Esai  

Muwajjah: Tempat Terbaik Interaksi Guru dan Murid

“Semakin sering seorang murid bertemu dan berinteraksi dengan gurunya. Maka, akan terciptalah kontak batin antara keduanya. Guru akan sering mendoakannya, dan murid akan semakin mencintai dan menghormati gurunya.”

Muwajjah, kalimat ini tidak pernah asing bagi alumni dan santri Pondok Modern Darussalam Gontor. Kalau yang terdengar dari para alumni dan santrinya, muwajjah sendiri sering diartikan dengan kegiatan belajar malam. Dilakukan rutin oleh santri – santri, mulai dari setelah shalat Isya’ dan berakhir hingga sekitar pukul setengah sepuluh malam, karena waktu itu adalah akhir dari aktifitas dalam seharian dan anak – anak harus segera beristirahat. Pada saat aktifitas ini, tidak hanya murid – murid yang datang menempuh jihad-nya untuk belajar. Mereka semua tersebar di seluruh area pondok ataupun zona – zona yang telah ditentukan. Setiap guru baik yang mengajar ataupun tidak, juga harus menemani dan mengawasi saat belajar. Tentu, bukan hanya sekedar menemani. Tapi juga mendoakan dan menjaga mereka untuk tetap memiliki ruh dan niat menuntut ilmu.

Kalau muwajjah hanya sekedar diartikan dengan arti kata belajar malam. Sepertinya kurang pas, bahkan sebenarnya memang tidak cocok. Kalau mengartikan dengan kata belajar malam, arti kata yang didapatkan seharusnya adalah at-ta’allum al-laily. Bisa juga diartikan dengan ad-diraasah al-lailiyah atau pembelajaran yang dilakukan di malam hari. Lalu, apa yang sebenarnya cocok untuk menjadi arti dari muwajjah lailiy?

Muwajjah berasal dari kata al-wajhu artinya wajah. Singkatnya, muwajjah mungkin lebih tepat dikatakan dengan tempat atau waktu untuk bertemu di malam hari. Karena memang aktifitas ini dilakukan di malam hari. Di tempat ini, guru beramai – ramai bertemu dengan para muridnya. Bukan hanya itu, tetapi juga berinteraksi, menerima bait – bait hafalan, atau bahkan menjelaskan tentang pelajaran yang belum difahami oleh muridnya. Dan tentu, semua itu bukan sebuah paksaan dan tuntutan. Itu semua menjadi sebuah keinginan yang pada akhirnya menciptakan harapan – harapan serta doa bagi setiap muridnya. Di tempat ini, guru – guru akan selalu menjadi orang yang paling dirindukan murid – muridnya. Guru mana yang tidak disukai untuk dicintai dan dirindukan?

Baca Juga  Islam Masa Kini : Surplus Dai Defisit Musanif

Begitu pula dengan murid – murid. Mereka, yang selalu memiliki niat yang ikhlas untuk menuntut ilmu, tidak pernah mau untuk melewatkan aktifitas ini. Di tempat ini, mereka bisa bertemu dan menyapa guru – gurunya sesuka hati. Di tempat ini, adalah tempat untuk menggelorakan semangat belajar, mendapatkan cahaya dan nur dari Allah lewat guru – gurunya. Ada banyak malaikat – malaikat yang hadir untuk mengaminkan doa – doa antara keduanya.

Bukan hanya sekedar pertemuan antara guru dan murid. Akan tercipta kontak batin yang begitu erat. Guru – guru yang berusaha meluangkan waktunya untuk menyapa, mendoakan dan mendidik muridnya. Murid yang selalu ikhlas untuk kembali mendoakan. Malaikat mana yang tidak ikhlas untuk mengaminkan dan mencatatnya? Romantis bukan?

Mungkin, hal ini yang perlahan mulai ditinggalkan bagi penuntut ilmu dan seorang pendidik. Tujuan untuk menuntut ilmu, sebenarnya bukan hanya sekedar peningkatan tingkat kecerdasan, baik mental ataupun akal, bagi siapapun yang melakukannya. Tetapi juga bagaimana kita mendidik dan menciptakan ruh, contoh, teladan yang baik kepada murid – murid kita. Terlebih, di masa – masa saat ini sudah sangat minim sekali untuk bisa bertatap muka langsung dengan guru – gurunya.

Semoga, dengan adanya teknologi dan digitalisasi yang semakin terdepan, tidak mengurangi bahkan menghapus hakikat dari menuntut ilmu yang sesungguhnya. Wallahu a’lamu bis-shawab.

 

           

Tinggalkan Balasan