Memang tidak banyak orang Sidoarjo, Jawa Timur yang tahu ihwal Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi, selanjutnya disingkat sebagai Syekh Abdul Muhith. Selain karena beliau berkiprah dan menjulang jauh dari tanah kelahiran, tak heran, sumber informasi tentang beliau yang tersedia dan terjangkau mirip air di padang pasir.
Saya pun melacak ke beberapa sumber yang cukup terbatas itu, di antaranya dari tulisan Gus A. Ginanjar Sya’ban, kitab Syekh Yasin Al Padani, dan sumber cerita dari dzurriyah Pondok Pesantren Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo.
Dari situlah diketahui bahwa Syekh Abdul Muhith tercatat sebagai salah satu pengajar di Masjidil Haram Makkah sejak awal abad ke-20 Masehi. Guru beberapa ulama Indonesia termasuk KH Abdul Wahhab Hasbullah ketika rihlah ilmiah di Makkah. Mengajar beberapa kitab penting, bahkan babon, yang menjadi kitab daras di beberapa pesantren di Tanah Air. Beliau wafat dan dimakamkan di tanah suci Makkah pada 1384 Hijriah/1964 Masehi.
Dalam tulisannya, Gus Sya’ban sendiri membicarakan tentang tiga cucu Syekh Nawawi Banten berdasar tiga foto jadul, dari jalur trah Sidoarjo, yakni dari Syekh Abdul Muhith, karena Syekh Abdul Muhith adalah menantu Syekh Nawawi Al Bantani. Meskipun demikian, ada nukilan menarik terkait dengan sosok Syekh Abdul Muhith.
Berdasar kitab “Sejarah Perjuangan Kiai Abdul Wahhab (Hasbullah, red.)”, berbahasa Melayu, beraksara Pegon, karya KH Abdul Halim Leuwimunding, Gus Sya’ban menjelaskan ketika KH Abdul Halim Leuwimunding bersama-sama dengan senior-gurunya KH Abdul Wahhab Hasbullah (Tambak Beras, Jombang) berada di Makkah pada tahun 1913, keduanya belajar kepada Syekh Abdul Muhith.
“Jika demikian, Syekh Abdul Muhith berarti ‘menangi’ Syekh Abdul Hamid Kudus (w. 1916), Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916), Syekh Mahfuzh Tremas (w. 1920), Syaikh Mukhtar Bogor (w. 1930), dan ulama asal Nusantara lainnya yang mengajar di Makkah pada awal abad ke-20 M,” tegas Gus Sya’ban.
Bahkan, yang lebih menarik, biografi Syekh Abdul Muhith termuat dalam kitab berbahasa Arab berjudul “Natsr al-Jawâhir wa al-Durar fî Tarâjim ‘Ulamâ al-Qarn al-Râbi’ ‘Asyar” karangan Dr Yûsuf al-Mar’asylî. Selain itu, biografi Syekh Abdul Muhith juga terdapat dalam kitab “Tasynîf al-Asmâ’” karangan Syekh Mamdûh al-Mashrî.
“Beberapa ulama besar Nusantara banyak yang menjadi murid Syekh Abdul Muhith semasa mereka belajar di Makkah pada awal abad ke-20. Dalam dua kitab itu, Syekh Abdul Muhith bin Ya’qub disebutkan wafat pada tahun 1384 Hijriah atau 1964 Masehi,” tulis Gus Sya’ban.
Terkait dengan dzurriyah Syekh Abdul Muhith ada beberapa versi. Gus Sya’ban merunut dari foto tiga cucu Syekh Nawawi Banten dari jalur Syekh Abdul Muhith. Dijelaskan, Nyai Zahra, salah seorang putri Syekh Nawawi menikah dengan Syekh Abdul Muhith. Dari pernikahan tersebut, lahirlah empat orang putra, yaitu Ahmad bin Abdul Muhith, Abdurrahman bin Abdul Muhith, Shadaqah bin Abdul Muhith, dan Abdul Muntaqim bin Abdul Muhith. Adapun dalam foto, yang tidak ada hanya yang bungsu.
Gus Sya’ban menjelaskan, berdasar beberapa sumber, dzurriyah Syekh Abdul Muhith menyebar ke beberapa tempat. KH Ahmad bin Abdul Muhith pulang ke Surabaya, menjadi menantu KH Nur Fadhil (Sukolilo, Surabaya) sekaligus menjadi imam besar Masjid Sunan Ampel Surabaya. Ia kemudian pulang ke tempat asal leluhurnya di Pesantren Siwalanpanji Sidoarjo.
Syekh Abdurrahman menetap di Jeddah. Adapun Syekh Shadaqah menetap di Makkah dan menjadi pengajar di Madrasah Darul Ulum, Makkah. Syekh Abdurrahman dan Syekh Shadaqah ini menjadi warga negara Saudi Arabia hingga wafat.
Namun, ada pula versi yang berbeda. Sebuah sumber, Zumrotul Mukaffa menjelaskan bahwa memang Syekh Abdul Muhith memiliki empat putra, tetapi keempatnya lahir dari ibu yang berbeda. Pertama, KH Ahmad bin Abdul Muhith dari Nyai Zuhro, putri Syekh Nawawi Al Bantani. Nama sang istri Syekh Abdul Muhitt agak berbeda dengan versi sebelumnya, tetapi identik. Bukan Nyai Zahro, tetapi Nyai Zuhro. Hanya berbeda pada harakat awal.
Kedua, Abdurrahman bin Abdul Muhith dari Nyai Rabi’ah. Ketiga, Syekh Shadaqah bin Abdul Muhith dari Nyai Fatimah. Keempat, Abdul Muntaqim bin Abdul Muhith dari Nyai Ruqoyyah.
“Jadi cucu Syekh Nawawi atau putra Syekh Abdul Muhit dengan Nyai Zuhro hanya satu putra, yaitu KH Ahmad bin Abd Muhith saja. Data ini disampaikan dan ditulis langsung oleh putra Kiai Abdul Muhith yang keempat atau bungsu, Syekh Abdul Muntaqim yang sekarang (2018, red), masih hidup dan tinggal di Jeddah,” tulis sumber tersebut.
Di sisi lain, dari kitab Syekh Yasin Padang “Al ‘Aqdu al Farid min Jawahiri al Asanid” (1401 H) diketahui sanad atau transmisi keilmuan yang berpangkal pada Syekh Muhith ketika mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Sanad ini menarik karena salah satu guru Syekh Abdul Muhith adalah putra dari Kiai Sholeh Darat yang menetap di Makkah dan menjadi pengajar di sana, yaitu Syekh Umar Semarang bin Sholeh bin Umar.
Apalagi ternyata Syekh Umar juga bersanad pada ayahnya sendiri yang dikenal dengan KH Sholeh Darat, ketika beliau menjadi pengajar di Makkah, sebelum ‘dipaksa’ kembali ke tanah Jawa menjelang akhir abad ke-19.
Selain itu, Kiai Abdul Muhith juga tercatat berguru langsung kepada Syekh Mahfud At-Tarmasi atau Termas. O iya, dalam kitabnya tersebut, Syekh Yasin Padang kadang menyebut Syekh Abdul Mukhit dengan kiai, kadang dengan syekh.
Sementara itu, sanad kitab-kitab yang didapatkan Syekh Yasin Padang dari Syekh Abdul Muhith –meskipun Syekh Yasin Padang kadang juga mendapatkannya dari syekh lainnya— adalah sebagai berikut:
(1) “Al Jami’ as Shahih”, karya Imam Bukhari. Salah satu sanad Syekh Yasin Padang adalah dari ‘Allamah Kiai Abdul Muhith dari Kiai Umar bin Sholeh As Samarani, yang mendapatkannya di Makkah dari ayahnya Sholeh bin Umar As Samarani, mendapatkannya dari Syekh Abdus Shomad Al Falimbani.
(2) “Kitab as Sunan” karya Imam Abu Dawud. Salah satu sanad Syekh Yasin Padang adalah dari Kiai Abdul Muhith, dari muhaddits Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi Al Makki, dari Syekh Zaini Dahlan, seorang mufti Syafi’iyah di Makkah.
(3) “Muntaqa al Akhbar” karya Syekh Majdudin. Salah satu sanadnya, ia mendapatkannya dari Kiai Abdul Muhith dari Kiai Umar bin Sholeh As Samarani mendapatkannya di Makkah dari ayahnya, Syekh Sholeh As Samarani dari Syekh Abdus Shamad Al Falimbani.
(4) “Al Itqan fi Ulum al Quran wa Luba an Manqul fi Asbab an Nuzul”, karya Imam Suyuti. Syekh Yasin mendapatkannya dari Syekh Abdul Muhith, dari Umar bin Sholeh As Samarani, dari Syekh Qiroah Muhammad bin Musa, dari Syihab Abul Abbad, yang mendapatkan sanad dari dua tokoh, yaitu Muhammad Fadoli dan Ibrahim Bajuri.
(5) “Syarah ‘Aqoidun Nasfiyyah” karya Imam Sa’ad At Taftazani. Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith. Kiai Abdul Muhith mendapatkannya dari Kiai Muhammad Mahfudz At Tarmasyi, dari Syekh Zainuddin Badawi Assumbawi, dari Syekh Abdul Karim Sambas, dari Kiai Nawawi Al Bantani.
(6) “Lum’at al I’tiqad” karya Imam Muwafiq bin Qudamah. Salah satu sanad Syekh Yasin adalah dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya Abu Khoir Ahmad bin Utsman al ‘Athar Ahmadi Al Makki, dari Sayyid Hasyim Al Habsyi Al Madani.
(7) “Al-Um” karya Imam Syafi’i. Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari seorang fakih Kiai Umar bin Sholeh As Samarani, dari ayahnya di Makkah, yaitu Kiai Sholeh bin Umar, yang mendapatkannya dari Syekh Abu Shamad Al Falimbani.
- (8.) “Al Mukhtashor” karya Syekh Muzani. Sanadnya sama dengan “Al-Um”.
(8) “Al Muhadzdzab” karya Syekh Abu Ishaq as Syirazi. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Ahmad bin Abdul Latif Khotib Al Minakabawi.
(9) “Al Fath al Aziz Syarah al Wajir” karya Imam Rofii. Sanadnya sama dengan “Al-Um”.
(10)“Al Minhajul Jumu’ Syarah Al Muhadzab wal Aidhakh” karya Imam Nawawi. Sanadnya sama dengan “Al Um”.
(11)“At Tahrir wal Minhaj” karya Imam Zaini Zakariya. Syekh Yasin mendapatkannya Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Kiai Mahfud At Tarmasi.
(12)“Al Muqoddimat Wal Hadromiyyah” karya Syekh Abdullah Ba Fadl. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Mahfud at Tarmasi.
(13)“Tawdih Alfiyah ibn Malik wa Mughn al Labib wal Kutub al A’arib”. Syekh Yasin mendatakannya dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Mahfud At Tarmasi.
(14)“Mutammimah al Jurumiyah”. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Muhith, yang mendapatkannya dari ‘Allamah Syekh Ahmad bin Abdul Latif Al Khatib Al Minankabawi, dari Syekh Nawani Al Bantani.
Saya kira cukup segitu saja. Jika diteruskan akan begitu panjang, seperti sepur tumpuk sembilan. Tentu saja, selain daftar tersebut, ada pula kitab-kitab lainnya, terutama beberapa kitab tasawuf yang sanad Syekh Yusuf Padang mengambil dari Kiai Abdul Muhith Panji As-Siduarjuwi.
Yang jelas, posisi Kiai Abdul Muhith sangat menarik dalam persilangan intelektual di kalangan ulama Nusantara di Makkah pada peralihan abad ke-19 ke awal abad ke-20. Sementara itu, yang belum tergali adalah karya-karya Kiai Muhith karena tradisi ulama Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram adalah menulis kitab. (*)