Syamsuddin as Sumatrani atau yang dikenal pula dengan nama Syamsuddin pasai. Beliau merupakan anak dari seorang ulama yang bernama Abdullah as Sumatrani.
Terkait kapan beliau lahir tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan beliau hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 dan berjaya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sedangkan kapan beliau wafat, rata-rata pakar bersepakat bahwa Syamsuddin as-Sumatrani wafat pada 1040 H/1630 M.
Dari sumber lain terkait kapan beliau wafat dapat dilihat dari karya al Raniri yang disebutkan sebagai berikut;
“Maka dititahkan sultan, orang kaya maharaja Sri maharaja dan orang kaya laksamana menyerang Malaka pada tatkala Hijrah 1038 tahun, tetapi tiadalah karena berbantah dua orang panglima itu. Pada ketika itulah segala orang Islam banyak mati Syahid. Syahdan pada masa itulah wafat Syeikh Syamsuddin ibn ‘Abdillah al Sumatrani pada malam dua belas hari bulan Rajab pada Hijrah 1039 tahun. Adalah Syeikh itu ‘alim pada segala Ilmu dan ialah yang termashyur pengetahuan-nya pada Ilmu Tasawuf dan beberapa kitab yang dita’lifkan-nya” (Abdul Aziz Dahlan, 1999: 17)
Menurut Syaikh ‘Abd Shomad, Syamsuddin Sumatrani bernama lengkap al ‘Arif Billah Syekh Syamsuddin ibn Abdullah as Sumatrani. Sumatrani sendiri adalah penisbahan nama kepada Samudera Pasai yang lebih dahulu terkemuka dari pada Banda Aceh pada abad ke 14 dan ke 15 Masehi dalam hal pengajaran dan pengembangan Islam.
Guru Beliau
Terkait data hidupnya secara detail seperti pada masa kanak kanak hingga menuntut Ilmu dari guru satu ke yang lainnya kurang di muat dalam lembaran sejarah. Namun beberapa sumber dikatakan bahwa Syamsuddin Sumatrani merupakan murid dari Syaikh Hamzah al Fansuri.
Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya dua karya tulis dari Syamsuddin As Sumatrani yang merupakan ulasan (Syarah) terhadap pengajaran Hamzah al Fansuri, dimana kedua karyanya tersebut ialah Syarah Ruba’i Hamzah al Fansuri dan Syarah syair ikan tongkol (Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf Nusantra, [Jakarta; Kencana, 2006], h. 86)
Sedangkan dalam sumber lain dikatakan bahwasanya kedua sufi ini memang pernah bertemu dan masing-masing tinggal di Aceh ketika kerajaan itu sedang membuka diri terhadap ajaran sufisme Wujudiyyah Ibnu Arabi (Poesponegoro, 2008).
Sebagai seorang sufi yang hidupnya pada masa pemerintahan Sultan Iskanda Muda, rupanya Syamsuddin As Sumatrani pada waktu itu memangku jabatan perdana menteri di kerajaan Aceh. Bahkan dianggap sebagai tokoh penting istana sekaligus penasehat raja.
Karya Beliau
Selain itu beliau juga aktif dalam dunia tulis menulis yang berkaitan dengan tasawuf sehingga karya karyanya cenderung tergolong pada karya sufistik. Dan diantara karya karyanya yakni:
- Jauhar al Haqaiq
- Kitab al Halaqah dan Nur Daqaiq
- Mir’at al Qulub
- Sirr al ‘Arifin
- Syarah Mir’at al Qulub
- Sirr al ‘Arifin
- Risalat al Wahhab
- Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri
Pemikiran dan Ajarannya
Adapun pokok pokok ajaran Syamsuddin Sumatrani ialah sebagai berikut:
Beliau mengejarkan bahwa Allah itu Esa adanya, Qadim dan Baqa. Suatu zat yang tidak membutuhkan ruang, waktu dan tempat dan mustahil untuk dapat dibayangkan kemiripannya dengan sesuatu apapun juga.
Beliau menggambarkan tentang penciptaan dari Dzat yang mutlak itu dengan melalui tahap tingkatan, mulai dari Ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam, dan alam insan.
Beliau berpendapat bahwa manusia seolah olah macam objek ketika Tuhan mendhahirkan sifatnya. Semua sifat sifat yang dimiliki oleh manusia ini hanyalah sekedar penggambaran dari sifar-sifat Tuhan dan tidak berarti bahwa sifat sifat Tuhan itu sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia.
Oleh karenanya sifat sifat itu adalah sifat Ma’ani bagi Allah (Hakikat yang terdalam dari sifat sifat Qudrat, iradat, ‘ilmu, sama’, bashar dan kalam) [Dr. Hj. Sri Mulyati, MA., Tasawuf Nusantra, (Jakarta; Kencana, 2006), h. 81]
Namun ajaran ajaran dari Syamsuddin Sumatrani dan Hamzah al Fansuri yang dikenal dengan paham Wujudiyyahnya ini kemudian dibasmi oleh kedatangan Syaikh Nuruddin ar Raniri yang pada waktu itu menjadi mufti kesultanann Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani.
Ajaran wujud: Martabat tujuh.
Ajaran wujud diterankan dalam martabat tujuh. Yang dimaksud dengan martabat tujuh ialah, ahadiya, wahda, wahidiya, alama al-arwah, alam al-amsal, alam al-ajsam dan alam al-insan. Ketiga martabat yang pertama, yaitu ahadiya, wahda dan wahidiya itu qadim lagi baka, artinya mereka sedia ada dan kekal. Keempat martbat yang lain itu muhdath, artinya baru diciptakan. Keempat martabat itu sebenarnya adalah bayang-bayang. Menurut Syamsuddin, bayang-bayang dan empunya bayang esa juga. Dengan kata-kata yang mudah dimengerti, Tuhan dan makhluk adalah satu. Makhluk atau insan adalah Tuhan. Sebenarnya martabat tujuh ini tidak lain daripada jalan kepada Tuhan.
Keesaan Wujud.
Kaum wujudiyah. misalnya Syamsuddin, memberi tafsiran lain kepada kalimat syahadat yang berbunyi: la ilaha illallah (tiada Tuhan melainkan Allah), yaitu tiada wujudku hanya wujud Allah. Syamsuddin menerangkan begini:
“Adapun artinya tiada wujudku ini hanya wujud Allah: artinya tiada wujudku ini, esa sendirinya hanya dengan kuasa Allah, karena wujudku ini hanya wujud wahmi jua, artinya: wujud menjadi tiada kuasa sendirinya, hanya menerima segala gelar-gelaran juga: tiada nyawa dan tiada tubuh kepada tilik segala arif, hanya dengan kuasa Allah juga. Adapun tubuh kita yang zahir ini, hanya seperti ombak, adapun tubuh kita yang batin ini, artinya nyawa kita, hanya seperti haluan. Adapun wujud Allah, artinya Allah swt itu, seperti laut yang maha dalam. Adapaun ombak dan haluan itu hukumnya laut juga.” (*)