Oleh: Intan Syarifatul Ula Muhaimin
(Mahasiswi Uin Sunan Ampel Surabaya)
Manusia diciptakan oleh Allah hanya dengan satu tujuan yaitu untuk menyembah kepada-Nya. Manusia itu terdiri dari 2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani (roh, akal, hati, dan nafsu). Menyadari asal kejadian manusia, seharusnya manusia sadar bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang tidak sepatutnya bersikap angkuh dan sombong. Allah memberikan kita waktu untuk hidup di dunia ini tidaklah lama, hal ini dimaksudkan agar manusia itu sadar untuk mengisi hidupnya dengan hal-hal yang baik. Oleh karena itu jadilah orang yang “malamnya bercermin kitab suci, siangnya bertongkat besi” yang artinya dimalam hari menjadi hamba Allah yang khusuk dalam beribadah dan siang harinya menjadi pekerja keras.
Nafs
Istilah-istilah dalam al Qur’an memiliki makna yang kaya dan konteks yang ragam, termasuk istilah yang digunakan untuk menunjukkan instrumen psikis manusia. Al Nafs sebagai salah satu instrumen psikis manusia memiliki makna yang bervariasi sesuai objek dan konteks ayat, antara lain bermakna: nyawa, nafsu, diri dan hakikat diri manusia dan jiwa. Secara fungsional al-nafs juga dipersiapkan untuk dapat menampung dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk.
Dalam beberapa ayat dijelaskan kepada al-nafs telah diilhamkan jalan kebaikan dan jalan keburukan. Selain itu, ditemukan isyarat juga bahwa al-nafs merupakan tempat yang dapat menampung gagasan dan kemauan. Isyarat ini dipahami dari firman Allah dalam surat al-Ra‘d ayat 11, bahwa suatu kaum tidak akan berubah keadaannya sebelum mereka mengubah terlebih dahulu apa yang ada di dalam nafs mereka. Apa yang ada di dalam nafs itu dapat berupa gagasan, pikiran, kemauan, dan tekad untuk berubah. Dilihat dari tingkatannya al nafs terbagi menjadi tiga tingkatan: al- nafs al-‘ ammarah; al-nafs lawwamah ;dan al-nafs al-mutmainnah.
Al Nafs Al Ammarah
Al Ammarah bi suu’, yaitu suka menyuruh kepada keburukan. Kata tersebut bermakna bahwa jiwa pada dasarnya memiliki sifat yang cenderung melakukan keburukan. Maka dari itu, setiap orang pada dasarnya memiliki sifat untuk melakukan hal yang buruk. Nafsu ini sering mengajak dan mendorong seseorang melakukan suatu kejahatan. Nafs al ‘ammarah bi al suu’ dimiliki oleh setiap orang, baik orang mukmin yang awam maupun orang non mukmin (kafir).
Nafsu ini dapat menguasai seluruh jiwa dan raga karena adanya dorongan dari setan sebagaimana yang telah difirmankan Tuhan dalam surat Yusuf ayat 53, berbunyi:
“Dan aku (yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS Yusuf : 53)
Hakikat al Nafs al Ammarah bi al-Suu’ Nafsul Ammarah adalah jiwa manusia yang ingin memenuhi kehendak hawa nafsu dalam segala bidang kehidupan, sehingga tidak menghiraukan kaidah-kaidah agama. Misalnya saja bersifat takabur, loba, tamak, kikir, senang menyakiti orang lain, dan lain-lain. Meskipun ada pula yang menyamakan istilah jiwa pada ruh, akan tetapi penggunaan istilahnya pada jiwa lebih populer menggunakan nafs.[5] Sedangkan ammarah secara harfiyah artinya adalah banyak memberi perintah.
An nafs al lawwamah, yaitu menyesali diri. Dalam sifat ini, manusia sangat diwajarkan ketika merasa menyesal atas diri sendiri dan cenderung mencela dirinya. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surah Alqiyamah: 2, “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” Annafsullawwamah, yaitu suatu keadaan di mana jiwa menyesali keadaan diri karena merasa kurang melakukan kebaikan dan menyesal atas keburukan yang dilakukan. Dalam hal ini, jiwa memiliki kesadaran akan hal itu.
Nafsul Lawwamah adalah jiwa yang masih cacat cela. Walaupun dia menerima hidayah petunjuk dari Tuhan, patuh kepada-Nya, dan selalu ingin berbuat kebajikan, tetapi sang pemilik terkadang melakukan perbuatan maksiat atau sewaktu-waktu tak dapat menguasai hawa nafsunya, yakni godaan setan.
An nafs al muthmainnah, yaitu sifat jiwa yang memperoleh ketenangan. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsat al-Lahfan min Masyayidisy Syaithan, apabila jiwa merasa tenteram kepada Allah SWT tenang dengan mengingat-Nya, dan bertobat kepada-Nya, rindu bertemu dengan-Nya, dan menghibur diri dengan dekat kepada-Nya, maka ialah jiwa yang dalam keadaan muthmainnah. Seperti firman Allah dalam QS al-Fajr ayat 27-30.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Maka demikianlah sesungguh jiwa memiliki kecenderungan untuk berbuat buruk karena setiap jiwa punya hawa nafsu. Namun, permasalahannya adalah bagaimaan kita menahan diri utuk tidak dituntut oleh keburukan tersebut.
Akal
Akal merupakan syarat untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Ketika menjelaskan tentang kemuliaan akal, Imam Ghazali berkata, “Akal itu sumber, peneliti dan dasar dari ilmu. Ilmu sendiri berproses dari akal seperti proses buah dari pohon, proses cahaya dari matahari, dan proses penglihatan dari mata. Bagaimana akal tidak mulia, bukankah akal itu media memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat?”
Ada sebuah hadis seperti dikutip dalam kitab al-Awsath. Rasulullah SAW bersabda, “Ciptaan Allah pertama adalah akal. Lalu, Allah memerintah kepada akal, ‘Menghadaplah’, akal itu pun menghadap. Lalu Allah memerintahkan, ‘Renungkanlah’, maka akal itu pun merenung. Kemudian, Allah berfirman kepada akal, ‘Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tak pernah mencipta makhluk yang lebih mulia bagi-Ku daripada engkau. Lantaran engkau, Aku merampas.
Lantaran engkau, Aku memberi. Lantaran engkau, Aku mengganjar. Dan lantaran engkau, Aku menyiksa.” Hadis ini mengisyaratkan, seorang insan hendaknya menggunakan akal pemberian Allah itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, dengan instrumen itulah ia dapat menimbang-nimbang. Mana yang ia pilih: perbuatan yang diperintahkan-Nya, atau yang dilarang-Nya.
Qalb
Qalb merupakan suatu anugerah Allah swt. yang diberikan kepada manusia yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan utama, sebab qalb berfungsi sebagai penggerak dan pengontrol anggota tubuh lainnya. Qalb adalah salah satu aspek terdalam dalam jiwa manusia yang senantiasa menilai benar salahnya perasaan, niat, angan-angan, pemikiran, hasrat, sikap dan tindakan seseorang, terutama dirinya sendiri.
Sekalipun qalb ini cenderung menunjukkan hal yang benar dan hal yang salah, tetapi tidak jarang mengalami keragu-raguan dan sengketa batin sehingga seakan-akan sulit menentukan yang benar dan yang salah. Tempat untuk memahami dan mengendalikan diri itu ada dalam qalb. Qalbu-lah yang menunjukkan watak dan jati diri yang sebenarnya. Qalbu-lah yang membuat manusia mampu berprestasi, bila qalbu bening dan jernih, maka keseluruhan diri manusia akan menampakkan kebersihan, kebeningan, dan kejernihan. Yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan oleh indera manusia sejak berada di dunia.
Ruh
Makna dasar ruh yang ada dalam Al-Qur’an ada 6 makna, yaitu wahyu, Jibril, rahmat, Isa, malik, dan hidup. Sedangkan makna dasarnya adalah ruh, angin, dan nyaman. Apabila dikaitkan semua makna tersebut akan menjadi sebuah pengertian, bahwa ruh itu adalah sesuatu yang ghoib, hidup, bersih, dan suci dari segala keburukan, dan menjadikan manusia itu hidup, sehingga dia dapat melakukan kebajikan.
Ruh diartikan sebagai rahmat, karena rahmat merupakan sebuah hadiah atau pemberian dari Allah kepada hambanya. Rahmat artinya adalah kebaikan dan nikmat. Hubungan antara ruh dan rahmat adalah bahwa ruh merupakan perintah dari Allah. Dan rahmat merupakan nikmat dan kebaikan dari Allah. Semua itu menyebabkan pada pergerakan dalam diri manusia.