Oleh: Ali Adhim
Indonesia sedang menghadapi babak baru dalam kebijakan perpajakan: rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Pemerintah berargumen bahwa ini adalah langkah untuk memperkuat pendapatan negara dan menyeimbangkan defisit anggaran yang meningkat akibat pandemi. Namun, bagi masyarakat luas, terutama mereka yang berada di lapisan bawah piramida ekonomi, kebijakan ini lebih menyerupai kabar buruk daripada strategi pembangunan.
Pajak, pada dasarnya, adalah jembatan antara negara dan rakyat. Sebuah negara yang sehat menggunakan pajak untuk mendanai pelayanan publik, membangun infrastruktur, dan mengurangi ketimpangan sosial. Namun, ketika pajak lebih terasa sebagai beban ketimbang kontribusi, di situlah masalah mulai muncul.
Mari kita analisis. PPN, sebagai pajak konsumsi, bersifat regresif. Artinya, dampak pajak ini cenderung lebih berat bagi mereka yang berpenghasilan rendah dibandingkan yang berpenghasilan tinggi. Sebuah keluarga dengan pendapatan rendah mungkin menghabiskan hampir seluruh penghasilannya untuk kebutuhan pokok, yang semuanya terkena PPN. Kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan langsung terasa di meja makan mereka.
Di sisi lain, pemerintah sering berdalih bahwa tarif PPN Indonesia, yang saat ini sebesar 11%, masih lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Namun, argumen ini hanya melihat angka mentah tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi.
Belajar dari Negara Lain
Kita lihat negara-negara seperti Jerman dan Denmark, yang menerapkan PPN sebesar 19% dan 25%. Namun, ada perbedaan mendasar. Di negara-negara ini, beban pajak konsumsi diimbangi oleh sistem jaminan sosial yang kuat. Pendidikan dan kesehatan gratis, infrastruktur modern, dan program kesejahteraan yang menyeluruh menjadikan pajak tinggi terasa layak. Rakyat membayar pajak tinggi, tetapi mereka juga menerima manfaat yang setara, jika tidak lebih besar.
Di Indonesia, hal ini masih jauh dari kenyataan. Anggaran kesehatan kita masih rendah. Sistem pendidikan sering kali tidak merata, dan program bantuan sosial masih penuh celah. Dalam kondisi seperti ini, menaikkan tarif PPN tanpa jaminan perbaikan layanan publik hanya akan memperbesar ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Opsi Kebijakan yang Lebih Adil
Beberapa negara memilih pendekatan progresif dalam memungut pajak. Misalnya, Inggris menerapkan PPN standar sebesar 20%, tetapi kebutuhan pokok seperti makanan, buku, dan obat-obatan dikenakan tarif nol persen. Sistem ini memberikan perlindungan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sementara tetap memungut pendapatan dari sektor lain.
Indonesia bisa belajar dari pendekatan semacam ini. Daripada menaikkan tarif PPN secara menyeluruh, mengapa tidak memprioritaskan pengecualian PPN untuk barang dan jasa yang benar-benar esensial? Langkah ini akan memberikan ruang bernapas bagi masyarakat kecil tanpa mengorbankan pendapatan negara secara signifikan.
Selain itu, perlu ada upaya serius untuk memperluas basis pajak. Data menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah. Ketimbang membebani mereka yang sudah patuh, pemerintah sebaiknya mengejar potensi pajak dari sektor informal dan digital, yang hingga kini masih banyak yang lolos dari radar.
Kepercayaan Sebagai Modal Utama
Pajak adalah kontrak sosial. Rakyat membayar, dengan harapan negara memberikan sesuatu yang setimpal. Namun, ketika rakyat melihat uang pajak mereka bocor ke kantong-kantong koruptor atau digunakan untuk proyek-proyek tanpa manfaat langsung, kontrak ini mulai retak.
Meningkatkan tarif PPN menjadi 12% mungkin akan menambah pendapatan negara dalam jangka pendek, tetapi jika kepercayaan rakyat terus menurun, efek jangka panjangnya akan lebih merusak. Pertumbuhan ekonomi bisa melambat, konsumsi domestik menurun, dan jurang antara kaya dan miskin semakin melebar.
Jika pemerintah serius ingin meningkatkan pendapatan negara, langkah pertama yang harus diambil adalah mereformasi birokrasi dan mengurangi kebocoran anggaran. Hanya dengan demikian rakyat akan merasa bahwa setiap rupiah pajak yang mereka bayarkan benar-benar kembali kepada mereka dalam bentuk layanan yang nyata.
PPN 12% bukan sekadar angka; ia adalah cermin dari arah kebijakan ekonomi dan politik kita. Apakah kita ingin menciptakan masyarakat yang saling mendukung melalui pajak, atau sekadar menambah beban pada mereka yang paling lemah?
Jawabannya ada di tangan pemerintah, tetapi suara rakyat harus didengar. Di tengah seruan lantang untuk reformasi, ada pesan sederhana: pajak yang adil bukan hanya tentang tarif, tetapi juga tentang kepercayaan. Dan kepercayaan, seperti yang kita tahu, adalah sesuatu yang sulit dibangun, tetapi mudah dihancurkan.