Kisah Politik dan Diplomasi Imam Syafi’i di Pemerintahan Najran

Kisah Politik dan Diplomasi Imam Syafi’i di Pemerintahan Najran
Gambar: Alif Id

Oleh: Mohammad Ulil Rosyad

Pada masa itu gubernur Yaman datang ke Makkah untuk mencari seorang Qadhi. Lantas beberapa penduduk Qarsyi berinisiatif mengusulkan agar menemui seorang imam untuk diangkat sebagai Qadhi di kota Najran (Yaman). Terdapat seorang imam yang kelebihan dan kecerdasannya dikenal seantero kota. Apalagi beliau ialah seorang imigran, beliau juga membutuhkan biaya untuk hidup dan menghidupi keluarganya. Si Imam akhirnya menerima penawaran gubernur Yaman, yang salah satu alasannya ialah faktor finansial, bahkan sempat mengaku “Ibu saya tidak punya apa-apa untuk saya jadikan bekal, lalu saya menggadaikan rumah, dan uangnya saya jadikan bekal untuk pergi bersama gubernur itu. Ketika sampai di sana saya bekerja kepadanya.”[1]

Si Imam itulah bernama Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i lahir di Gaza, Palestina pada 150 H (767M),[2] pada masa Dinasti Abbasiyah periode awal berkuasa. Yang mana dipimpin oleh Abu Ja’far Harun ibn al-Mahdi dengan gelar al-Rasyid (lebih dikenal dengan Harun Ar-Rasyid). Meskipun Imam Syafi’i hanya menjabat selama 2 tahun saja sebagai Qadhi di sana, namun meberikan banyak nilai-nilai positif pada masyarakat.

Pasca dilantik oleh gubernur, Imam Syafi’i menegakkan kebenaran dan menyebarluaskan keadilan. Dia memiliki kepribadian yang berprinsip dengan nilai-nilai Islam, akal yang cerdas dan jiwa yang lurus hingga kepribadiannya yang baik itu terkenal di Mekkah dan Najran. Mereka melihat bahwa pada diri Imam Syafi’i terdapat teladan yang baik bagi orang yang memegang urusan manusia.

Tatkala pengaruh beliau semakin kuat di kota tersebut, gubernur Yaman tadi menjadi hasud (iri) kepada beliau. Selain itu kebencian gubernur disebabkan oleh satu kasus, ketika Imam Syafi’i ditugaskan di Najran, yang di dalamnya ada Bani Haris bin Abdullah al-Madan, para wali di Tsaqif. Yang mana jika para wali datang kepada orang-orang, maka mereka harus menghormatinya. Namun hal tersebut tidak dilakukan oleh Imam Syafi’I.[3]

Baca Juga  Blusukan ke Surabaya, Yenni Wahid Ajak Milenial Surabaya Menangkan Ganjar-Mahfud

Imam Syafi’i tidak melakukan penyambutan kepada mereka, dan tidak menghormati gubernur dan pemimpinnya sebagaimana yang diperintahkan, namun Imam Syafi’i justru berdiri tegap melarang setiap kezaliman yang akan dilakukannya  kepada rakyat. Dan juga mengkritiknya dalam segala urusan, dan menentang setiap kejahatan yang dilakukannya. Imam Syafi’i kemudian dianggap crewet seperti perkataan gubernur waktu itu “dia bekerja dengan lisannya (crewet) karena tidak mampu berperang dengan pedangnya.”[4]

Sikap Imam Syafi’i pun membuat dada gubernur menjadi sempit, dan ingin berbuat jahat kepada Imam Syafi’i. Gubernur tersebut kemudian membuat strategi dengan memasukkan Imam Syafi’i ke dalam daftar sembilan orang yang dituduh sebagai pemberontak. Dan identitas tersebut telah didengar oleh Harun Al-Rasyid, bahkan dia sudah siap-siap menjatuhkan hukuman berat kepada nama-nama tersebut.

Dengan tipu daya ini, gubernur berusaha untuk membebaskan dirinya dari orang yang selalu menghalanginya untuk melampiaskan nafsunya dan memenuhi hasrat jahatnya. Kesembilan orang itu, dan kesepuluhnya, adalah Imam Syafi’I digiring sebagai tawanan dengan tangan dibelenggu ke leher. Mereka digiring dari Yaman ke Baghdad dengan tiga orang tentara untuk dihadapkan kepada Harun Al-Rasyid untuk menegaskan tuduhan yang berbahaya itu. tuduh penghianatan berat yang mewajibkan pelakunya dihukum berat.

Orang-orang itu akhirnya menghadap Harun Al-Rasyid dengan keadaan terbelenggu, dengan mata pedang yang sudah menghadap mereka. Sedangkan tentara yang membawa persenjataan telah siap-siap di ruang hukuman dalam istana kerajaan. Mereka menunggu perintah Harun Al-Rasyid untuk proses pengeksekusiannya.[5]

Namun, berkat kesaksian Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang saat itu menjabat sebagai hakim agung Dinasti Abbasiyah dan guru dari Imam Syafi’i juga. “Asy-Syafi’i seorang yang sangat alim. Tuduhan itu tidak mendasar” ucap Muhammad membela dirinya di hadapan Khalifah. Tapi selain itu, ada faktor kelihaian dia berdiplomasi. Saat diinterogasi, dia balik bertanya, “Mana yang khalifah suka: orang yang menganggap kita saudara atau yang menganggap budak?”

Baca Juga  Dongeng Nabi Sulaiman dari Bapak: Inspirasi di Balik Kejujuran Mahfud MD

“Tentu yang menganggap kita saudara,” jawab Khalifah.

“Saya berasal dari Bani Muttalib dan tuan dari Bani Abbas; kita bersaudara.” terang Asy-Syafi’i, “Sementara mereka (Alawiyah) memandang kita lebih rendah karena kita hanya kerabat Nabi, bukan anak cucu Nabi SAW.” Dengan jawaban diplomatis semacam ini, Imam Asy-Syafi’i selamat. Kejadian ini terjadi saat beliau berusia 34 tahun. Karena pengalaman inilah akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan dunia pemerintahan dan fokus untuk berkhidmat dan mempelajari ilmu agama.[6]

 

Nasehat Imam Syafi’i

Bagi Imam Asy-Syafi’i, pemimpin adalah tugas yang sangat berat. Pemikiran beliau tentang kepemimpinan dapat dilihat dari beberapa statement beliau, bahwa Selain beratnya beban menjadi seorang pemimpin, ketika menjadi pemimpin nyaris tidak ada waktu untuk menuntut ilmu, seperti perkataan Imam Asy-Syafi’i berikut ini (yang artinya): “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dengan keadaan serba kekurangan. Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun sangat sulit.”

Dalam perkataannya yang lain, Imam Syafi’i menyatakan bahwa : “Tidak mungkin seorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan (dengan) harga diri yang tinggi, lalu ia beruntung. Akan tetapi, seseorang menuntut ilmu dengan tunduk, kesempitan hidup, rendah hati, dan berkhidmat dengan ilmu. Pahamilah sebelum engkau menjadi pemimpin. Jika kamu telah memimpin, tidak ada lagi jalan untuk mendalami ilmu. Barangsiapa yang menuntut ilmu, haruslah mendalam agar hal-hal terkecil dari ilmu itu tidak hilang darinya. Siapa yang tidak mencintai ilmu, tidak ada kebaikan padanya. Maka, janganlah kamu berteman atau berkenalan dengannya.”[7]

 

Kesimpulan

Berbicara politik bagi Imam Syafi’i bermakna berbicara seputar tanggung jawab. Amanah yang diberikan kepadanya dari Gubernur Yaman, menjadi tantangan tersendiri bagi Imam Syafi’i. Budaya memperjuangkan untuk rakyat, menghidari suap dan korupsi hingga melawan kezaliman merupakan sedikit contoh dari beanyaknya gerakan yang ditonjolkan olehnya selama 2 tahun di pemerintahan Najran. Kemampuan retorika dalam berdiplomasi, membangun jejaring dengan kolega menjadi senjata baginya melawan ketidakadilan dari petinggi pemerintahan.

Baca Juga  Dialog Terbuka di UMJ: Ganjar-Mahfud Ungkap Filosofi Tagline

Daftar Pustaka

Al-Badri, Abdul Aziz. Hitam Putih Wajah Ulama & Penguasa, Jakarta : Darul Falah , 2003.

An-Nawawi,  Yahya bin Syaraf. Tahdzi>b Al- Asma>’ Wa al-Lugha>t, Juz 1, Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 2007.

Hasan, Nur. Polemik Ulama dan Khalifah (5): Imam Syafi’i dan Gubernur Yaman, di https://alif.id/read/nur-hasan/polemik-ulama-dan-khalifah-5-imam-syafii-dan-gubernur-yaman-b236021p/, diakses pada 25-10-2023.

Suhaimi, “Komunikasi Politik Dan Retorika Debat Antara Imam Syafi’i Dan Harun Al-Rasyid,” Al-Turas XIII, no. 2 (2017): 195

Zahroh, Abu Muhammad. As-Syafi’i, Mesir: Darul Fikri,t.th.

[1] Nur Hasan, Polemik Ulama dan Khalifah (5): Imam Syafi’i dan Gubernur Yaman, di https://alif.id/read/nur-hasan/polemik-ulama-dan-khalifah-5-imam-syafii-dan-gubernur-yaman-b236021p/, diakses pada 25-10-2023.

[2] Abu Zahroh, As-Syafi’i, Mesir: Darul Fikri,t.th, 15

[3] Abdul Aziz Al-Badri, Hitam Putih Wajah Ulama & Penguasa, Jakarta : Darul Falah , 2003, 195

[4] Abdul Aziz Al-Badri, Hitam Putih Wajah Ulama & Penguasa,…, 195

[5] Suhaimi, “Komunikasi Politik Dan Retorika Debat Antara Imam Syafi’i Dan Harun Al-Rasyid,” Al-Turas XIII, no. 2 (2017): 195

[6] Nur Hasan, Polemik Ulama dan Khalifah (5): Imam Syafi’i dan Gubernur Yaman, di https://alif.id/read/nur-hasan/polemik-ulama-dan-khalifah-5-imam-syafii-dan-gubernur-yaman-b236021p/, diakses pada 25-10-2023.

[7] Yahya bin Syaraf An-Nawawi,  Tahdzi>b Al- Asma>’ Wa al-Lugha>t, Juz 1, Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 2007, 54

Tinggalkan Balasan