Biografi Lengkap Syaikh Muhammad Arif Beserta Pengaruhnya

Syaikh Muhammad Arif merupakan seorang tokoh yang mengem­bangkan dan memodernisasikan ajaran Islam di Nagari Lubuk Gadang. Syaikh Muhammad Arif sendiri memiliki nama asli yaitu Djatihat. Se­dangkan gelar Syaikh ini didapat ketika Syaikh Muhammad Arif menimba ilmu di Makkah, hal ini dikarenakan kapasitas ilmu dan kepintarannya di bidang agama islam yang tinggi.

Syaikh Muhammad Arif lahir di sebuah daerah kecil yang bernama Sampu, Nagari Lubuk Gadang, kecamatan Sangir Rantau Duo Baleh Koto, tepatnya dirumah gadang Sikubang. Dalam kepastian waktu kelahirannya, terdapat dua macam argumen tentang kepastian tanggal kelahirannya. Satu pendapat mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1897 M., sedang­kan pendapat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada 1777 M. Namun, dalam perbedaan ini, pendapat bahwa kelahiran Syaikh Muhammad Arif lahir pada tahun 1777 M. lebih banyak dipercaya. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sumber yang mengatakan bahwa umur Syaikh Muhammad Arif lebih kurang 183 tahun,baikmenurut pihak keluarga maupun masyarakat, Syaikh Muhammad Arif pun dianggap berumur panjang. Tepatnya, Syaikh Muhammad Arif lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 1777 M., dan meninggal pada tanggal 20 Agustus tahun 1960 M., yang mana, beliau dimakamkan di Sungai Padi jorong Sungai Landeh Nagari Lubuk Gadang.

Syaikh Muhammad Arifberasal dari keluarga yang bisa dibilang sangat sederhana, di mana, kedua orang tuanya hanyalah seorang petani. Ibunya bernama Gadi Ato dan ayahnya bernama Abdur. Ayahnya sendiri jika ditelusuri merupakan keturunan dari suku sikumbang.Sebagai seorang tokoh, Syaikh Muhammad Arif lebih mengerahkan usahanya dalam bidang agama yang mengembangkan ajaran agama Islam keseluruh pelosok Nagari Lubuk Gadang. Keberhasilan seorang tokoh dapat diketahui dengan sejauh mana pengaruh dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari usaha dan perjuangan baik itu masyarakat Nagari Lubuk Gadang khusus­nya, maupun masyarakat Minangkabau lainnya.

Masjid, Surau, dan Ilmu

Pada saat itu,di daerah Sampu masih belum berdiri tempat beribadah bagi masyarakat yang menganut agama Islam, tidak seperti sekarang. Oleh karena semakin banyaknya pengikut Syaikh Muhammad Arif, Syaikh dan pengikutnya beserta masyarakat bergotong-royong untuk mendirikan surau dan masjid untuk melaksanakan ibadah. Pembangunan ini dilakukan beliau bukan tanpa proses, namun dengan beberapa kali musyawarah dengan masyarakat, akhirnya berdirilah masjid dan surau tersebut. Selain berfungsi sebagai tempat beribadah, masjid dan surau itu digunakan sebagai tempat untuk belajar ilmu islam, dan sekaligus sebagai tempat tinggal murid-muridnya. Masjid itu bertahan sampai saat ini. Masjid yang dinamakan Masjid Baiturrahman Syaikh Sampu ini dibangun pada sekitar tahun 1837 dengan dasar konstruksi yang masih menggunakan bambu. Baru pada 1936, masjid ini dibuat menjadi semi-permanen sampai saat ini.

Baca Juga  Biografi Lengkap Syaikh Muhammad Zain al-Asyi Beserta Pengaruhnya

Di masjid dan surau itulahSyaikh Muhammad Arif mengajarkan ilmu yang telah didapatkan melalui kitab kuning, baik fikih, akhlak, ushul fikih, maupun ilmu-ilmu yang lain. Hal ini dilakukan Syaikh Muhammad Arif untuk membawa manusia, khususnya masyarakat sekitarmenuju kejalan yang benar,sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT, baik hal itu dengan melaksanakan Sholat lima waktu, maupun ibadah-ibadah yang lain. Dalam langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Arif adalah menganjurkan masyarakat untuk melaksanakan ibadah lain, terlebih untuk melaksanakan ibadah Haji bagi siapapun yang merasa mampu, baik dalam segi ilmu agama, ekonomi, fisik, maupun mental.

Dalam strategi selanjutnya,Syaikh Muhammad Arif mengajarkan kepada masyarakat Lubuk Gadang tentang berbagai macam hubungan, baik hubungan antar sesama, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan juga hubungan manusia dengan Allah. Hal itu yang mendasari Syaikh Muhammad Arif untuk mengajarkan ilmu tarekatdi Nagari Lubuk Gadang. Hal ini dilakukan beliau karena sudah menganggap masyarakat Nagari Lubuk Gadang sudah mampu untuk memahami dan melakukan tarekat yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad Arif.

Tarekat dan Dakwah

Pada dasarnya, manusia diciptakan Allah SWT mempunyai Fitrah, suka bermasyarakat, saling membutuhkan, saling berkomunikasi satu sama lain. Begitu pun manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari bantuan orang lain, Al-Qur’an sendiri memerintahkan manusia untuk hidup bermasyarakat, begitulah dasar pembelajaran agama islam yang diyakini oleh Syaikh Muhammad Arif. Bidang dakwah Islamiyah ini merupakan unsur penting yang selalu ditekuni oleh Syaikh Muhammad Arif ditengah kondisi masyarakat yang masih bisa dikatakan animisme, yang mana masih mempercayai roh-roh ghaib, kekuatan batu besar, pohon besar, dan tempat-tempat tertentu yang mereka anggap ghaib. Kalaupun sudah ada yang memeluk dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, namun kebanyakan tanpa mengetahui tujuan dan arti sholat yang mereka lakukan tersebut. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Arif berusaha untuk menghapus kepercayaan takhayul yang masih ada dalam diri masyarakat pada saat itu.

Baca Juga  Siapa Nama Istri KH Hasyim Asy'ari? Berikut Biografi Lengkapnya!

Beliau menyampaikan dakwah Islamiyah dimulai dari keluarganya sendiri yang paling dekat, dilanjutkan dengan mengajak yang lainnya untuk meninggalkan kebiasaan mereka seperti menyembah roh, pohon besar, batu besar dan tempat sakral yang mereka anggap ghaib. Selanjutnya, langkah kedua Syaikh Muhammad Arif sendiri baru mengajak masyarakat sekitar untuk meninggalkan kebiasaan yang tidak baik tersebut, dan menjelaskan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama Islam, maupun hal-hal yang diwajibkan oleh ajaran agama Islam. Kemudian Syaikh Muhammad Arif menganjurkan masyarakat untuk melaksanakan sholat lima waktu. Namun, pada hal ini Syaikh Muhammad Arif ternyata mendapatkan kesulitan mengajak masyarakat untuk melaksanakan sholat. Hal ini dikarenakan sebelumnya masyarakat masih terikat dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah mendarah daging pada kalbu masyarakat tersebut, seakan tidak terbiasa akan kebiasaan baru yang diajarkan oleh Syaikh Muhammad Arif. Hal ini juga diperkuat dengan tidak pernah adanya Ulama besar yang mengajak mereka untuk mengamalkan apa yang dianjurkan oleh Syaikh Muhammad Arif pada waktu itu.

Mengingat semakin banyaknya pengikut yang belajar ilmu agama kepada beliau,Muhammad Arif beranggapan, bahwa untuk menjalankan Islam dengan sempurna,mereka harus memisahkan dan tidak mencampur adukkan ajaran agama islam dengan tradisi Hindu-Budha, serta Animisme dan Dinamisme.

Penjajah dan Karomah

Dalam pelaksanaan pengajaran tarekat tersebut, Syaikh Muhammad Arif ternyata dihadang oleh beberapa rombongan tentara Belanda. Syaikh Muhammad Arif ternyata sudah mengetahui apa alasan yang mendasari tentara Belanda tersebut untuk menghalangi pengajaran tarekat itu. Alan itu tidak lain dan tidak bukan karena tentara Belanda menganggap bahwaSyaikh Muhammad Arif merupakan tokoh pemicu semangat masyarakat untuk melawan tentara Belanda.Syaikh Muhammad Arif tenang dalam menghadapinya. Ditaburkannya beras ketan ke arah tentara Belanda, namun apa yang terjadi, tentara Belanda tersebut lari pontang-panting akibat beras ketan yang ditaburkan Syaikh Muhammad Arif tersebut menjadi lebah untuk menyerang para tentara Belanda. Hal ini merupakan salah satu dari sekian banyak karomah yang dimiliki oleh Syaikh Muhammad Arif.

Syaikh Muhammad Arif memiliki inisiatif untuk gigih dalam mengha­dapi Tentara Belanda.Hal ini tampak dengan usahanya yang mengkoordinir masyarakat agar tidak membayar blasting/pajak terhadap Belanda. Hal ini kemudian menimbulkan amarah Belanda, sehingga Syaikh Muhammad Arif pun ditangkap oleh Tentara Belanda dan diasingkan ke Ternate, tepatnya di Pulau Helmahera, Maluku Utara. Selama berada dalam masa pengasingan di Ternate, Helmahera, Syaikh Muhammad Arif tak berhenti berdakwah. Beliau tetap menyebarkan agama islam di sana dan memba­ngun masjid bersama-sama dengan masyarakat Ternate dan Tidore. Disana,SyaikhMuhammad Arif mendapatkan julukan lain, beliau dipanggil oleh masyarakat sana dengan sebutan Syaikh Saman. Setelah sekian lama diasingkan di Ternate, sekitar 10 sampai dengan 15 tahun, Syaikh Muhammad Arif pun akhirnya kembali ke Sumatera Barat.

Baca Juga  Dimensi Keilmuan Kiai Abdul Ghofur

Sekitar tahun 1942-1943, tentara Jepang bermaksud hendak menang­kap Syaikh Muhammad Arif di surau Tuo yang saat itu masih dalam proses pembangunan, tepatnya di Sungai Padi. Namun apa yang terjadi,tentara Jepang tidak berhasil menangkapnya.Yang terjadi tentara Jepang tersebut terlihat hanya berputar-putar, mondar-mandir diatas tanah dengan penuh kebingungan di sekitar tempat pembangunan surau Tuo tersebut. Hal ini diakibatkan oleh karomah yang lain dari Syaikh Muhammad Arif yang dapat mengelabui mata tentara Jepang, sehingga mereka tidak dapat melihat Syaikh Muhammad Arif dan masyarakat, serta bangunan surau yang saat itu sedang berlangsung dikerjakan.

Kejadian yang sama juga terjadi pada Tentara Belanda yang juga hendak menangkap Syaikh Muhammad Arif pada Agresi Militer Belanda I/II tahun 1947/1948. Pada masa itu, tentara Belanda tidak bisa masuk ke area surau Syaikh Muhammad Arif. Hal ini, dikarenakan pandangan tentara Belanda seakan kabur saat mendekati area surau. Mereka tidak dapat melihatnya. Pada Agresi Belanda II tahun 1948, Syaikh Muhammad Arif beserta masyarakat membuat jalan samaran/tipuan sebelum masuk jembatan Sungai Belangin. Hal ini dilakukan agar truk yang membawa tentara Belanda dari arah Muara Labuh melalui jalan tipuan itu langsung terjun kejurang yang dalam. Taktik ini pun berjalan sukses, Syaikh Muhammad Arif dan masyarakat pun tetap aman dari tentara Belanda.

Guru Silat

Syaikh Muhammad Arif selain berperan sebagai tokoh ulama dan pejuang kemerdekaan, beliau juga merupakan seorang guru silat (Pandeka). Semua ilmu dalam gerakan yang diajarkan kepada muridnya, dilakukannya tanpa pamrih, dengan tulus dan ikhlas. Syaikh Muhammad Arif berangga­pan bahwa yang yang terbaik adalah hal yang paling penting benar dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. (*)