Dalam setiap zaman, sasaran yang tepat untuk melakukan perubahan tentu cukup jelas: anak muda. Sebab anak muda lah yang nisbi beririsan kuat dengan yang namanya produktivitas.
Mungkin dari sana kita juga bisa mengingat kutipan perkataan Bung Karno yang cukup populer di telinga kita, “Beri Aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Dan beri aku 10 Pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.”
Berdasar hal itu, sebaiknya terlebih dahulu kita sepakati bersama, bahwa arah perubahan ke depannya salah satunya ditentukan oleh apa yang sedang membumi di kalangan anak muda.
Saat ini, yang membumi di kalangan anak muda adalah media sosial. Dalam fluktuasi tren tertentu, yang cenderung mendominasi anak muda (menurut pengamatan saya) adalah Tiktok. Selanjutnya baru Youtube dkk (Instagram, Twitter, Facebook, dst). Alasannya sederhana: di dalam Youtube ada konten Tiktok, begitu juga di menu eksplorasi Instagram, bahkan story Whatsapp!
Anak muda kini sudah terbiasa dengan Tiktok. Untuk para kreator, mereka bisa mendapat penghasilan dari sana. Untuk para pengguna, mereka bisa belajar dengan lebih simpel dari Tiktok, yang durasi setiap kontennya tidak begitu lama. Ya, anak-anak muda mungkin merasa bisa melakukan banyak hal di sana, mulai dari mengekspresikan diri dengan mencoba gerakan tari yang sedang tren, sampai mencari tahu pengetahuan tertentu dengan isi konten yang langsung pada pointers pembahasan.
Fenomena semacam itu tentu unik. Terutama sebab oleh sebagian kalangan tertentu ada yang menganggapnya positif, dan ada juga yang menganggapnya negatif.
Terlepas dari perdebatan aspek positif dan negatif tersebut, yang lebih penting menurut saya, adalah masih adakah ruang untuk sholawat dan dzikir bagi anak muda? Terutama agar membumi, menjadi kebiasaan, sebagai mana anak muda yang “ngamalke” Tiktok tersebut, sehingga turut mampu menyelinap sebagai salah satu faktor penting yang menentukan perubahan ke depannya.
Jawabannya adalah masih, meskipun ruang itu tidak sebesar ruang-ruang budaya pop lainnya. Tetapi tetap saja, masih ada.
Rumusan strateginya mungkin kira-kira begini: Tiktok memang membumi bagi anak muda, tetapi sebenarnya ia masih pada tataran online. Maka, ruang offline tentu masih tersisa, entah berukuran sempit maupun cukup luas. Nah, di sanalah kita bisa sedikit “bermain-main” untuk mengisinya dengan tema dzikir dan sholawat. Persoalannya hanya pada bagaimana agar tema itu bisa membumi.
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah apa manfaatnya. Tidak bisa dipungkiri, cakrawala anak muda sedikit banyak beririsan dengan sesuatu yang pragmatik. Jika tidak ada manfaatnya, daya tariknya, keuntungannya, atau apapun namanya, buat apa susah-susah dilakukan?
Maka, manfaat itu tentu juga harus bersifat membumi.
Jika di Tiktok, manfaat yang didapat bagi penggunanya adalah pengetahuan yang lebih cepat didapat —sebab serupa pointer-pointer, pokok-pokok yang dibahas tanpa muter-muter dengan penjelasan yang belibet— maka, di sisi lain, dzikir dan sholawat juga punya manfaat, yaitu Berkah.
Secara singkat, berkah adalah bertambahnya kebaikan. Orang yang mendapat berkah akan bertambah kebaikannya. Entah ia merasa lega hatinya, merasa bahagia, atau barangkali bisa terbersit untuk melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi bagi sekitarnya.
Jadi, sebisa mungkin kita menanamkan sekaligus belajar bersama kepada generasi anak muda, bahwa berkah adalah sesuatu yang amat penting untuk dicari.
Berkah hanyalah salah satu output dari mengamalkan dzikir dan sholawat. Dalam prosesnya, yang lebih penting sebenarnya adalah dengan mengamalkan dzikir dan sholawat, kita telah melibatkan Allah swt. dan Nabi saw. dalam aktivitas kita.
Melibatkan Allah dan Nabi saw. sebenarnya tidak perlu muluk-muluk secara mendalam dan filosofis. Itu memang perlu, tetapi tidak urgent banget. Pemahaman mendalam dan filosofis seperti itu tentu berada di tingkatan yang berbeda, seperti yang dilakukan para wali dan mereka yang memutuskan diri berjalan di titian tali para sufi.
Untuk kita yang awam-awam ini, yang sederhana-sederhana saja. Misalnya bisa dengan mendremimilkan (baca: membaca dengan berulang-ulang) sholawat di setiap apapun yang kita kerjakan.
Atau bahkan sekadar meniatkan bismillah di setiap yang hendak kita kerjakan.
Dengan begitu, sedikit banyak, kita juga secara langsung maupun tidak langsung, akan berlatih untuk berpikiran positif. Misalnya, juru koki yang memasak sambil sholawatan, siapa tahu hasil masakanya akan memiliki berkah yang bermanfaat bagi yang menyicipi hidangannya.
Atau kalau anda seorang penulis, disambi saja menulis sambil sholawatan: siapa tahu tulisan anda akan menjadi solusi tersendiri bagi orang lain yang membacanya. Dalam titik pemahaman tertentu, Allah dan Kanjeng Nabi akan menyisipkan pesan-pesan tertentu melalui hati si penulis, lalu ditangkap melalui akal, dan “tidak sengaja” dituliskan dalam tulisannya entah pada bagian yang mana.
Jadi, selain berkah sebagai salah satu output dari membiasakan dzikir dan sholawat dalam kehidupan kita, output yang lainnya adalah mindset kita yang sedikit demi sedikit akan tertatah untuk tidak lagi berpusat pada hal-hal yang materialistis. Ini penting di era sekarang, yang rasa-rasanya semuanya nisbi berkiblat pada hal-hal materialistis.
Untuk korelasinya dengan situasi zaman yang semakin mengerucut pada “skill yang dibayar uang/keuntungan fisik” memang terdengar positif dan sangat kompatibel untuk dijadikan acuan. Tetapi, pada titik tertentu, misalnya pada titik jenuh —yang entah anda sudah mengalami atau belum— pertanyaannya akan sedikit berubah menjadi: apa memang benar begitu? Sepenuhnya harus berorientasi materialisme? Bukankah diri kita tidak hanya terdiri dari jasmaniyah saja, tetapi juga ada ruhaniyah? Jika jasmaniyyah butuh asupan makan sebagai energi untuk beraktivitas, bukankah ruhaniyah juga harusnya butuh asupan makan?
Ada sedikit cerita sederhana menurut saya pas untuk mengakhiri tulisan ini.
Seorang Kiai bercerita pada saya. Ada seorang teman beliau yang punya truk baru. Ia sowan dengan maksud agar Kiai berkenan membuatkan puisi yang hendak ia taruh di Bak Truk (bagian belakang truk yang biasa kita baca sambil senyum-senyum saat macet di jalan raya).
Sang Kiai justru bertanya, “Apa puisi yang bagus menurutmu saat ini? Coba tuliskan, nanti kita lihat bersama-sama.”
Si pemilik truk lantas menuliskan apa yang ada di pikirannya.
Kiai kemudian melihatnya, dan memutuskan bahwa itu saja yang ditaruh di Bak Truk. Hanya saja, beliau memberi pesan agar sebelum menuliskannya di Bak Truk nanti, minta berkah dari Allah dan Nabi saw. melalui sholawat atau dzikir apa saja yang ia bisa. Sang pemilik truk itu pun takdzim dan “sami’na wa atho’na”.
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, sang pemilik truk sowan kembali kepada Kiai. Intinya, ia berterima kasih kepada Kiai karena ia merasa senang dengan puisi di Bak Truknya.
Ia bercerita bahwa setelah disholawati, didzikiri, bahkan dihadrohi, ternyata saat hendak menempelkan puisinya di Bak Truk, ada beberapa kata yang “secara maksliwer” ingin ia ubah sedikit. Dan ia pun mengubahnya.
Hasilnya, menurut pengakuan sang pemilik truk itu, ia beberapa kali mendapat ucapan terima kasih di jalanan, saat ngetem, dari orang-orang baru yang melintas.
Ucapan terima kasih itu menjadi kian bermakna baginya terutama karena alasan-alasan yang menyertai ucapan terima kasih itu: “Inilah solusi yang pas bagi saya atas permasalahan rumit yang menerpa saya sekian lama”; atau “Kalimat itu sangat membuka pikiran saya”; “Hati saya merasa lega begitu saja saat membacanya”; sampai “Ternyata jawaban yang saya cari atas kebingungan seminggu ini datang melalui tulisan Bak Truk ini”. “Terima kasih, terima kasih banyak, Pak.”
Sang pemilik truk pun masih terharu dan bangga saat menceritakannya kepada Kiai. Ia tidak menyangka bisa berguna bagi orang banyak hanya karena satu puisinya yang berada di belakang truk itu.
“Fadzkuruunii adzkurkum.”
Maka, dzikirlah (ingatlah) kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.
Wallahu A’lam. []
(Abdurrahman Jtk, Santri Kalong)