Oleh: Ali Adhim
Perdebatan mengenai izin pengelolaan tambang kembali mencuat setelah terbitnya PP Nomor 25 Tahun 2024 yang membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan untuk mendapatkan izin usaha pertambangan. Sebagian kalangan menyambut regulasi ini sebagai jalan baru pemerataan kesejahteraan, sementara yang lain menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan kerusakan lingkungan dan konflik kepentingan. Di tengah kegaduhan tersebut, menarik untuk menelaah kembali bagaimana para ulama terdahulu memandang persoalan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alam.
Dalam tradisi fikih, terdapat konsep al-mawāt, yakni tanah atau potensi alam yang belum dimanfaatkan. Banyak ulama menilai upaya mengelola dan menghidupkan lahan semacam itu sebagai tindakan bernilai ibadah sosial. Imam al-Mawardi, misalnya, menjelaskan bahwa siapa pun yang membuka lahan baru berhak atas lahan tersebut, baik dengan izin penguasa maupun tidak. Meski demikian, ulama lain seperti Imam Abu Hanifah menegaskan pentingnya izin otoritas demi mencegah sengketa dan memastikan aktivitas pengelolaan berjalan secara tertib. Prinsip ini menunjukkan bahwa membuka dan memakmurkan lahan merupakan kegiatan terpuji, tetapi tetap membutuhkan kerangka hukum yang jelas.
Imam Malik menambahkan perspektif yang sering kali luput dari pembahasan modern: masyarakat lokal memiliki kedudukan yang lebih utama dalam memanfaatkan lahan di wilayah mereka sendiri. Selain karena kedekatan terhadap wilayah tersebut, mereka juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Menurutnya, tata cara pembukaan lahan tidak harus diatur secara kaku dalam teks fikih, melainkan dapat mengikuti ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya pendekatan syariat dalam menyesuaikan diri dengan dinamika sosial.
Pandangan lain datang dari Imam al-Shan’ani, yang membedakan antara tanah makmur dan tanah al-mawāt. Tanah yang belum dimanfaatkan boleh dikelola oleh siapa pun yang mampu menghidupkannya. Ia menyebutkan berbagai bentuk usaha menghidupkan lahan—mulai dari membersihkan semak belukar, mengolah tanah, memasang pagar, hingga membuat parit untuk irigasi. Semua tindakan itu dipandang sebagai aktivitas ihyā’ al-ardh, namun pelaksanaannya tetap harus menyesuaikan dengan kebijakan dan norma lokal. Dalam hal ini, kembali terlihat bahwa syariat Islam memberi kelonggaran yang luas untuk masyarakat dalam menentukan standar etis dan prosedur teknis pengelolaan lahan.
Pandangan para ulama klasik tersebut memberi sejumlah pelajaran berharga bagi perdebatan tambang masa kini. Eksplorasi atau pemanfaatan alam tidak otomatis dilarang; justru dalam banyak literatur fikih, kegiatan tersebut merupakan bagian dari amanah manusia untuk memakmurkan bumi. Akan tetapi, Islam menolak segala bentuk eksploitasi yang berujung pada kerusakan. Karena itu, izin otoritas menjadi instrumen penting untuk memastikan adanya keadilan dan keteraturan. Selain itu, pandangan Imam Malik tentang hak masyarakat lokal sangat relevan dalam konteks modern, terutama ketika kita berbicara tentang lingkungan yang memiliki hubungan erat dengan kehidupan sosial masyarakat sekitar.
Kesimpulannya, fikih Islam memberi ruang bagi pengelolaan sumber daya alam, tetapi ruang tersebut tidak bebas nilai. Di dalamnya terkandung tuntutan tanggung jawab, keadilan, penghormatan terhadap masyarakat setempat, serta perhatian terhadap kelestarian lingkungan. Jika prinsip-prinsip tersebut dijadikan landasan, maka diskusi mengenai izin tambang dapat berkembang dari sekadar polemik menjadi dialog etis yang lebih matang, bijaksana, dan berakar pada tradisi keilmuan Islam yang kaya.

