Opini  

Manakah yang Menjadi Alat Politik: NU atau PKB?


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Oleh: Hilal Mulki Putra*

Melihat gejolak politik menuju tahun 2024 yang kini semakin memanas. Sebagai seorang mahasiswa yang juga pernah merasakan menjadi seorang santri dan sekarang mendapat kesempatan untuk berkuliah di kampus di bawah naungan Nahdlatul Ulama merasa sedih dengan renggangnya hubungan antara NU dan PKB.

Gus Yahya pernah mengatakan bahwa tidak ada partai yang dianak emaskan ataupun tidak bisa membuat NU sebagai alat politik kesemuanya adalah sama selama memberikan maslahat untuk umat.

Bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh KH. Yahya Cholil Staquf, salah seorang kyai dari Cirebon yakni KH. Imam Jazuli mengatakan bahwa setiap warga NU Kultural wajib ber-PKB dan Struktural ‘sakarepmu’.

Kata sakkarepmu menurut penulis mengandung makna yang berbeda jika diamati. Misal mungkin dalam pandangan Yai Jazuli sebagai bentuk ketidaksetujuan dalam benak Yai Yahya, namun berbeda jika hal ini ditanggapi secara berlebihan oleh para orang yang tidak ngerti maksud dan tujuan kata tersebut, bisa saja dapat dimengerti  sebagai bentuk pembangkangan, durhaka dan lain sebagainya terhadap struktural NU.

Entah maksudnya apa pastinya akan terdapat perbedaan, tetapi dalam tulisan yang ditulis oleh Yai Imam Jazuli yang berjudul NU Kultural Wajib Ber-PKB, NU Struktural “Sakkarepmu!”. Penulis menyimpulkan bahwasannya ini hanyalah sebagai pesan kepada pemangku struktural yang dirasa aneh kurangnya respon dukungan terhadap PKB sendiri.

Menurut Yai Jazuli  PKB adalah partai yang lahir dari rahim NU sebagai alat politik, hal ini juga sebagai jalan untuk memberikan jalan untuk kemaslahatan umat entah nantinya untuk pelestarian dan pengembangan pondok pesantren ataupun untuk kebaikan warga nadliyin lainnya.

Kultural dan Struktural

Sebenarnya renggangnya hubungan antara PBNU dan PKB adalah representasi kurang harmonisnya hubungan antara Ketua Umum PBNU Gus Yahya dengan Ketua Umum PKB Cak Imin. Ditenggarai salah satu sebabnya adalah sesaat Gus Muhaimin mengatakan pengaruh Gus Yahya tak mempengaruhi elektabilitas suara PKB, melainkan Gus Yahya lebih percaya gerakan akar rumput PKB.

Baca Juga  Saleh Beragama, Cerdas Bermedia

Sejauh pemahaman penulis, disatu sisi Gus Yahya juga mengatakan bahwa NU sekarang tidak boleh hanya dijadikan alat politik PKB, jikapun PKB ingin berpolitik lewat NU mak seharusnyalah PKB membuktikan dengan hal-hal yang membawa kemaslahatan untuk umat terlebih bukti lain untuk meyakinkan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.

Hal ini dalam pandangan penulis juga sebagai bentuk menghargai antar kader NU yang tersebar di partai-partai NU dan memiliki hak yang sama untuk didukung. Selain itu, pernyataaan Gus Muhaimin menurut saya juga sebagai bentuk kurang takdzimnya beliau terhadap Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU “soal kesepuhan tokoh”. Seharusnya manuver gerakan  politik Gus Muhaimin diselaraskan dengan politik santri terhadap Kyai.

Biasa memang perbedaan pandangan politik seseorang, apalagi kalua sudah menyangkut pandangan politik antara kyai dan santri. Seharusnya kalau sudah begini antar kedua belah pihak seharusnya menjalin silaturahim yang lebih intens, untuk menemukan jalan temu. Seperti yang dikatakan KH. Imam Jazuli di NU itu ada yang Namanya Jam’iyah dan jama’ah. Keduanya haruslah saling berpadu untuk menciptakan kekuatan politik, agama maupun sosial yang kuat.

Jika agama tak didukung kekuatan politik lantas mau ditaruh dimana kebijakan atas nama agama, seperti yang dikatakan Gus Baha, wong satu tanda tangan penutupan lokalisasi lebih ampuh daripada seribu fatwa dari ulama.

Kelanjutan

Tulisan dari KH. Imam Jazuli yang mengatakan bahwasannya pernyataan Gus Yahya tentang PKB baru-baru ini terkesan bijak namun kurang tepat. Memperingkas maksud dari Yai Jazuli ini mungkin mempertanyakan bagaiamana jika NU gak ber-PKB, karena PKB adalah partai politik yang lahir dari rahim NU.

Beliau mengutip Surat Tugas PBNU Nomor 925/A.II/03/6/1998 tanggal 27 Shofar 1419/22 Juni 1998. Maka kita akan mudah paham dan mengetahui alur berpikir para Kiai NU, kenapa jamiyah dan jamaah NU harus ber-PKB. Jamaah NU adalah sebutan lain dari warga NU, atau sering juga disebut dengan nahdliyin (orang NU). Sedangkan jam’iyah NU adalah organisasi NU dengan segenap struktur kepengurusannya, norma-norma yang mengaturnya, termasuk cita-cita, visi, dan idealismenya. (Disway.id, 2022)

Menurut Yai Jazuli surat tersebut jelas bahwa jamaah dan jamiah NU sudah seharusnya satu gerbong ber-PKB, dan tak ada alasan lain, bahwa struktural NU harus memisahkan diri dari PKB.

Tetapi setiap tahun pemikiran maupun gagasan dari para pemangku jabatan haruslah senantiasa diperbarui dan bukan hanya mengedepankan hasil musyawarrah terdahulu sehingga nantinya keputusan oleh para pemangku struktural di PBNU untuk dapat menyesuaikan terhadap situasi dan kondisi politik, sosial dan agama saat ini.

Namun adakalanya haruslah dipahami bahwasannya sikap Gus Yahya adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak ada gerakan pecah belah karena hal politis belaka di tubuh Nahdlatul Ulama. Kita tahu bahwa setiap mendekati tahun politik seperti sekarang ini banyak yang mengaku warga Nahdliyin untuk meraup suara.

Seharusnya para politikus entah senior ataupun junior hadir dari parta manapun jika memang dirasa telah memberikan maslahat dan dirasakan maslahatnya oleh umat tentunya akan mendapat suara dengan sendirinya. Senada juga harus membangun image diri dalam saat masa jabatan bukan malah hanya saat kampanye sebagai promosi diri belaka.

Kembali ke khittah

Jasa-jasa PKB yang nyata terhadap NU di antaranya, penetapan Hari Santri Nasional, Undang-Undang Pesantren, Dana Abadi Pesantren, dan anggota-anggota dewan PKB secara nasional iuran bulanan membantu operasional dan program NU struktural (PCNU-PWNU). Data ini penulis dapat dari tulisan KH. Imam Jazuli.

Kesemuanya adalah lewat jalan-jalan politik, terlebih lewat kursi dewan pimpinan dan anggota legislatif. Namun dengan adanya konflik ini seharusnya antar sesame ulama NU ataupun ulama dengan para politikus dari kalangan NU tak tenggelam terhadap perbedaan pandangan politik belaka.

Justru dengan semakin kreatifnya gagasan bukan berari harus ada perpecahan dalam hal dukungan. Dan seharusnya pula NU tak hanya melebarkan paradigma politiknya lewat PKB tetapi, juga harus lewat partai lain. Hal ini juga dapat sebagai upaya memperkuat kekuatan NU dalam posisi politik praktis walaupun tidak secara langsung.

Kedua, jikapun nantinya pelebaran dukungan tak hanya ditubuh PKB maka NU juga memikirkan hal yang demikian adalah sebagai dua belah pedang yang dapat bernilai positif dan negatif.

Namun semua konsekuensi tersebut haruslah diterapkan untuk berhasil ataupun gagal. Hal ini juga dapat diminimalisir dengan meminta pendaapat ulama sepuh. Jangan sampai hanya ngegeki gagasan sendiri menyebabkan kita akan terpisah dari ulama.

Bukankah ini sejalan dengan yang dikatakan KH. Imam Jazuli yaitu yafirruna minnal ulama artinya jauh dari ulama sehingga akan menyebabkan diangkatnya keberkahan dala diri kita karena berperilau demikian “yarfaullahu albarokata min kasbihim”. Wallahua’lam Bishawab

*Hilal Mulki Putra, Ketua 1 Bidang Kaderisasi PMII Rayon KH. Subuki Komisariat Trisula INISNU Temanggung.

 

Penulis: Hilal Mulki PutraEditor: Tim Dawuh Guru

Tinggalkan Balasan