Opini  

Saleh Beragama, Cerdas Bermedia

Oleh: Ali Mursyid Azisi

Sebagai pemeluk agama, tentu tidak asing dengan norma-norma beserta tata ketentuan larangan dan anjuran dalam kandungan nilainya. Terlebih dalam upaya mengkontekstualisasikan ajaran/kepercayaan yang bersifat abstrak menjadi serangkaian ibadah baik dalam bentuk hubungan sosial maupun spiritual. Oleh karenanya, berjalan sesuai rel ketentuan yang ditetapkan dalam agama menjadi dasar utama dalam rangka menerapkan dalam kehidupan bersosial.

Terlebih salah satu ciri manusia adalah bersifat dinamis, layaknya dari era tradisional menuju abad modern, demikian menunjukkan banyak perkembangan yang ditandai dengan adanya adaptasi dengan tuntutan dan kemajuan zaman. Begitu pun dalam sendi-sendi nilai agama, yang tidak jauh beda, bahwa perlu adanya kontekstualisasi ajaran (dari teks menuju konteks) pada era serba digital saat ini, dimana ditandai dengan berhubungan sosial tidak harus bertatap muka secara langsung.

Demikian menjadi tantangan tersendiri dalam upaya bersosial di media maya dengan melibatkan unsur etika beragama. Hingga saat ini, perkembangan teknologi pun menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih media sosial yang menjadi salah satu konsumsi pokok masyarakat modern. Dampaknya, kini interaksi antar individu maupun kelompok semakin mudah berpartisipasi, menciptakan isi, dan cepat, seperti saling tukar pesan di aplikasi-aplikasi yang mendukung komunikasi.

Nasrullah dalam menyatakan media sosial yaitu sebagai medium di internet yang bisa/memungkinkan penggunanya untuk mempresentasikan diri/berinteraksi, berbagi, bekerjasama, menjalin komunikasi yang nantinya membentuk ikatan sosial secara online/virtual. Begitupun pendapat Meike dan Young dalam mendefinisikan media sosial, menurutnya media sosial diartikan sebagai konvergensi antara komunikasi secara personal/individu yang dalam artiannya saling berbagi diantara mereka/to be share one-to-one.

Perkembangan selanjutnya bahwa media sosial sering mengalami dinamika yang sangat signifikan, dimana mereka memberikan banyak manfaat. Manfaat lain selain yang tercantum sebagaimana di paragraf sebelumnya yaitu kita bisa update segala aktivitas media sosial dan berita terkini, dan intinya adalah interaksi, baik dalam keadaan diketahui oleh banyak kalangan maupun tidak.

Baca Juga  Tradisi Talaman, Budaya Luhur Pesantren Nurul Islam Mojokerto

Namun demikian, dari sekian banyak manfaat yang pada dasarnya diciptakan untuk mempermudah komunikasi, menambah wawasan pengetahuan dan keilmuan, tidak dapat dipungkiri bahwa unsur negative layaknya hoax, ujaran kebencian, cacian, bahkan kajian-kajian negative pun tidak kalah mendominasi. Demikian seharusnya menjadi kesadaran bersama, bahwa dalam setiap ajaran agama mana pun tidak mengajarkan hal-hal negative yang menjadi sumbu keterbelahan antar makhluk sosial.

Dengan adanya permasalahan ini, perlu kiranya meminjam pernyataan dari Nasrullah sebelumnya, bahwa inti dari bermedia sosial adalah membentuk ikatan sosial secara virtual. Istilah sosial di sini bagitu erat kaitannya dengan unsur agama, bagaimana agama diciptakan pada dasarnya untuk mengontrol hubungan sosial. Dengan begitu perlu adanya etika dalam mengoperasikan dan ikut andil dalam proses dinamika perkembangan unsur positif.

“Saleh Beragama” lalu diikuti “Cerdas Bermedia”, merupakan serangkaian istilah yang dapat dijadikan dasar dalam upaya mengkontekstualisasikan nilai-nilai agama di media sosial. Pertama, agama memiliki peran sentral dalam upaya memperbaiki adab/tata krama/akhlak. Kedua, agama berperan mengontrol kehidupan pengikutnya dari kehancuran dan keburukan yang ditandai dengan adanya syariat. Ketiga, agama sejatinya menjadi jalan dalam upaya menjumpai Dzat Yang Tinggi.

Keempat, ilmu merupakan cahaya dan kemanfaatan untuk sesama merupakan tujuan utama. Oleh karenanya, istilah “Saleh Beragama” di sini saya posisikan sebagai salah satu bentuk ketaatan terhadap norma dan aturan agama. Dengan kata lain, menjaga hubungan keharmonisan antar manusia di muka bumi. Lalu apa kaitannya dengan media sosial sebagai konsumsi public masyarakat modern?. Sebuah keniscayaan bahwa kedinamisan hidup, adaptatif, dan mampu berperan di tengah masyarakat, menjadi tantangan tersendiri terlebih di dunia maya.

Sebagaimana fungsi agama tidak hanya soal hafalan dan ibadah semata, namun kesalehan dalam berhubungan sosial pun menjadi aspek penting yang niscaya untuk dihindari. Oleh kareannya bermedia sosial pun butuh modal dalam mengendalikan setiap ketikan jari, terlebih kepahaman sejatinya beragama. Sebagai makhluk yang beragama, kita dituntut untuk senantiasa patuh terhadap ketetapan-ketetapan yang ditentukan. Saleh di sini orientasinya tidak hanya saleh, ritual dan spiritual, akan tetapi saleh sosial pun merupakan tujuan utama beragama.

Baca Juga  Langkah Menulis Biografi dengan Gampang Dilengkapi Contohnya

Aspek istilah kedua “Cerdas Bermedia” di sini berorientasi pada bagaimana kita bijak dalam mengendalikan media sosial sesuai norma-norma yang berlaku dalam agama. Pertama, kita dituntut untuk saleh beragama (ritual-spiritual). Kedua, dituntut pula cerdas dalam menjalin hubungan dengan manusia lain (sosial) yang kini berorientasi pada ranah media sosial sebagai wadah komunikasi dan bertukar informasi.

Poin-poin penting yang perlu diperhatikan dalam bermedia sosial diantaranya: a). Jadikan media sosial sebagai ladang dalam menebar kebaikan. Isi dengan hal-hal positif yang ditujukan untuk kemanfaatan sesuai batasan-batasan agama. Ibarat pepatah mengatakan apa yang kita tanam, maka buahnya akan kita petik. b). Wajib tabayyun atau verifikasi terlebih dahulu kebenarannya sebelum menyebar suatu berita. Demikian hingga dewasa ini masih marak terjadi, dimana suatu berita/fenomena tidak ditelurusi kebenarannya terlebih dahulu, sehingga memunculkan kebohongan publik, bahkan dampaknya akan menciptakan pembodohan dan kehancuran.

c). Santun dalam berpendapat/berkomunikasi (adab). d). Tidak memfitnah golongan tertentu maupun individu, karena demikian akan menjadi penyebab permusuhan antar sesame agama maupun lintas agama. e). Tidak melanggar ketentuan Undang-Undang dan agama dalam bermedia sosial. Lima poin tersebut merupakan pedoman dan harus disadari secara seksama, bahwa agama sejatinya menjadi patokan utama dalam menjalin keharmonisan bersosial dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun.

Oleh karenanya, hal demikian tidak hanya berlaku bagi agama tertentu, namun etika tersebut ditanamkan dan disahkan dalam agama manapun, bahwa untus kebaikan adalah hal utama yang patut dihidupsuburkan. Dengan kata lain, selain saleh beragama (ritual, spiritual), namun juga dituntut untuk cerdas (mampu membedakan hal baik-buruk) dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia yang di sini berorientasi pada ranah media maya sebagai wadah baru dalam berkomunikasi (sosial).

Baca Juga  Pesantren Bukan Tempat Karantina

Penulis adalah Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, kader Pelajar NU.

 

Tinggalkan Balasan