Milad Mui Ke 46: Ulama Dan Umara’ Bersatu Melawan Pandemi

Oleh: Mujahidin Nur, Anggota Komisi INFOKOM, MUI. Direktur The Islah Centre, Jakarta.

Petala langit Jakarta hari itu 7 Rajab 1953 (26 Juli tahun 1975) begitu cerah. Semburat matahari pagi menghangatkan suasana ketika 26 ulama yang merupakan perwakilan dari PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Muhamadiyah, al-Washliyah, GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), DMI (Dewan Masjid Indonesia), al-Itihadiyah, empat ulama dari dinas Rohani Islam perwakilan dari TNI AU, TNI AD, TNI AL dan Polri serta 13 tokoh cendekiawan berkumpul di kota yang mashur dengan julukan Sunda Kelapa itu.

Setidaknya ada dua alasan mereka berkumpul di Jakarta saat itu; Pertama, menandai momentum fase kebangkitan kembali bangsa Indonesia sesudah 30 tahun Indonesia merdeka. Kedua, saat menuju Jakarta hati mereka sama-sama dibalut dan dihiasi semangat yang indah; semangat mempererat persaudaraan dan semangat memperkuat persatuan umat Islam yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya MUI yang hari ini genap berusia 46 tahun lamanya.

Semangat persaudaraan dan persatuan para ulama, zu’ama dan cendekiawan itu pula yang diterjemahkan oleh mantan Presiden Soeharto dalam pidato pendirian MUI. Soeharto menginginkan agar MUI mampu memerankan minimal empat hal sebagai berikut; Pertama, memberikan bimbingan dan tuntutan ke umat Islam di Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama serta bermasyarakat. Kedua, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan ke pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional. Terakhir, meningkatkan hubungan serta kerja sama antar-organisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Baca Juga  SELAMAT JALAN SYUHADA NANGGALA-402

Tidak banyak yang mengetahui, jauh sebelum para ulama, zu’ama dan cendekiawan berkumpul di Jakarta, embrio pendirian MUI sebenarnya sudah pernah diwacanakan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ulama fikih kenamaan pada masa itu, kala itu beliau mempresentasikan makalah dalam konferensi alim-ulama di Jakarta pada 30 September sampai 4 Oktober 1970. Dengan mengutip pernyataan Majma’ Buhuts al-Islamiyah Kairo tahun 1964, Ibrahim Hosen mengemukakan pentingnya lembaga fatwa Sebagai wadah ulama untuk melakukan ijtihad secara kolektif.

Pada awalnya gagasan tersebut belum mendapatkan dukungan penuh dari peserta konferensi bahkan Prof. DR. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu pada awalnya menolak gagasan tersebut. (Usia Buya Hamka saat itu sekitar 62 tahun. 9 tahun lebih tua daripada Ibrahim Hosen). Sebagai gantinya, Prof. Dr. Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar mengangkat Mufti Negara yang dapat memberikan nasihat kepada pemerintah dan ummat Islam Indonesia. Meskipun pada akhirnya Buya Hamka ternyata menyetujui gagasan Ibrahim Hosen tersebut dan justru kemudian setelah MUI berdiri, Buya Hamka menjadi tokoh ulama yang dipercaya sebagai Ketua Umum MUI yang pertama.

Hadirnya 26 ulama, zu’sama, rohani Islam dan cendekiawan dalam pertemuan pertama pembentukan MUI menjadi bukti yang sangat jelas terkait prinsip pluralitas MUI. MUI tidak memiliki niatan untuk menjadi agen “supra-struktur”, yang mewadahi seluruh ormas dan individu cendikiawan muslim tersebut. Sejak berdirinya dan sampai saat ini MUI tetap berkomitmen menjadi ajang pertemuan dan silaturahmi bagi semua pihak dan golongan. Tidak ada orientasi yang mengarah pada sentralisasi, walaupun diawal pembentukanya politik sentralisasi begitu kental sekali pada zaman orde baru. Karena itulah, MUI menjunjung tinggi semangat otonomi dan kemandirian organisasi.

Baca Juga  Pendekatan Kultural Dan Keumatan Ala Jenderal Listyo Sigit Prabowo

Prinsip menjunjung tinggi otonomi, kemandirian dan keragaman ini mendorong MUI untuk tetap terbuka dalam menjalin kerjasama dengan dengan pihak-pihak lain, baik dalam negeri maupun luar negeri. Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI yang diketuai oleh Drs. Bunyam Saptomo dan sekretarisnya Dr. Andy Hidayanto misalnya melakukan kerjasama dengan Duta Besar Kanada untuk Indonesia HE Mr. Cameron Mackay untuk mengatasi problem sosial-politik berupa kebencian atas nama Islam, Islamophobia (MUI, 17 Juni 2021).

MUI juga bekerjasama dengan Komite Fikih Islam Internasional yang berada di bawah Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dalam rangka menyiapkan kader-kader fuqaha’ dan mufti-mufti profesional di masa yang akan datang (Republika, 13 Juni 2021). Disamping MUI juga giat mendorong putra-putri terbaik bangsa ini untuk menempuh pendidikan di luar negeri, dengan menyelenggarakan serangkaian webinar yang menghadirkan pemateri dari berbagai universitas ternama di seluruh dunia (InfokomMUISumut, 26 April 2021).

Di dalam negeri, peran dan kontribusi MUI juga besar. Semenjak memasuki masa-masa kritis akibat pandemi Covid-19, MUI menjadi bagian dari elemen masyarakat yang aktif berkontribusi melalui fatwa-fatwa yang menjadi panduan fikih bagi masyarakat. Dengan sigap dan cepat, MUI mensosialisasikan upaya-upaya penanggulan pandemi berbasis fatwa. Salah satunya Fatwa Nomor 23/2020 tentang kebolehan uang zakat digunakan untuk membeli keperluan Alat Pelindung Diri (APD) Medis, Fatwa Nomor 14/2020 Angka 7 tentang pengurusan jenazah terdampak corona, Fatwa Nomor 14/2020 tentang bolehnya tenaga medis shalat jenazah dalam kondisi tidak suci. Bahkan, MUI membuat Presiden Jokowi mengapresiasi karena telah mengeluarkan fatwa yang ikut mendukung larangan mudik lebaran.

Jika dilihat dari perkembangan fatwa kontemporer, MUI hadir sebagaimana niatan awal pembentukannya, yakni mengupayakan kebaikan bersama, yang bermanfaat bagi umat dan negara. Pandemi Covid-19 menjadi saksi mata betapa urgen gotong-royong, bahu-membahu, antara tiga komponen bangsa: pemerintah, ulama dan rakyat. MUI menjadi jembatan untuk memahamkan kepada rakyat tentang ‘bahasa kebijakan politis’ pemerintah, melalui fatwa-fatwa sebagai logika agama umat.

Baca Juga  Meneladani Abas Bin Abdul Mutholib : Kabid Pelayan Jamaah Haji Ramah Lansia Pada Masa Rasullah

Kontribusi besar MUI melalui fatwa-fatwa untuk kepentingan umat dan pemerintah, khususnya di masa pandemi ini, mengingatkan kita mengenai makna hakiki hubungan Ulama dan Umara’. Sinergi antara ulama dan umara’ tidak selamanya dikonotasikan negatif seperti selama ini. Konotasi negatif antara ulama dan umara’ apabila sinegri mereka menjurus pada hal-hal yang merugikan umat, bangsa dan negara. Tetapi, kebersamaan ‘Ulama dan Umara’ yang menjurus pada asas manfaat dan maslahat kebangsaan dan keumatan adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan. MUI telah membuktikannya selama ini.

Alkhasil, di Milad MUI ke-46 terlihat MUI makin memerankan dirinya sebagai partner strategis Umara. Menjadi jembatan antara pemerintah dan umat. Menjadi perekat antar sesama umat Islam dengan beragam organisasinya di bumi pertiwi ini.

Sungguh indah sekali apabila dalam sebuah bangsa kita menemukan para ulama yang saleh dan istiqomah bersinergi dalam kebaikan dengan Umara yang amanah. Disanalah niscaya keberkahan Allah akan terwujud, kemaslahatan akan dirasakan oleh umat dan persaudaraan antar sesama yang terjalin makin kuat. Persaudaraan yang akan menjadi modal sosial yang sangat efektif dan strategis untuk memenangkan peperangan melawan Covid-19 dan tentu saja untuk mempercepat pembangunan di negeri Indonesia yang sama-sama kita cintai. Selamat Milad MUI ke 46!

Tinggalkan Balasan