Opini  

Gus Miftah dan Kenangan Indah Menjadi Tukang Becak

Gus Miftah Dawuh Guru

“Orang baik pasti punya masa lalu, dan orang jelekpun masih punya masa depan.” –Gus Miftah

***

Oleh: Ali Adhim*

Menjadi seorang anak Kiai di Lampung, tak membuat Gus Miftah menjadi pemuda yang manja dan bermewah-mewahan. Kurang lebih 19 tahun yang lalu, Pria kelahiran Lampung, 5 Agustus 1981 itu besar di Jawa. Ia tinggal di Yogyakarta. Miftah Maulana Habiburrohman alias Gus Miftah ini memiliki jalan hidupnya sebagai penceramah agama. Dahulu, di dataran Yogyakarta, di atas aspal yang hitam dan panjang, sesekali aspal itu terlihat seperti luapan air mendidih yang mengeluarkan asap putih pekat, terkadang di atas lapangan yang terbentang luas, melewati lika-liku lalulintas yang padat, dengan  sebuah becak yang ringkih, ia mengayuh dengan sepenuh hati.

Kesadarannya sebagai seorang mahasiswa di tanah rantau, membuat kemandiriannya benar-benar dipertanyakan, “apakah sebesar ini saya akan menjadi beban bagi orang tua saya? Sementara orang tua saya di rumah, tidak hanya memikirkan hidup saya?” pertanyaan seperti itulah yang selalu menghantui perasaan Gus Mifta ketika mengayuh becaknya. Ada rasa haus, ada rasa lelah, juga ada harapan yang besar, terbayang di hadapan mata.

Semua itu Gus Miftah lakukan karena beliau tidak ingin menjadi mahasiswa yang hanya bisa berteriak lantang di hadapan gedung pemerintah, “Turunkan harga BBM, turunkan pajak, jangan siksa rakrat, jangan ciderai petani, sayangi nelayan.” Tetapi di balik teriakannya ternyata tersimpan jiwa yang lemah, manakala transferan dari orang tua tidak segera sampai, ia menjadi amat cengeng dan lemah. Gus Miftah tak ingin menjadi mahasiswa yang lantang di hadapan publik, tetapi lemah di hadapan kedua orang tuanya.

Saat mengayuh becak, tak ada satupun penumpang yang mengetahui jati diri seorang Gus Miftah, bagi Gus Miftah, jabatan Gus bukanlah sesutau yang patut dibangga-banggakan. Siapakah Gus Miftah di kampus, bukanlah hal yang penting bagi penumpang becak, yang penumpang tau adalah ia sampai ke tujuan dengan selamat. Diam-diam, tukang becak yang masih muda itu adalah seorang mahasiswa jurusan Dakwah di IAIN Sunan Kalijaga yang kini sudah berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga.

Baca Juga  Tanggapan Gus Muwafiq Terhadap Pernyataan Ustadz Evie

Apa yang melatar belakangi Gus Mifah hingga rela melakukan pekerjaan keras itu? Seorang sahabat Gus Miftah yang bernama Saptuari Sugiharto, mengatakan dalam Bukunya yang berjudul “Catatan Indah Untuk Tuhan.” bahwa Gus Mifta menjadi tukang becak karena untuk menghemat.!

Dalam buku itu, Gus Miftah juga mengaku bahwa selama menjadi mahasiswa di Yogyakarta, ia tidak punya kos atau kontrakan. Di manakah Gus Miftah tidur dan istirahat? Masjid! Bayangkan, seorang putra kiai tidak punya kos-kosan! Begitulah kesederhanaan yang sudah tertanam sejak ia kecil.

Saat pagi hari, Gus Miftah pergi ke kampus, ia menghabiskan waktu siang hari untuk bekerja dengan becak dan tenaga yang ia miliki. Manakala matahari sudah sedikit redup, ia kembali lagi ke masjid untuk mengumandangkan adzan, sore sampai malam Gus Miftah jaga masjid, ia bersih-bersih masjid, nyapu, ngepel dan membersihkan rak-rak al-Qur’an yang ada di masjid itu. Semua itu dilakukan Gus Miftah dengan penuh ketulusan, sangat memprihatinkan memang, tetapi bagi Gus Miftah itu sah-sah saja, yang penting tidak dilarang Agama.

Gus Miftah adalah salah satu pemuda yang mempunyai kepribadian yang tangguh dan gigih, banyak di luar sana mahasiswa yang juga sama-sama ingin terlepas dari tanggung jawab orang tuanya. Menjadi mahasiswa di kampus negeri bukanlah jabatan yang remeh, apalagi Gus Miftah adalah seorang aktivis kampus. Meski demikian ia tak pernah minder ketika sedang jihad melawan kemalasan, karena Gus Miftah menyadari bahwa biaya kuliah tidak murah, ia harus menuntaskan kuliahnya dengan keringatnya sendiri.

Di suatu hari, ketika usia perkuliahannya sudah dua tahun, ia merasa lapar dan ingin membeli nasi bungkus “angkringan”, jangan tanya dari mana ia bisa beli nasi? Tentu uang itu adalah hasil dari bekerja sebagai seorang tukang becak. Dengan langkah gontai dan perasaan yang canggung, ia langkahkan kakinya menuju gang Sarkem (Pasar Kembang), dari kejauhan ia melihat ada Mushola yang terlihat kumuh dan sunyi, mendekatlah ia ke mushola itu, kakinya semakin dekat dengan mushola, disertai keringat dingin ia masuk ke mushola itu dan menyalakan lampunya.

Baca Juga  Pesantren Bukan Tempat Karantina

Berada di mushola itu seperti berada di ruangan yang angker dan tua, tetapi hal itu tak membuatnya takut, sejurus kemudian, ia mengambil wudhu dan melakukan Shalat Isyak seorang diri. Usai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba, ia beranjak pulang, di tengah perjalanan ia membagi-bagikan nasi bungkus itu kepada orang-orang yang ia temui.

Sejak saat itu, ia menjadi rutin melaksanakan shalat isyak sendirian di Mushola yang sunyi dan sepi itu, hingga pada suatu ketika, saat ia menghadap ke kiblat, ia merasakan ada sesutau yang lain, ia merasa ada makmum yang menirukan gerakan shalat yang ia lakukan. Segeralah ia keraskan bacaan al fatihah dan surat pendek dalam rakaat keduanya, hingga pada usai sholat, ia menoleh ke belakang, ia terkejut karena ada tiga perempuan yang menjadi makmum yang menangis tersedu-sedu, tiga perempuan itu adalah seorang PSK. Mengetahui air mata yang berjatuhan dari bola mata ketiga perempuan itu, Gus Mifta ikut menangis. Allah. Suasana pecah dan sangat mengharukan, air mata manusia yang rindu kepada tuhannya itupun menjadi saksi.

Ketika ada adzan dan adzan itu tak lagi didengarkan, tak ada seorangpun yang mendirikan shalat di Mushola Sarkem, ia rutin melakukan shalat tahajud tiap malam jum’ah, sampai pada malam ke tujuh, hingga dipertemukan dengan Gun Jack (Preman paling ditakuti di Yogyakarta waktu), ia juga sempat nyaris dilukai oleh preman itu, tetapi karena ia mempunyai kepandaian diplomasi yang baik, akhirnya preman itu justru malah mendukung aktifitas dakwah nya di mushola Sarkem. Sungguh Allah selalu memudakan jalan bagi hambanya yang taat, kemudahan itu dirasakan oleh Gus Mifta.

Seorang mahasiswa jurusan Dakwah tentu mempunyai naluri dakwah dalam dirinya, semenjak kejadian yang mengharukan itu, kemudian Gus Miftah mempunyai keyakinan bahwa “seburuk-buruk tempat harus ada kebaikan untuk mendatangkan keberkahan.” Karena berawal dari pepatah kuno “seburuk-buruknya tempat ada baiknya, sebaik-baiknya tempat pasti ada buruknya.”

Baca Juga  Sandal Lili Kiai Marzuki: Menguak Sisi Keteladanan KH. Marzuki Mustamar

Gus Miftah tak ingin air mata perempuan yang menangis ketika shalat berjamaah bersama ia itu jatuh sia-sia, ia kemudian memenuhi permintaan mereka untuk belajar mengaji. Ia tak ingin menjadi tuhan atas orang lain, ia tak ingin menghakimi orang lain karena pekerjaannya.

Di saat tak ada ustadz yang mau masuk di area Sarkem, justru ia berdakwah di sana. Dakwah itu ia mulai ketika melihat air mata seorang PSK, air mata yang jatuh dari mata seorang PSK bagi Gus Mifta adalah air mata yang paling berharga, ia berdakwah dengan caranya, dengan metodenya, metode dakwah yang diterima jamaahnya dengan penuh khidamat.[]

Tinggalkan Balasan