Oleh : Admin
Pada abad ke-17 hingga ke-18, komunitas umat Islam dari Indonesia melakukan ibadah haji dan tinggal sementara di Arab Saudi, yang dikenal sebagai Al-Jawwi atau Komunitas Jawwah. Hubungan yang erat antara Arab Saudi dan orang-orang Nusantara telah dimulai sejak masa pemerintahan Sri Indrawarman dari Kerajaan Sriwijaya. Dalam surat kepada Khalifah Dinasti Umayyah Umar bin Abdul Aziz (717-720 H), Sri Indrawarman menyebut dirinya sebagai Raja Nusantara. Di sisi lain, Umar bin Abdul Aziz disebut sebagai Raja Arab oleh Sri Indrawarman, menunjukkan kedekatan hubungan pada masa itu.
Pada abad ke-8 Masehi, hubungan ini semakin erat setelah Raja Malaka pada saat itu, Iskandar Syah, memeluk agama Islam. Hal ini berdampak signifikan dan berlanjut hingga masa Kerajaan Aceh pada abad ke-17 Masehi. Keterkaitan intelektual antara ulama Arab Saudi dan cendekiawan Nusantara dimulai pada masa Abdurrauf al-Sinkili, Yusuf al-Makassari, dan al-Raniri membentuk komunitas Jawi (ashab al-Jawiyyin) dengan ulama Mekkah yang mengajari mereka serta bertanggung jawab dalam menyebarkan pemikiran Islam dari Mekkah ke Nusantara pada saat itu.
Dalam pembahasan mengenai Ulama Nusantara yang berhijrah ke Haramain untuk mengeksplorasi ilmu agama, masyarakat umumnya mengenal Syaikh Nawawi Al Bantani. Namun, di samping figur tersebut, terdapat seorang Ulama yang berasal dari wilayah timur Nusantara yang terkenal dengan keilmuannya dan kontribusinya dalam penyebaran Islam di Indonesia Timur.
Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdul Ghani Bima bin Subuh bin Ismail bin Abdul, yang wafat pada tahun 1270-an H dan dimakamkan di Ma’la. Ayahnya, Syaikh Subuh, diangkat sebagai imam oleh Sultan Alaudin Muhammad Syah (1731-1743) di Kesultanan Bima. Hubungan dekat dengan Sultan Bima dimulai sejak kakek buyutnya, yaitu Syaikh Abdul Karim yang berasal dari Mekkah dan lahir di Baghdad. Dia dianggap sebagai penerang dari wilayah Timur Indonesia yang menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi para ulama Nusantara, terutama di Tanah NTB.
Pada awalnya, Syaikh Abdul Karim berkeliling ke Aceh, Banten, dan Sumbawa untuk mencari saudaranya. Saat tiba di Pulau Lombok Utara, Syaikh Abdul Karim mengajarkan konsep “Waktu Telo” yang artinya “Waktu Tiga” yang masih diingat oleh masyarakat Pulau Lombok hingga sekarang. Di Pulau Sumbawa, setelah tiba di Dompu, Sultan Dompu terkesan dengan beliau dan menikahkan putrinya dengan Syaikh Abdul Karim. Selain itu, Syaikh Abdul Ghani juga menikahi putri Raja Dompu yang merupakan keturunan dari Syaikh Nuruddin Al Maghribi yang terkenal dengan membawa “Qara’a Pidu” (7 Al Quran dari Tanah Haram), dan keturunannya dikenal dengan Ruma Sehe (Gusti Syaikh/Tuan Syaikh).
Ketika berada di Mekah, Syaikh Abdul Ghani menjabat sebagai salah satu Imam besar dan belajar kepada Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmad Al-Marzuqi (penulis ‘Aqidatul Awwam), Muhammad Sa’id Al-Qudsi (mufti Imam Syafii), dan Syaikh Utsman Ad-Dimyathi. Salah satu jalur pendidikan guru-gurunya melibatkan Syaikh Baharudin dari Yusuf Al-Mahmudun, dari Abdul Yazid Al-Busthomi, dari Hasyaril Basyari, dari Ma’riful Qarhim, dari Hablul Adaami, dari Sirthotin, dari Baghdadin, dari Abdul Qasyim, dari Abdul Qasyimi, dari Abdul Qadir Jialani Ahlitturqi.
Dia memiliki murid-murid seperti Syaikh Muhammad Ali bin Hussin bin Ibrahim Al Maliki dari Mekah, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Khatib As Sambasi, Syaikh Kholil Bangkalan, dan lainnya. Gelar ‘Sayyid Ulamail Hijaz’ diberikan kepadanya dari Negeri Timur, serta sebagai penghubung Ulama Nusantara abad ke-19 dengan Timur Tengah. Di antara Ulama Sumbawa lainnya adalah Syaikh Umar bin Abdur Rasyid As Sumbawi dan Syaikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi As Sumbawi. Salah satu muridnya, yang melanjutkan mengajar di Hijaz, adalah Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Wasi’ al Jawi al Makki.
Ulama dan pesantren di Nusa Tenggara menjalin hubungan erat dan menjadi pusat koneksi bagi jejaring Ulama antara Jawa, Bali, dan Sulawesi. Simpul-simpul utama ini mendukung struktur jejaring kebangsaan dan keulamaan Indonesia.
Dari ulama-ulama inilah jejaring ulama di banyak daerah Nusantara dapat berdiri tegak dan kokoh serta telah memiliki semangat kebangsaan yang sama. Halaqah-halaqah di Mekkah menjadi melting pot, tempat penggodokan ulama yang kemudian ditransmisikan ke daerah nya masing-masing menjadi institusi ulama dan menjejaring dalam kelompok yang lebih besar yang nantinya menopang pergerakan nasional berdirinya negara Indonesia.
Peningkatan pengetahuan para ulama saat ini di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sumbangan Ulama Al Jawwi yang telah melatih para ulama Indonesia untuk meneguhkan nilai-nilai keislaman yang memiliki dasar yang jelas dan jaringan pengetahuan yang terperinci. Islam hadir di Indonesia bukan secara kebetulan, melainkan berkat usaha bijaksana ulama terdahulu yang berhasil memperkenalkan Islam di Indonesia dengan cara yang baik dan tanpa memicu konflik. Inilah Islam yang mampu menyatukan perbedaan dan memperkuat peradaban Islam.
Salah satu ulama terkemuka dari Bima-Dompu yang dikenal luas di Nusantara dan dunia Islam adalah Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi, yang juga dikenal sebagai al-Bimawi. Menurut catatan Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”, ia dianggap sebagai “Maha Guru” ulama Nusantara pada abad ke-19 yang belajar di Makkah al-Mukarramah. Tak heran jika ulama-ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang, pendiri NU, dan KH. Kholil Bangkalan yang terkenal dengan karomahnya sangat menghormati Syaikh Abdul Ghani. Bahkan, terdapat cerita bahwa ketika keduanya naik delman dan mengetahui bahwa kuda penarik delman tersebut berasal dari Bima, mereka langsung turun sebagai bentuk penghormatan kepada kuda dari Bima, asal dari sang Guru.
Syaikh Abdul Ghani al-Bimawi lahir sekitar tahun 1780 M, pada paruh kedua abad ke-18 di Bima, Nusa Tenggara Barat. Beliau meninggal pada tahun 1270 H/1853 M dan dimakamkan di Ma’la, Makkah al-Mukarramah. Meskipun tidak ada catatan pasti mengenai tanggal kelahirannya, yang jelas, beliau berasal dari keluarga ulama yang sangat berpengaruh dalam studi al-Qur’an.
Syaikh Abdul Ghani al-Bimawy merupakan putra dari Syaikh Subuh, pernah menjadi imam Masjidil Haram. Beliau menikah dengan gadis asal Dompu dan melahirkan seorang putra yang bernama Syeikh Mansur atau biasa disapa Sehe Jedo. Syaikh Mansur memiliki dua orang putra yaitu Syaikh Mahdali atau lebih masyhur dengan sebutan Sehe Boe dan Syaikh Muhammad. Syaikh Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir kesultanan Dompu.
Dalam Ensiklopedia Bima, Muslimin Hamzah menjelaskan bahwa keturunan Syaikh Subuh dianggap setara dengan sultan karena keahlian agama dan karomah yang dimiliki. Masyarakat Bima-Dompu menyebut mereka dengan panggilan yang sama seperti sultan. Mereka mendapat sebutan keturunan Ruma Sehe atau “Koko Janga Ruma Sehe” yang berarti orang-orang yang rajin beribadah sepanjang malam seperti ayam yang berkokok di pagi buta.
Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Karim berasal dari Makkah al-Mukarramah kelahiran Baghdad. Konon Syaikh Abdul Karim datang ke Indonesia dalam rangka mencari saudaranya. Daerah Nusantara pertama kali yang beliau datangi adalah Aceh, lalu ke Banten dan ke Sumbawa. Sebelum ke Sumbawa, beliau singgah terlebih dahulu di pulau Lombok bagian Utara. Syaikh Abdul Karim mengajarkan sholat masyarakat di sana hanya sampai tiga waktu sholat sehingga muncul istilah “wetu telu” yang berarti waktu tiga yang sampai saat ini dikenal luas oleh masyarakat Lombok. Sumber lain menyebutkan juga bahwa pembawa Islam di Lombok (Bayan) adalah Sunan Prapen anak dari Sunan Giri Gresik dan juga Datuk Ri Bandang dari Minangkabau setelah mengislamkan Bima, Dompu dan Sumbawa.
Kakek buyutnya bernama Syaikh Abdul Karim asal Makkah al-Mukarramah, lahir di Baghdad. Diyakini bahwa Syaikh Abdul Karim datang ke Indonesia untuk mencari saudaranya. Perjalanan pertamanya di Nusantara dimulai dari Aceh, kemudian ke Banten dan Sumbawa. Sebelum tiba di Sumbawa, ia singgah di bagian Utara pulau Lombok. Di sana, Syaikh Abdul Karim mengajarkan sholat hingga tiga waktu sholat, yang kemudian dikenal sebagai “wetu telu” oleh masyarakat Lombok hingga saat ini. Sumber lain juga menyebutkan bahwa Sunan Prapen, anak Sunan Giri Gresik, dan Datuk Ri Bandang dari Minangkabau turut memperkenalkan Islam di Lombok setelah berhasil mengislamkan Bima, Dompu, dan Sumbawa.liau juga berdagang sambil memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat hingga sultan. Memperhatikan kemampuan beliau, Sultan Dompu pun sangat mengaguminya dan jatuh hati padanya sehingga sultan Dompu menikahkan putrinya dengan Syaikh Abdul Karim.
Dari pernikahan dengan putri Sultan Dompu, lahir seorang anak laki-laki bernama Ismail. Ismail mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang pendakwah dan kemudian menikah, melahirkan seorang anak laki-laki bernama Subuh. Syaikh Subuh sendiri adalah seorang hafiz Al-Qur’an sejak masa muda dan pernah menjadi imam di Kesultanan Bima pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1748 M). Selain itu, Syaikh Subuh juga merupakan penulis mushaf Bima bernama LA LINO, yang terkenal sebagai mushaf tertua di Indonesia karena ditulis tangan dan memiliki kekayaan isi yang mendalam.
Saat berjalan menuju Bima, Syaikh Subuh menikahi seorang gadis dari kampung Sarita, Soromandi Bima. Mereka kemudian memiliki seorang putra yang diberi nama Abdul Ghani.
Setelah Abdul Ghani dewasa dan mendalami ilmu agama dari keluarganya serta ulama sekitarnya, Syaikh Abdul Ghani meminta izin kepada ayahnya untuk melakukan ibadah haji dan kemudian menimba ilmu di tanah Hijaz. Di kalangan ulama Nusantara, terdapat keyakinan tak tertulis bahwa untuk memahami Islam secara khusus dan mendalam, belajarlah di Al Jawi di Hijaz. Inilah yang dipilih oleh Syaikh Abdul Ghani.
Di Haramain, Syaikh Abdul Ghani menimba ilmu dari para ulama yang tersebar di Serambi Masjidil Haram melalui halaqoh ilmiah. Beliau belajar dari ulama terkemuka di sana, termasuk: al-Allamah al-Sayyid Muhammad al-Marzuki dan saudaranya, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, penulis kitab Aqidatul Awam, Muhammad Sa’id al-Qudsi -mufti dari madzhab Syafi’i-, dan al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Menurut Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, al-A’lam, disebutkan bahwa Syaikh Abdul Ghani banyak memperoleh ilmu dari ulama-ulama tersebut.
Pengetahuan yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Ghani telah terlihat sejak beliau mulai mempelajari dasar-dasar ilmu agama Islam, khususnya Fiqih dan Falak. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa para guru meminta agar beliau bergabung dalam pengajaran di Masjidil Haram. Sebagai seorang pengajar di Masjidil Haram, Syaikh Abdul Ghani memberikan banyak bantuan kepada para pencari ilmu, terutama yang berasal dari Nusantara, baik dalam hal ilmu pengetahuan maupun ekonomi. Hal ini terjadi karena pada saat itu, biaya hidup para pelajar Nusantara sangat bergantung pada para jamaah haji.
Ketika mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Abdul Ghani dikelilingi oleh murid-murid dari berbagai negara, termasuk Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Wasi al-Jawi, Syaikh Abdul Hamid bin Ali al-Qudsi, Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi, dan Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani, yang dikenal sebagai penulis Tafsir Muroh Labid dan Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani juga merupakan guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, serta TGH. Zainuddin Abdul Majid (maulana Syaikh), pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok. Selain itu, antara lain terdapat Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi Banten, Abuya Dimyati Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad Tasikmalaya, KH. Abdul Karim Kediri, dan KH. Muhammad Falak dari Bogor. Meskipun Syaikh Abdul Ghani sibuk dengan kegiatan mengajar, beribadah, dan menulis, sayangnya tulisan-tulisannya tidak dapat dilacak hingga saat ini.
Oleh karena itu, pada suatu acara yang dihadiri oleh Ginanjar Sya’ban, pengarang buku Mahakarya Islam Nusantara yang merangkum kitab-kitab karya ulama Nusantara, seorang penulis dengan sengaja menanyakan mengenai keberadaan kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Abdul Ghani. Ginanjar Sya’ban menjawab bahwa hingga saat ini ia belum menemukan jejaknya.
Syaikh Abul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani dalam tashihnya terhadap kitab Kifayah al-Mustafid Lima ‘Ala Lada At-Tarmisi min al-Asanid menyebutkan bahwa Syaikh ‘Abdul Ghani bin Subuh al-Bimawi termasuk salah satu dari 103 ulama asal Melayu yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau, kata Abul Faidh, telah meriwayatkan hadist dari ‘Umar bin ‘Abdul Karim al-‘Aththar al-Makki, Ahmad bin ‘Ubaid al-‘Aththar al-Dimasyqi, Sayyid Muhammad Murtadha al-Zabidi, Sa’id bin ‘Ali al-Suwaidi al-Baghdadi, dan Khairuddin bin Syihabuddin al-Maidani al-Dimasyqi.