Esai  

Sisi Gelap Pesantren “Abal-Abal” yang Harus Orang Tua Pahami Sebelum Memondokkan Anaknya di Sana!

Sisi Gelap Pesantren “Abal-Abal” yang Harus Orang Tua Pahami Sebelum Memondokkan Anaknya di Sana!
Gambar: Tempo Co

Oleh: Ali Adhim

Kita terbiasa menganggap pesantren sebagai tempat suci. Di sana, anak-anak lelaki dan perempuan belajar menghafal kitab, mendisiplinkan diri dalam kesederhanaan, dan meresapi makna iman yang tak hanya diucapkan, tapi dijalani. Kita membayangkan langgar dengan lantunan ayat-ayat suci, kamar-kamar kecil dengan kitab-kitab kuning, dan wajah-wajah santri yang tunduk dalam doa. Tapi kita lupa, di balik semua itu, ada sunyi yang mengerikan.

Ada yang tak terkatakan. Ada yang disembunyikan. Anak-anak yang datang untuk belajar agama justru menjadi korban dari mereka yang seharusnya membimbing. Pelecehan seksual di pesantren bukan sekadar peristiwa, tapi pengkhianatan. Ia melukai tubuh, menghancurkan jiwa, dan menodai kepercayaan. Dan yang lebih menyakitkan, sering kali para korban dipaksa diam—oleh sistem, oleh rasa takut, oleh rasa hormat yang dipelintir menjadi belenggu.

Di ruang-ruang yang gelap itu, kebenaran kehilangan suara. Sebab siapa yang berani berbicara akan dianggap durhaka, mencemarkan nama baik lembaga, atau lebih buruk, dianggap mengada-ada. Orang-orang tua lebih percaya pada kiai daripada anak-anak mereka sendiri. Masyarakat lebih khawatir dengan reputasi pesantren ketimbang penderitaan korban. Negara? Ia lamban, seperti biasa. Hukum? Ia bisa dibeli, seperti yang sering terjadi.

Pelecehan seksual di lingkungan pendidikan adalah kejahatan yang lebih besar dari sekadar tindakan asusila. Ia adalah kegagalan moral, kegagalan sistem, dan kegagalan kita sebagai manusia yang lebih memilih berpaling daripada berhadapan dengan luka. Ini bukan hanya soal pesantren, tapi juga tentang bagaimana kita sebagai bangsa memperlakukan yang lemah. Apakah kita akan terus menutup mata? Atau kita akan mulai mendengar dan bertindak?

Selain itu, orang tua sebaiknya lebih waspada dalam memilih pesantren untuk anak-anak mereka. Banyak pesantren abal-abal yang tidak memiliki sistem pengawasan dan keamanan yang baik, sehingga menjadi tempat subur bagi tindakan kekerasan dan pelecehan. Sebelum memutuskan, pastikan pesantren memiliki rekam jejak yang jelas, pengelolaan yang transparan, serta sistem perlindungan bagi santri. Jangan biarkan kepercayaan buta menjadi jebakan yang menghancurkan masa depan anak-anak kita.

Baca Juga  Gus Dur, Imlek, dan Toleransi

Karena sesungguhnya, diam adalah kejahatan lain.