Bapak Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor
(1985-2020)
“Pondok tak pernah mati, meski berganti sosok kyai!”
Tahun 2020, akan tercatat sebagai sejarah. Bukan hanya Indonesia bahkan dunia yang merasakan suatu kepedihan, luka yang teramat dalam, krisis dari segala pihak, bahkan tahun dimana banyak didatangkan ujian dan rahmat sekaligus bertubi – tubi. Hingga terkadang kita semua tidak bisa membedakan, antara ujian dan rahmatnya.
Tahun 2020, menjadi aamu-l-huzni bagi sejarah guru – guru beserta santri di Pondok Modern Darussalam Gontor. Jika di zaman Rasulullah SAW, mengalami peristiwa aamu-l-huzni karena beliau ditinggal oleh kakek dan istri tercintanya, yaitu Abdul Muthallib dan Sayyidah Khadijah RA. Sama halnya dengan guru, santri, alumni, dan seluruh elemen yang melapisi dan mendiami Pondok Modern Darussalam Gontor. Seakan tahun ini menjadi tahun yang penuh duka, dan penuh ujian dan rintangan.
Di tahun 2020 ini, Gontor diuji dengan ujian yang bukan hanya corona; wabah yang tak segera mentas dari dunia. Bukan hanya ujaran kebencian, fitnah – fitnah keji, ataupun desas – desus yang melanda. Bukan hanya bencana akhlak yang harus selalu sigap untuk dibenahi. Bukan hanya itu. Di tahun ini, kami harus kehilangan 2 Kyai kami, guru, panutan, ayah dan sekaligus teladan kami. Beliau telah berpulang, kembali kepada Allah, dan kepada-Nya lah kita semua harus kembali. Al – Ustadz KH. Syamsul Hadi Abdan yang telah mendahului untuk kembali di bulan Mei lalu, dan di bulan Oktober ini kami harus kehilangan sosok panutan kami, Al – Ustadz KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A.
Tapi, tidak bisa kita terus – terusan lantas bilang ini adalah aamu-l-huzni yang melanda kami semua. Tahun ini adalah tahun dimana digemblengnya generasi pejuang – pejuang selanjutnya. Menjadi tahun dimana harus dikuatkan generasi pejuang yang selalu kami jadikan panutan dan teladan. Memang kami tidak akan pernah bisa menghitung seberapa banyak upaya dan usaha yang telah beliau kerahkan demi umat Islam. Sudah terbukti semboyan – semboyan bondo, bahu, dan pikir. Bahkan saat ini, telah tunai saknyawane pisan.
Untuk kami generasi – generasi saat ini, yang sebenarnya kami tidak pernah tahu kategori apa yang layak untuk disematkan pada kami. Apakah kami menjadi generasi pejuang, atau penikmat, atau bahkan naudzubillah menjadi generasi penghancur. Kami sebagai santri dan alumni tidak akan pernah bisa berhenti bicara dan habis – habisnya menulis tentang bagaimana perjuangan – perjuangan guru – guru kami yang tidak pernah berbalas. Perjuangan yang tidak pernah minta dihargai, tapi memang seakan tak akan pernah setara dengan nilai berapapun di mata manusia. Kami sebagai santri hanya sering kali takjub dan takabbur perihal sistem dan nilai – nilai di pondok, padahal aslinya kami tak mempunyai hak apa – apa untuk itu. Seakan kami merasa punya banyak hal di pondok, padahal nyatanya bukan milik kita.
Pondok Pesantren.
Sebagai santri – santri, guru – guru, murid dan pendatang baru. Seakan kami hanya menikmati hasil – hasil perjuangan, tanpa meneruskan dan melanjutkan. Sekedar melaksanakan tanpa ruh dan hayat, sehingga kami tak pernah mendapatkan jiwa dari setiap nilai – nilai yang telah diusung sejak dahulunya. Kami hidup untuk menyambung nyawa di pesantren, hanya sekedar mampir mangan, ngombe, turu dan sebagainya. Hanya berbusa – busa bicara, berlari mandi keringat padahal diam di tempat.
Ya Allah.
Perlahan, orang – orang yang mulia itu mulai pergi mendahului. Tanpa kita tahu, bahwa penerusnya ini kuat atau tidak. Satu persatu patah, tanpa tahu bahwa tunas yang ditumbuhkan ini busuk atau tidak. Kyai – kyai kami meninggalkan jaariyah, tapi entah menahu bahwa generasi penerusnya mengalirkan atau justru membendung dan berhenti di seorang atau dua orang setelahnya.
An-nafsu asy-syariifatu la tamuutu
Jiwa – jiwa orang yang mulia, tidak akan pernah mati.
Yang selalu terngiang dan terpatri di dalam benak kami, sejak kami santri. Kami sempat belajar tentang mahfudzat, suatu petikan yang mengatakan bahwa jiwa orang – orang mulia tidak akan pernah mati, walau sudah berbeda halte di terminal kehidupannya. Kami, sebagai santri, guru, alumni sekaligus generasi pejuang selanjutnya hanya dapat mendoakan; doa teramat tulus meskipun hanya lewat media broadcast maupun snapchat whatsapp. Orang – orang mulia seperti kyai – kyai kami, tidak akan pernah mati jiwanya, meskipun sudah tidak menyatu dengan raganya. Nilai – nilai itu masih terkandung dalam setiap khutbah – khutbah, kalimat atau bahkan tulisan yang sempat terbaca oleh kami atau tidak. Selamanya beliau akan hidup, sampai akhirnya kami bisa berjumpa kembali, menjemput di halte yang sama kemudian.
Berlarut – larut dalam rasa duka dan kehilangan tidak akan selalu dikatakan baik. Lebih baik kembali berjuang dan memperjuangkan yang ada, lebih baik merawat dan melestarikan sistem dan nilai – nilai, lebih baik kita kembali mecerdaskan anak bangsa. Daripada kita harus terus tenggelam dalam air mata. Jiwa yang lama telah banyak yang pergi. Maka harus selalu bersiap, para pengganti.
Santri, guru – guru, alumni dan kerabat yang baik banyak sekali tersebar menjuru di seluruh antero dunia. Setiap dari mereka tak lupa selalu mendoakan. Seluruh pondok pesantren, termasuk Gontor akan selalu diuji karena kuatnya, konsistennya, tangguh dan keberaniannya yang tinggi untuk tetap bertahan. Kalau setiap dari mereka mendoakan, pintu surga mana yang sengaja tidak dibukakan untuk kyai – kyai kita?
Inna ilaihi-l-mashir, wa ilaihi turja’u-l-umuur.
Inna lillaahi, wa inna ilaihi raaji’un.
Wallahu a’lam bi-sh-shawab.