Biografi Lengkap Sunan Muria Beserta Ajarannya

Sunan Muria lahir dengan nama Raden Umar Said. Ia memiliki dua orang adik perempuan, yaitu Dewi Rukayah dan Dewi Sofi yah. Sewaktu dewasa, Raden Umar Said menikah dengan Dewi Sujinah, adik kandung Jakfar Shadiq atau Sunan Kudus putra Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung.

Sementara itu, menurut versi kedua yang berdasar naskah Pustoko Darah Agung yang disusun R. Darmowasito dan diringkas oleh R. Mohammad Yahya Mertowinoto (1969), disebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung.

Disebutkan bahwa dalam pernikahan dengan Dewi Sarifah, Sunan Ngudung memiliki empat orang putra: (1) Raden Umar Said, (2) Sunan Giri III, (3) Raden Amir Haji Sunan Kudus, dan (4) Sunan Giri II. Jika versi silsilah ini benar, maka Dewi Sarifah istri Sunan Ngudung adalah adik Sunan Kalijaga.

Sejalan dengan sumber Pustoko Darah Agung, meski terdapat perbedaan- perbedaan, C.L.N. Van Den Berg dalam Le Hadhramout et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) menyatakan bahwa semua wali di Jawa adalah keturunan Arab.

Mengaitkan Sunan Muria dengan Sunan Kalijaga sebagai ayah beranak dalam konteks kebenaran silsilah Sunan Muria, tampaknya lebih didukung oleh data historis dibanding menempatkan Sunan Muria sebagai putra Sunan Ngudung.

Keluarga

Istri pertama Sunan Muria adalah Dewi Sujinah putri Sunan ngudung Adik dari Sunan Kudus dan dikarunia 1 orang anak : Saridin
Istri kedua Sunan Muria adalah Dewi Roro Noyorono Putri Ki Ageng Ngerang dan karuniai tiga orang anak : Sunan Nyamplungan, Raden santri, dan Dewi Nasiki.

Guru-Guru Sunun Muria

Dalam konteks keilmuan, dapat ditafsirkan bahwa Sunan Muria mempelajari ilmu pengetahuan agama maupun cara-cara dakwah dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Kalijaga. Namun, ada juga sumber cerita lisan tentang “Maling Kapa” yang salah satu bagiannya menuturkan bahwa Sunan Muria pernah berguru kepada Sunan Ngerang (Ki Ageng Ngerang) bersama-sama dengan Sunan Kudus dan Adipati Pathak Warak serta dua bersaudara Kapa dan Gentiri.

Guru-guru Sunan Muria saat menuntut ilmu adalah:
1. Sunan Kalijaga
2. Sunan Ngerang

Metode Dakwah Sunan Muria

Beliau mempunyai peran besar dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Muria tidak jauh berbeda dengan Sunan Kalijaga yaitu mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah. Beliau berdakwah pada rakyat jelata di daerah Colo, tempat beliau berdakwah.

Namun tempat tinggal beliau terletak di puncak Gunung Muria. Beliau merasa nyaman di sana, karena beliau bergaul bersama rakyat jelata, seraya mengajarkan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Sebagaimana Sunan Kalijaga, Sunan Muria menjalankan dakwah Islam melalui pendekatan budaya. Dalam seni pewayangan, misal, Sunan Muria diketahui suka menggelar sejumlah lakon carangan pertunjukan wayang gubahan Sunan Kalijaga seperti Dewa Ruci, Dewa Srani, Jamus Kalimasada, Begawan Ciptaning, Semar Ambarang Jantur, dan sebagainya.

Melalui media pertunjukan wayang, Sunan Muria memberikan penerangan-penerangan kepada masyarakat tentang berbagai hal dalam kaitan dengan tauhid.

Dengan pendekatan lewat pertunjukan wayang, tembang-tembang, tradisi-tradisi lama, dan praktik-praktik keagamaan lama yang sudah diislamkan, Sunan Muria lebih senang mengembangkan dakwah Islam dengan masyarakat kalangan bawah dibandingkan dengan kaum bangsawan.

Baca Juga  KH. Hasan Syukri Zamzami Mahrus Lirboyo: Suami Bu Nyai Hannah Zamzami Lirboyo

Daerah dakwahnya cukup luas yaitu daerah Jepara, Tayu, di lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juwana hingga ke daerah pesisir utara. Demikianlah, kisah-kisah legenda tentang Sunan Muria berkembang turun-temurun di daerah-daerah tersebut.

Sunan Muria dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan masalah betapapun rumitnya masalah tersebut. Solusi pemecahan masalahnya pun dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Muria lebih toleran dengan memusatkan pada rakyat jelata dan bukan kaum bangsawan. Beliau lebih senang mengasingkan diri bersama rakyat jelata dibandingkan tinggal di pusat kerajaan Demak.

Metode dakwah beliau sering disebut dengan Topo Ngeli, yang berarti menghanyutkan diri di dalam masyarakat. Dengan begitu, maka Sunan Muria lebih mudah dalam mengajak masyarakat untuk masuk agama Islam.

Sementara itu, agar bisa berbaur dengan masyarakat sekitar pegunungan tersebut, maka beliau kerap sekali memberikan kursus atau keterampilan untuk para pelaut, nelayan, pedagang, dan rakyat jelata.

Dengan demikian maka beliau bisa mengumpulkan mereka yang notabenenya adalah pekerja yang sangat sulit untuk meluangkan waktu belajar agama. Jadi dengan adanya kursus maka Sunan Muria dapat dengan mudah menyampaikan ajaran Islam kepada mereka.

1. Dakwah dengan Akulturasi Budaya

Meskipun Sunan Muria diterima dengan baik oleh masyarakat, namun bukan berarti proses dakwah beliau berjalan dengan lancar.

Kebanyakan penduduk yang berada di kawasan gunung Muria masih menganut kepercayaan turun temurun yang sangat kental dan sulit untuk dirubah.

Oleh karenanya beliau sama seperti para wali yang lainnya yaitu lebih kepada metode dakwah bil hikmah, atau dengan cara-cara bijak yang tidak memaksa.

Dalam menyikapi kebiasaan masyarakat yang sering melakukan adat kenduren, maka Sunan Muria meniru gaya moderat ayahnya, yang tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino hingga sewu dino.

Tradisi yang dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu kematian anggota keluarga ini tidak dilarang, kecuali adat untuk membakar kemenyan atau memberikan sesajen di tempat tertentu, yang kemudian diganti dengan sholawat dan do’a untuk ahli kubur.

2. Gamelan dan Wayang

Sama seperti para wali yang lain, Sunan Muria juga tetap mempertahankan alat musik daerah seperti gamelan dan kesenian tradisional wayang untuk media dakwahnya.

Sunan Muria tidak mengubah budaya yang ada, namun memasukkan ajaran-ajaran Islam di dalamnya.

Beberapa lakon pewayangan dirubah karakternya dengan membawa pesan-pesan Islam, seperti kisah Dewa Ruci, Petruk dadi Ratu, Jimat Kalimasada, Mustakaweni, Semar ambarang Jantur, dan lain sebagainya.

3. Mencitakan Tembang Jawa

Selain mempertahankan kesenian daerah seperti gamelan dan wayang, Sunan Muria juga menciptakan beberapa tembang Jawa macapat yang berisi tentang ajaran Islam.

Beberapa karyanya yang terkenal hingga saat ini yaitu tembang Sinom dan Kinanthi. Dengan menggunakan tembang atau lagu maka masyarakat akan dengan mudah menerimanya, dan mampu mengingat nilai-nilai serta ajaran Islam yang terkandung di dalamnya untuk bisa diterapkan dalam kehidupan.

Generasi awal masyarakat Islam yang keberadaannya dikembangkan Wali Songo, dengan pengetahuan dan pemahaman yang terbatas pada tradisi kakawin dan kidung, kemudian mengembangkan tradisi penulisan tembang gede (metrum besar).

Baca Juga  Biografi Lengkap Syekh Muhammad Tahir Beserta Pengarunya

Sekalipun aturan persajakannya berdasarkan metrum kakawin dengan mempertahankan bait-bait yang terdiri atas empat baris dengan sejumlah suku kata tertentu, tetapi mereka melepaskan sama sekali kaidah-kaidah mengenai kuantitas metrum kakawin.

Para wali penyebar Islam bahkan mengembangkan lagi bentuk tembang gede menjadi tembang yang lebih sederhana, yaitu tembang tengahan (metrum madya) dan tembang cilik (metrum kecil). Jenis tembang gede disebut Girisa. Tembang tengahan diklasifi kasi menjadi lima jenis: (1) Gambuh, (2) Megatruh, (3) Balabak, (4) Wirangrong, dan (5) Jurudemung.

Sedangkan tembang cilik diklasifi kasi menjadi sekitar sembilan jenis: (1) Kinanthi, (2) Pucung, (3) Asmaradhana, (4) Mijil, (5) Maskumambang, (6) Pangkur, (7) Sinom, (8) Dhandhanggula, dan (9) Durma.

Di dalam tradisi penulisan tembang, masing-masing tokoh Wali Songo kecuali Sunan Ampel dan Sunan Gresik yang berasal dari Champa dihubungkan dengan berbagai penciptaan tembang.

Tokoh Sunan Giri, misal, dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Asmaradhana dan Pucung; Sunan Kalijaga dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Dhandhanggula; Sunan Bonang dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Durma; Sunan Kudus dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Maskumambang dan Mijil; Sunan Drajat dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Pangkur; Sunan Muria dianggap sebagai pencipta tembang-tembang cilik (sekar alit) jenis Sinom dan Kinanthi.

Sunan Muria mempunyai peran besar dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Muria tidak jauh berbeda dengan Sunan Kalijaga yaitu mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah.

Beliau berdakwah pada rakyat jelata di daerah Colo, tempat beliau berdakwah. Namun tempat tinggal beliau terletak di puncak Gunung Muria. Beliau merasa nyaman di sana, karena beliau bergaul bersama rakyat jelata, seraya mengajarkan bercocok tanam, berdagang dan melaut.

Bahkan, lewat kesenian itu sebagai media dakwah beliau menghasilkan sebuah tembang Sinom dan Kinanti. Adapun wilayah yang menjadi sasaran dakwahnya meliputi, Tayu, Juwana, Kudus, dan Lereng Gunung muria.

Kemudian beliau dikenal dengan sebutan Muria, karena letaknya yang berada di Lereng Gunung Muria. Dengan tembang-tembang itu ia mengajak umat agar mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

4. Menciptakan Tradisi Guyang Cekathak

Guyang Cekathak merupakan tradisi meminta hujan. Tradisi ini dikenal dengan mencuci (guyang) pelana kuda milik Sunan Muria. Ritual ini biasa dilakukan pada hari Jumat Wage di musim kemarau, sekitar bulan Agustus-September.

Guyang Cekathak digelar di dekat Sendang Rejoso. Hujan yang diminta dalam ritual ini bertujuan agar air dari Sendang Rejoso ini tidak kering. Hingga saat ini Sendang Rejoso selalu mengalirkan air dan tidak pernah kering meski pada musim kemarau panjang.

Karomah Sunan Muria

1. Air Gentong

Sunan Muria memiliki air yang disimpan didalam gentong (tempat air besar). Air yang sudah didoakan oleh beliau memilki khasiat yang luar biasa. Atas ijin Allah air ini bisa menjadi obat jika diminum. Air gentong ini dipercaya masyarakat memiliki keberkahan untuk mengobati segala penyakit. Air gentong ini juga dapat meningkatkan kecerdasan bagi orang yang meminumnya. Karena itu, hingga saat ini air gentong tersebut masih digunakan ketika peziarah datang.

Baca Juga  Biografi Lengkap Syaikh Zainuddin Beserta Ajarannya

2. Maling Kopo

Sunan Muria juga berguru kepada sunan Ngerang (Ki Ageng Ngerang) bersama dengan sunan Kudus dan Adipati Pethak Warak serta kedua saudaranya Kopo dan Gentiri. Maling Kopo adalah istilah yang diberikan kepada Kopo yang telah menculik istri sunan Muria yaitu Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri dari sunan Ngerang.

Hal ini diketahui ketika Dewi Roroyono diculik oleh salah satu adik seperguruannya kemudian menyerang dan menggunakan aji pamungkas menuju Sunan Muria.

Sunan Muria kemudian menjadikan serangan beserta aji pamungkas tersebut berbalik dan menyerang adik seperguruannya tersebut sehingga menyebabkan meninggal dunia. Hal ini yang dikatakan senjata makan tuan, niat jelek yang akan memberikan dampak buruk bagi pelakunya.

Dan istilah maling Kopo hingga saat ini masih terkenal. Maling Kopo adalah istilah kepada seseorang laki-laki yang menculik seorang wanita untuk dijadikan istrinya.

Keteladanan Sunan Muria

Sunan Muria dengan ikhlas menyebarluaskan agama islam baik secara langsung maupun melalu kesenian Jawa. Nilai teladan : Toleransi, saling menghargai, kasih sayang pada sesama. Dakwahnya melalui kesenian sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, selain itu menciptakan tembang tombo ati yang sekarang masih dikenal.

Bahkan sifat keteladanan yang dimiliki oleh Sunan Muria tersebut dapat tergambar dari cara beliau yang lebih memilih masyarakat kecil untuk berdakwah serta memilih untuk meninggalkan keramaian di kerajaan Demak.

Wafat

Makam Sunan Muria terletak di lereng Gunung Muria, Kecamatan Colo, 18 km utara Kota Kudus. Untuk mencapai makam maka perlu menaiki sekitar 700 tangga dari pintu gerbang. Letak makam Sunan Muria berada persis di belakang masjid Sunan Muria. Yang membedakannya dari makam wali lainnya, yaitu letak makam beliau yang menyendiri dan berada jauh dari para punggawanya, sama seperti sifatnya yang suka menyendiri.

Dari pintu gerbang masih naik lewat beratus tangga (undhagan) menuju ke komplek makamnya, yang terletak persis di belakang Masjid Sunan Muria. Mulai naik dari pintu gerbang pertama paling bawah hingga sampai pelataran Masjid jaraknya kurang lebih 750 meter jauhnya.

Setelah kita memasuki pintu gerbang makam, tampak di hadapan kita pelataran makam yang dipenuhi oleh 17 batu nisan.

Menurut Juru Kunci makam, itu adalah makamnya para prajurit dan pada punggawa (orang-orang terdekat, ajudan dan semacam Patih dalam Keraton). Di batas utara pelataran ini berdiri bangunan cungkup makam beratapkan sirap dua tingkat.

Di dalamnya terdapat makamnya Sunan Muria. Di sampingnya sebelah timur, ada nisan yang konon makamnya puterinya perempuan bernama Raden Ayu Nasiki. Dan tepat di sebelah barat dinding belakang masjid Muria, sebelah selatan mihrab terdapat makamnya Panembahan Pengulu Jogodipo, yang menurut keterangannya Juru Kunci adalah putera sulungnya Sunan Muria. (*)