnya di Jalan Manikam, Kelurahan Bangselok. Kegiatan ini menjadi pusat dakwah bagi masyarakat setempat.
Kiai Syakur terus menjalankan aktivitas sosial dan keagamaannya hingga wafat pada tahun 1990. Kegiatan pengajian yang ia dirikan dan bimbing kemudian dilanjutkan oleh putranya, Kiai Taufiqurrahman. “Alhamdulillah saya diberi kesempatan dan kemampuan untuk meneruskan peninggalan beliau, yakni perjuangan dakwah Kai,” ucap Kiai Taufiq dengan penuh syukur.
Sejarawan Prancis, Denys Lombard, pernah mengatakan bahwa selalu ada tokoh-tokoh tak dikenal di balik orang-orang besar. Menurutnya, kita juga perlu mengkaji tokoh-tokoh tersebut sebelum mengkaji tokoh utama yang lebih terkenal. Pendapat ini mungkin cukup tepat untuk menggambarkan sosok Kiai Abdus Syakur as-Swedangi, seorang ulama yang jarang dikenal namun memiliki pengaruh yang besar.
Kiai Abdus Syakur as-Swedangi mungkin tidak begitu dikenal di kalangan ulama pesantren atau pengkaji Islam tradisional, baik dari dalam maupun luar negeri. Nama beliau hampir tidak disebutkan dalam literatur yang membahas tokoh-tokoh pesantren. Namun, di antara kiai-kiai tertentu yang mengenalnya, beliau diakui sebagai sosok ulama besar yang berjasa dalam mendidik banyak ulama.
Kiai Maemoen Zubeir, dalam karyanya *Tarajim Masyayikh bi Sarang al-Qudama’*, menyebut Kiai Abdus Syakur sebagai salah satu pendiri pesantren Sarang di Rembang. Kiai Maemoen menggambarkan beliau sebagai “Syaikhul Masyayikh”, yang berarti “Guru dari para ulama”. Sebutan ini menunjukkan betapa besar pengaruh Kiai Abdus Syakur dalam dunia pendidikan Islam di Jawa.
Kiai Abdus Syakur dilahirkan di daerah Sedan, sebuah kota kecil di Kabupaten Rembang yang dikenal sebagai Serambi Makkahnya Rembang pada tahun 1281 H/1861 M. Ia adalah putra dari Kiai Muhsin, yang merupakan putra dari pendiri pertama pesantren Sarang, Kiai Saman atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Saman, sebuah sebutan Jawa dari nama Ustman.
Dengan latar belakang keluarga yang kuat dalam tradisi keulamaan, Kiai Abdus Syakur tumbuh menjadi salah satu ulama besar yang membentuk dan membina generasi penerus di pesantren Sarang.
Ibu kiai Abdus Syakur bernama Raden Denok, bin Raden Suramiharjo yang memiliki silsilah ke keraton Surakarta. Meskipun seorang bangsawan keturunan keraton, Raden Denok dikenal sebagai ahli ibadah dan seorang perempuan taat.
Abdus Syakur kecil belajar agama dari ayahnya dan juga kepada beberapa kiai di daerah Sedan, seperti kiai Syarbini dari desa Karang Asem.
Ia kemudian juga belajar kepada kiai Kufrawi di Tambakboyo, Tuban. Setelah itu pada 1296 H ia menuju ke Makkah, yang ketika masih merupakan pusat studi keislaman yang utama, dan mukim dan belajar di sana setidaknya selama lima tahun. Di sana ia berguru ke para ulama terkemuka di Mekkah.
Kiai Abdus Syakur menikah dengan Masfufah binti Abdul Hadi dan dikaruniai enam anak, yaitu Muhammad Fadhil, Muhammad dan Muhammad Fadhol (keduanya meninggal di waktu kecil), Nafisah, Nafi’ah, Muniroh dan Saidah. Setelah kematian istri pertamanya, ia kemudian menikah lagi dengan Sumi’ah binti kiai Ibrahim dan dikaruniai dua orang putera, Abul Khayr dan Abul Fadhol.
Putranya, kiai Abul Fadhol kelak menjadi ulama dan penulis utama di kalangan pesantren pada paruh kedua abad ke 20. Karya-karyanya tidak hanya diterbitkan di Indonesia, tapi juga Turki, di beberapa negara Timur Tengah dan Malaysia.
Karya utama Abul Fadhol direkomendasikan oleh Mukatamar NU ke-23 sebagai buku yang harus diajarkan di seluruh pesantren dan lembaga pendidikan di bawah NU.
Tokoh-tokoh seperti kiai Sahal Mahfudz (mantan ketua MUI dan Rais Am PBNU), kiai Hasyim Muzadi yang juga mantan ketua umum PBNU, dan juga kiai Maimoen Zubier dan juga beberapa kiai lain seperti kiai Muhibbi Hamzawi (Pati), menyandarkan genalogi intelektualnya melalui kiai Abil Fadhol, putera syaikh Abdus Syakur.
Pada tahun 1921 kiai Abdus Syakur hijrah ke Swedang, kecamatan Jatirogo, kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kepindahan kiai Abdus Syakur ini tampaknya ditujukan untuk melakukan “babat alas”, istilah Jawa untuk membuka wilayah dakwah baru.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul Syaikh Abdus Syakur as-Swedangi, Tradisi Belajar dari Arab ke Jawa dan Syair Perlawanan terhadap Belanda. (*)