Esai  

Man Ana Laulaakum: Refleksi Sebuah Pengabdian Murid Untuk Gurunya

Judul dari karangan bebas ini sepertinya tidak asing untuk didengar. Kalimat ini adalah petikan dari salah satu syair yang mengibaratkan pengabdian seorang murid kepada gurunya, santri kepada ulamanya. Syairnya begitu sederhana, liriknya tidak sulit untuk difahami, nada yang mengiringi juga menyentuh hati bagi siapapun yang menghayatinya. Apalagi, jika mendengarkan langsung dari versi seorang santri kecil yang ikhlas bersenandung kepada para ulamanya. Begitu jelas, air mata tidak dapat terbendung, menetes dari kelopaknya.

Berbicara perihal cinta seorang murid terhadap gurunya, rasanya memang sangat murni dan romantis untuk diceritakan. Rasa kasih sayang antara keduanya, sama seperti rasa cinta anak kepada kedua orang tuanya. Tanpa pamrih dan balas budi, guru mencintai murid – muridnya. Begitu pula, rasa hormat bagi seorang murid kepada gurunya. Jika kita menemui, hal yang berbalik dari hal sedemikian. Ada banyak hal yang perlu kita telaah kembali, ada banyak kisah kisah haru lahir dari sebuah hormat dan abdi seorang murid kepada gurunya. Beruntunglah, bagi siapapun yang sangat mencintai guru – gurunya. Rasa cinta dan hormat kepada guru – guru akan selalu menjadikan apa yang telah kita dapatkan dan abdikan akan menjadi barakah dan jaariyah kelak.

Ada banyak syair, pepatah, ayat Al – Quran dan hadits yang menjelaskan betapa pentingnya kita harus memaknai hormat terhadap guru – guru. Sejak kecil, sering kali diajarkan oleh siapapun yang menuntut untuk belajar dan mendidik sejak dini. Guru dan orang orang tua mana yang tidak mengajarkan untuk tidak menghormati guru – gurunya?

لَولاَ المُرَبِّي، لَمَّا عَرَفتُ رَبِّي

Tanpa seorang guru, maka aku tidak akan tahu siapa Tuhanku.

Baca Juga  Menyentuh Hati Siswa Dengan Cerita

Memang terlalu tinggi sekali untuk meraih hakikat Tuhan, apalagi seusia dini terasa sangat jauh sekali untuk memahami. Tapi, yakinlah bahwa semua bukanlah ha yang sangat instan. Setiap perjalanan dan fase yang kita lewati saat ini, bukanlah hanya sekedar setahun atau dua tahun. Bertahun – tahun hingga menanti senja, kita tidak akan pernah usai untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu, bukan hanya pada masa jenjang sekolah atau perkuliahan. Belajar di sekolah dasar, hanya 6 tahun. Begitu pula di tingkat menengah ke atas dan seterusnya. Menuntut ilmu di jenjang perkuliahan hanya sampai tingkat profesor. Tapi, menuntut ilmu seumur hidup tidak akan pernah ada batasnya. Akan ada banyak orang yang menjadi guru – guru, dan menuntun kita ke jalan menuju rabb-nya. Jika harus sesat di jalan, adalah tanda bahwa kita masih belum ta’dzim dan taat pada gurunya.

Dimanapun, kapanpun kita berada. Guru – guru kita tidak pernah mengajarkan keburukan kepada kita. Tidak ada guru yang mengajarkan untuk mencuri. Tidak ada guru yang mengajarkan untuk menipu, setiap guru selalu mengajarkan ilmu-nya yang bermanfaat, dan kelak berharap agar kita juga menjadi orang yang bermanfaat di masa yang akan datang. Maka, alangkah indah jika kita menghormati siapapun yang telah banyak menjadikan banyak hal yang belum kami tahu, menjadi tahu. Hal yang tidak kami mengerti, dan sekarang menjadi mengerti. Setiap dari kata – katanya adalah cinta. Kalimat dan nasehatnya adalah obat, kiasannya akan selalu menjadi wawasan.

Bukan seberapa besar nilai atau peringkat yang kita dapatkan. Tapi, inti dari seluruh perjalanan menuntut ilmu, adalah seberapa besar ridho-mu saat belajar dan ridho gurumu saat mengajar.

Tinggalkan Balasan