Menghayati Perdebatan Gelar Gus dan Habib, Melacak Politik Majelis Sholawat

Menghayati Perdebatan Gelar Gus dan Habib, Melacak Politik Majelis Sholawat

Oleh: Ali Adhim

Di tengah semarak majelis sholawat yang kian menjamur di berbagai pelosok negeri, ada cerita-cerita kecil yang mengundang renungan panjang. Di lapangan desa, di ruang-ruang sempit masjid, atau di stadion-stadion megah, sholawat menjadi suara kolektif umat, mengangkat doa dan pujian kepada Rasulullah. Namun, di sela-sela lantunan itu, gema lain turut terdengar: perdebatan tentang gelar, legitimasi, dan agenda yang lebih dari sekadar spiritualitas.

Gelar “Gus” dan “Habib”—dua kata yang begitu sakral dalam tradisi Islam Indonesia—belakangan ini menjadi bahan diskusi yang hangat, bahkan kadang memanas. Apakah gelar-gelar itu masih menjadi simbol keilmuan dan garis keturunan suci, ataukah ia telah berubah menjadi label yang dilekatkan dengan tujuan lain, seperti pencitraan politik atau alat penggalangan massa?

Dalam kebudayaan Jawa, “Gus” sering kali dilekatkan pada putra kiai, simbol kehormatan yang menandakan keterikatan dengan ilmu agama dan tanggung jawab moral terhadap umat. Di sisi lain, gelar “Habib” merujuk pada keturunan Rasulullah, yang secara tradisional dihormati karena garis nasabnya. Namun, di era modern, keduanya tak lagi semata-mata dipahami sebagai atribut spiritual.

Pertanyaan muncul: apakah semua “Gus” adalah pewaris kebijaksanaan para kiai? Apakah setiap “Habib” benar-benar menjadi cermin akhlak Nabi? Ataukah gelar-gelar itu mulai terjebak dalam narasi lain, yang lebih dekat dengan ambisi duniawi?

Max Weber pernah berkata, “The charisma of a leader can sometimes transform into a mere tool of authority, no longer rooted in its original sacredness.” Dalam konteks ini, gelar-gelar tersebut tak jarang digunakan untuk membangun legitimasi politik. Gus dan Habib di atas panggung sholawat bukan lagi sekadar pemimpin spiritual; mereka juga menjadi aktor dalam panggung sosial yang lebih luas, di mana pengaruh dan dukungan massa menjadi mata uang yang tak ternilai.

Baca Juga  Gelar Gus yang Diperdebatkan dan Politik Sholawat

Di majelis-majelis besar, lantunan sholawat sering kali diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai yang tak kalah meriah dengan kampanye politik. Ada pidato-pidato berapi-api, ada selebrasi yang mewah, dan ada pesan-pesan yang, meski berselimut keagamaan, menyimpan agenda-agenda lain.

Hal ini membawa kita pada refleksi yang lebih dalam: apakah agama masih menjadi fondasi moral, ataukah ia telah menjadi instrumen bagi kekuasaan? Al-Ghazali, ulama besar dari Timur, pernah mengingatkan, “Religion and power are twins; religion is the foundation, and power is its protector.” Namun, ketika kekuasaan mulai mendikte agama, relasi ini berubah menjadi sesuatu yang rapuh, bahkan berbahaya.

Kekuasaan yang tidak lagi berbicara melalui senjata atau undang-undang, tetapi melalui nada dan syair, melalui doa dan mimbar. Dan di tengah itu semua, kita sebagai masyarakat harus tetap waspada. Karena kekuasaan, seperti cahaya, bisa menyilaukan. Dan dalam silau itu, kita sering lupa bahwa bayangan panjang yang terbentuk di belakangnya adalah milik kita sendiri.

Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran dalam membentuk realitas ini. Gelar-gelar seperti Gus dan Habib menjadi magnet bagi massa, yang sering kali melihatnya sebagai simbol otoritas yang tak terbantahkan. Dalam sebuah pengajian, misalnya, kehadiran seorang Gus atau Habib tidak hanya mengundang rasa hormat, tetapi juga ekspektasi. Mereka diharapkan menjadi pemimpin yang tak hanya memimpin doa, tetapi juga memberikan solusi bagi problem sosial, ekonomi, dan bahkan politik.

Namun, seperti yang dikatakan John Locke, “The Church must remain distinct from the affairs of the commonwealth; otherwise, the sacred will be diluted by the profane.” Ketika batas-batas ini dilanggar, agama kehilangan kesuciannya, dan politik kehilangan prinsipnya.

Baca Juga  Kisah Politik dan Diplomasi Imam Syafi’i di Pemerintahan Najran

Di tengah masyarakat yang semakin cair, di mana batas antara spiritualitas dan kekuasaan makin sulit dibedakan, muncul ironi yang tak terhindarkan. Sholawat yang semestinya menjadi medium spiritual kini menjadi alat mobilisasi. Gus dan Habib yang sejatinya adalah panutan moral, terkadang tak luput dari tarikan kepentingan duniawi.

Tetapi, apakah ini berarti kita harus kehilangan kepercayaan? Tentu tidak. Mungkin yang perlu dilakukan adalah mengembalikan makna gelar-gelar ini pada akarnya. Bahwa Gus adalah penjaga ilmu dan akhlak. Bahwa Habib adalah penerus cinta Rasul. Dan bahwa sholawat adalah doa, bukan alat.

Langit mungkin tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Tetapi di sela lantunan sholawat yang terus menggema, ada harapan bahwa kesucian tidak sepenuhnya hilang. Bahwa di tengah hiruk-pikuk politik dan ambisi, agama tetap bisa menjadi jalan pulang. Wallahu A’lam.