Oleh: Admin
Dalam sebuah tulisan yang dikarang oleh Hj, Wan Muhammad Shagir, disebutkan bahwa ada sebuah buku yan disusun adalah sebagai jawaban dari pertanyaan ulama Sambas itu yang ditujukan kepada gurunya Sayid Rasyid Ridha.
Judul asli dalam bahasa Arab Limaza Taakhkharal Muslimun, wa limaza Taqaddama Ghairuhum. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1966, di Kepulauan Riau saya mulai bergaul dengan adik ulama itu yaitu Pak Hifni Imran, salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Ia pula memiliki banyak ilmu hikmat untuk menghadapi musuh. Pada 1968 – 1969 sebelum saya bertemu dengan Syaikh Muhammad Basiyuni Imran saya telah menemukan dua orang adik beliau adalah Haji Maaz Imran, seorang ulama, dan adiknya yang bungsu Haji Muhammad Zuhdi Imran, juga ulama, ketika itu sebagai Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas, Kalimantan , Indonesia. Haji Muhammad Zuhdi Imran adalah seorang yang fasih berbahasa Arab, ahli pidato dan luas pergaulan.
Sewaktu ia melantik Penghulu-Penghulu Nikah di Kecamatan Tebas, bertempat di Desa Tekarang, ketika itu saya sempat tidur sekatil (satu tempat tidur) dengan beliau. Setelah menyebut nama saudara beliau yang sempat saya wawancara, maka sebelum membicarakan hal-hal yang lain di sini saya sebut nama lengkap beliau adalah Syaikh Muhammad Basiyuni Maharaja Imam bin Syaikh Muhammad Imran Maharaja Imam bin Syaikh Muhammad Arif Maharaja Imam bin Imam Nuruddin bin Imam Mushthafa as-Sambasi. Lahir di Sambas, Kalimantan, Indonesia pada 23 Dzulhijjah 1300 H atau 25 Oktober 1883 M. Tanggal wafat 29 Rajab 1396 H atau 26 Juli 1976 M.
Pada satu hari Jumat, tahun 1970, saya berdua dengan Pak Abdul Ghani, waktu Dhuha, Syaikh Muhammad Basiyuni Imran seorang dirinya saja, rupanya ulama besar Sambas tersebut telah berada dalam Masjid Jamik Sultan Sambas. Saat itu ia duduk mentelaah kitab. Kami berdua terpaku, kagum, sulit menjelaskannya dalam artikel ini. Sungguh hebat dan berwibawa caranya duduk, caranya berpakaian, semuanya menarik.
Ketika itu usianya hampir 90 tahun, namun wajahnya berseri-seri apalagi kulitnya putih kekuningan langsat menghiasi sosok berjubah putih, kepala dililit dengan sorban, semuanya dengan rapi dan bersih. Melihat kami datang beliaulah yang terlebih dahulu mengucapkan salam. Setelah berkenalan sejenak kami berdua mohon beliau membaca kitab yang ada di tangannya, karena kami ingin mengambil berkat. Walau pun yang mendengar hanya kami berdua beliau tidak keberatan memenuhi permintaan kami.
Lafaz Arabnya beliau baca, langsung diterjemahkan dan ditafsirkannya ke bahasa Melayu Sambas. Menjelang Jumat orang bertambah banyak sehingga azan barulah ia berhenti membaca kitab. Syaikh Muhammad Basiyuni Imran juga menjadi imam Jumat pada hari itu, bertambahlah kekaguman saya terhadap ulama Sambas tersebut, karena bukan parasnya saja yang cantik, rupanya suara dan bacaannya sangat merdu dan enak didengar telinga. Tidak dapat saya bayangkan, karena sampai saya menulis artikel ini ketika saya teringat peristiwa yang bersejarah ini masih terkesan dan mencari-cari suara bacaan yang demikian itu. Padahal saya pernah menjadi makmum shalat Jumat menurut Syaikh Muhammad Basiyuni Imran hanya dua kali. Yang sekali lagi di Masjid Gang Wan Sagaf Pontianak.
Baik pertemuan yang pertama di Sambas maupun yang kedua di Pontianak bagi saya memang ada kesan tersendiri. Yang saya ceritakan ini adalah yang sebenarnya bukan atas kefanatikan. Haji Agus Salim, Buya Hamka dan Prof. Dr. Kahar Muzakkir, ketiganya orang-orang yang hebat belaka, mereka mengakui ketinggian ilmu yang dimiliki oleh ulama Sambas tersebut.
Pendidikan
Syaikh Muhammad Basiyuni Imran mendapat pendidikan awal dan dasar selama 10 tahun dari ayahnya sendiri, Maharaja Imam Muhammad Imran dan ayah saudaranya Khathib Muhammad Jabir. Ayah dan ayah saudaranya itu adalah anak ulama besar Maharaja Imam Sambas yang pertama, adalah Haji Muhammad Arif. Sejak Muhammad Basiyuni dilahirkan ayahnya telah ada firasat berdasarkan tanda-tanda, bahwa anak yang dilahirkan itulah yang akan melanjutkan riwayat kakek neneknya yang menjadi ulama dalam kerajaan Sambas. Oleh karena itulah kedua bersaudara tersebut tidak melalaikan diri memberikan pendidikan khusus tentang ilmu-ilmu Islam selama sepuluh tahun kepada Muhammad Basiyuni.
Syaikh Muhammad Basiyuni Imran melanjutkan pendidikan di Makkah tahun 1320 H atau 1902 M sampai tahun 1325 H atau akhir tahun 1907 M. Banyak gurunya di Makkah diantaranya termasuk Syaikh Ahmad Khathib al-Minankabawi dan Syaikh Ahmad al-Fathani. Berarti Syaikh Muhammad Basiyuni Imran sempat belajar kepada Syaikh Ahmad al-Fathani sekitar lima tahun saja. Keberangkatan beliau belajar di Mesir adalah setelah wafatnya Syaikh Ahmad al-Fathani, 11 Zulhijjah 1325 H atau 14 Januari 1908 M, riwayat ini hampir sama dengan kisah Tok Kenali pulang ke Kelantan dan Syaikh Sulaiman ar-Rasuli pulang ke Minangkabau dalam tahun yang sama. Syaikh Muhammad Basiyuni Imran masuk Universitas Al-Azhar, Mesir ketimbang dari Syaikh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi dan Syaikh Muhammad Nur al-Fathani. Hanya dua tahun saja Syaikh Muhammad Basiyuni Imran belajar di Universitas Al-Azhar, yaitu dari 1327 H atau 1909 M sampai 1329 H atau 1911 M. Setelah itu selama setahun, 1330 H atau 1912 M, melanjutkan di Madrasah Darud Da’wah wal Irsyad , yaitu pendidikan yang didirikan oleh Sayid Muhammad Rasyid Ridha.
Karya-karya
Karya Syaikh Muhammad Basiyuni Imran yang dikoleksi oleh hj Ean Muhammad Shagir ada sembilan judul. Sungguhpun demikian belum ditemukan karya ulama yang berasal dari Sambas memiliki karya sebanyak itu. Jadi berarti Syaikh Muhammad Basiyuni Imran adalah ulama Sambas yang terbanyak menghasilkan karangan. Daftar karya Syaikh Muhammad Basiyuni Imran adalah:
- Bidayatut Tauhid fi ‘Ilmit Tauhid, diselesaikan di Sambas, Rabu, 13 Jamadil Akhir 1336 H atau 27 Maret 1918 M. Membicarakan akidah merupakan kutipan dari kitab Al-Jawahir al-Kalamiyah oleh al-’Allamah asy-Syaikh Thahir al-Jazairi, kitab Kalimah at-Tauhid oleh al-’Allamah asy-Syaikh Husein Wali al-Mashri dan kitab Kifayah al-’Awam. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, awal Muharam 1344 H.
- Cahaya Suluh Pada Menyatakan Jumat Kurang Dari Empat Puluh, diselesaikan di rumah penulisnya, Kampung Dagang Hulu Sambas, maghrib, malam jum’at, 2 Safar 1339 H atau 14 Oktober 1920 M. Isi membicarakan perselisihan pendapat (khilafiyah) tentang syarat-syarat mendirikan sembahyang jum’at. Membahas tentang mengulang salat dzuhur sesudah sembahyang jum’at (sembahyang mu’adah), dll. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ikhwan, 74 Arab Street, Singapura, 1340 H.
- Tazkir Sabilin Najah fi Tarkis Shalah, judul dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya adalah Jalan Kelepasan Pada Mengingat Orang Yang Meninggalkan Shalat, diselesaikan di Sambas, hari rabu, 9 Rabiul akhir 1349 H atau 3 September 1930 M. Setelah tamat pada bagian akhir ditambahkan pula terjemahan tulisan Sayid Muhammad Rasyid Ridha yang ada dalam Al-Manar, konstituen yang pertama dari majalah 31. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura.
- Khulashatus siratil Muhammadiyah disebut dengan judul yang lain Haqiqat Seruan Islam, diselesaikan 20 Jamadil akhir 1349 H atau 11 November 1930 M. Terjemahan karya Sayid Muhammad Rasyid Ridha tentang sejarah Nabi Muhammad saw, cetakan pertama, Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 1351 H atau 1932 M.
- Husnul Jawab ‘an Itsbatil Ahillati tagihan Hisab diselesaikan pada 6 Ramadhan 1352 H atau 23 Desember 1933 M. Membicarakan hisab anak bulan untuk melakukan puasa dan hari raya. Dicetak oleh Maktabah az-Zainiyah, Penang, 1938. Diberi Kata Pengantar oleh Syaikh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi.
- Irsyadul Ghilman ila Adabi Tilawatil Qurandiselesaikan hari Minggu, 5 Syawal 1352 H atau 21 Januari 1934 M. Membicarakan lingkungan pembacaan al-Quran. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 15 Zulhijjah 1352 H atau 31 Maret 1934 M.
- Durusut Tauhid As-Sayid Muhammad Rasyid, diselesaikan pagi jum’at, 20 Rajab 1354 H atau 18 Oktober 1935 M. Membicarakan ilmu akidah merupakan terjemahan dari karangan gurunya Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Pada pembukaan, Syaikh Muhammad Basiyuni Imran menceritakan riwayat singkatnya. Bahwa antara tahun 1329 H atau 1911 M – 1330 H atau 1912 M, beliau belajar di Madrasah Darud Da’wah wal Irsyad yang didirikan oleh Sayid Muhammad Rasyid Ridha. Dia telah belajar langsung kepada ulama tokoh tajdid itu. Salah satu alasan menerjemahkan karya gurunya itu setelah dapat berita gurunya meninggal dunia. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, tanpa dinyatakan tarikh.
- Nurus Siraj fi Qishshatil Isra ‘wal Mi’raj, diselesaikan sesudah sembahyang jum’at, 23 Jamadil akhir 1357 H atau 19 Agustus 1938 M. Membicarakan Israk dan Mikraj Nabi Muhammad saw. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan Singapura, tanpa dinyatakan tarikh.
- Khutbah Jumat, Hari Raya Aidil fitri, Hari Raya Aidiladha Dan Gerhana. Membicarakan Khutbah Jumat dan kedua hari raya semuanya ditulis dalam bahasa Arab dan khutbah gerhana ditulis dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, tanpa dinyatakan tarikh.
Pandangan Mukadimah artikel ini dimulai dengan pernyataan Islam dikatakan mundur atau terbelakang dari umat lainnya, demikianlah yang dipercakapkan oleh banyak orang Islam sendiri sampai sekarang. Saya memiliki pandangan sebaliknya bahwa umat Islam adalah maju dari umat lainnya.Yang saya maksud adalah bahwa seseorang yang ditakdirkan lahir dalam Islam berarti sudah karunia Allah yang paling besar dan berharga. Setelah dipeliharanya Islam dan beriman ia dapat memilah dan memilih kemajuan mana yang diridhai Allah atau dikutuk, berarti ia akan lebih maju lagi.
Kemajuan tidak dapat diukur dengan teknologi saja. Seseorang pribadi atau sesuatu bangsa yang dikatakan maju membuat senjata pembunuh sesama manusia dan hama seluruh alam berarti biadab dan mundur ke belakang karena kembali ke zaman primitif. Oleh itu ditinjau dari segi moral, umat Islam adalah jauh maju ke depan dalam semua zaman dulu, kini dan akan datang. Orang Islam yang mundur hanyalah pendukung kebiadaban yang dilakukan oleh manusia-manusia biadab. (*)