Opini  

Ibu dan Karakter Anak yang Loman


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Oleh: Mambaul Athiyah

Beberapa hari lalu sebagai salah satu wakil guru saya disuruh ikutan webinar tentang moderasi beragama. Dalam benak saya cuma satu. Terlalu percaya diri dengan diri saya sendiri yang sudah moderat, nyatanya ada tanggung jawab besar di pundak untuk mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak kita. Balik kepada jargon ala iklan, kalau bukan kita lalu siapa lagi?

Hmm. Benar. Hati ini begitu pahit saat mendengar seorang murid dari kalangan ormas yang memilih membolos pada hari Sabtu karena ada upacara dan harus menghormati bendera. Alamak, sampai hampir saja tegang urat saraf karena menasehati anak usia sekolah dasar itu dengan bahasa yang sederhana tentang menghormati bendera, bahwa dengan hormat bendera bukan berarti kita menyembahnya.

Sampai di sini, paham, kan? Karena doktrin sang Ibu di dalam rumah sangat masif, maka doktrin kita ini mental dan ambyar. Rasanya, ingin kuberlari ke hutan lalu berteriak tapi toh tidak akan muncul solusi. Bikin emosi saja.

Poin di atas menyiratkan bahwa ibu dan ibu adalah pembisik pertama karakter anak kita untuk dapat menjadi seperti apa di masa depannya. Tentunya, ini bukan hanya satu-satunya faktor. Ada banyak yang mempengaruhi sang anak saat tumbuh dan berkembang.

Namun, kita bicara pada titik ibu sebagai sebuah pondasi. Al Madrosatul Ulaa. Pengajar segalanya.

Satu poin lagi kita buka pembicaraan tentang loman atau sikap suka memberi, welas asih, dan ramah. Ada dua arti saat seseorang dibilang loman. Satu, royal dalam artian selama dia memiliki maka apapun akan diberikan demi kepuasannya memberi, ada yang kedua mengatakan bahwa dia pencitraan, karena diada-adakan, atau karena demi niat pencapaian sesuatu.

Baca Juga  Menulis, Tradisi Intelektual Santri

Kedua hal ini jelas memberikan stigma pada yang namanya Loman itu tadi. Mau negatif atau positif, jelas kembali kepada yang melakukan sikap itu tadi, kan? Jangan sampai niat baik kita mengajarkan kepada anak-anak menjadi mentah dan mental (terlempar) karena ulah nyinyiran segelintir orang.

Semasa nyantri dulu, Bunyai saya Ibu Muhassonah Iskandar, ibunda Gus Muhaimin Iskandar sering mengatakan bahwa, bagaimanapun karakter anak maka ibulah yang bertanggung jawab. Sebelum diajarkan kebaikan lainnya ajarkanlah tentang loman ini kepadanya karena loman tidak sekedar suka memberi barang tetapi juga welas asih. Loman dalam memberikan maaf dan memperluas kesabaran.

Loman di sini juga bermakna mau mendengar keresahan orang lain, menyediakan waktunya untuk memberikan yang terbaik kepada orang lain dengan tidak mengorbankan kebahagiaan sendiri, tentu saja.

Nah, dawuh Bunyai ini jelas saya catat dalam ingatan, saya genggam baik-baik dengan memberikan penegasan pada diri sendiri bahwa bersikap loman itu juga berarti memberikan kasih sayang, ketulusan, kepedulian kepada yang lain di mana pada era sekarang hal-hal yang demikian ini sudah sangat jarang kita temui.

Termasuk, memberikan pengajaran kepada anak-anak kita untuk loman dalam memberikan apresiasi kepada siapapun yang sudah berbuat baik. Memberikan sekedar jempol teracung, kata-kata ucapan selamat, surat penghargaan atau memberikan pelukan kepada anak-anak kita sebagai bentuk dukungan yang tidak bisa diartikan lewat kata-kata.

Semua itu harus kita tekankan sebagai sebuah bentuk pengajaran gaya baru seorang ibu kepada anak-anaknya karena bersikap loman ini juga berarti dermawan, sementara kedermawanan akan menciptakan ketenangan pada mereka yang telah diberi. Untuk yang memberi bagaimana?

Bukankah Allah sudah berfirman bahwa : Siapapun yang bersyukur kepada-Ku maka akan aku tambahkan nikmat atas-Nya berkali-kali lipat. Sementara yang mengingkari nikmat-Ku akan mendapatkan siksa yang teramat pedih.

Baca Juga  Pesantren, Rumah yang Ramah bagi Disabilitas

Memberi juga merupakan ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan, anehnya tidak tambah mengurangi nikmat yang kita dapatkan melainkan semakin bertambah banyak.

So, mari kita menjadi Ibu, perempuan yang memberikan pengajaran kepada anak-anak kita bahwa memberi itu tidak sekedar mengasihkan sesuatu kepada yang lain, tetapi sekaligus memberikan diri kita sendiri sebuah penghormatan untuk mendapatkan nikmat yang lebih banyak dari Tuhan.

Semangat.

*Mambaul Athiyah adalah Peserta kelas opini yang diampu Gus Ali bareng Ning Mila

Tinggalkan Balasan