Opini  

Benarkah Islam Membebankan Tugas Rumah Hanya Pada Perempuan?

Benarkah Islam Membebankan Tugas Rumah Hanya Pada Perempuan - dawuh guru
Ilustrasi: Cahaya Islam

Oleh: Mohammad Ulil Rosyad

(Mahasiswa S2 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta)

Islam kerap dituduh sebagai sumber terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, salah satunya isu ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut dengan ketidakadilan gender. Gender adalah jenis kelamin bentukan budaya dan adat istiadat, seperti laki-laki kuat, berani, cerdas, menguasai. Sedangkan perempuan itu lemah, lembut, terlalu terbawa perasaan, dll. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi perempuan. Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur, sumur, kasur), patriarki dan double burden (beban ganda), yang mana seorang pria memasrahkan urusan rumah kepada perempuan dan perempuan harus mencari kerja di luar untuk menghidupi keluarganya.[1] Hal ini sudah cukup menjadi tradisi di Indonesia. Apabila seorang suami terlihat menyapu halaman depan rumahnya, para tetangga dan bahkan mertua akan memarahi istrinya yang harusnya melayani suaminya dan tidak membiarkan ia menyapu rumah, karena itu bukan tugas suami.

Padahal peran perempuan semakin dibutuhkan dalam berbagai lini kehidupan, tidak hanya urusan rumah. Untuk itulah tulisan ini akan mengkaji lebih jauh tentang ”Relasi (Hubungan) Gender dalam Islam. Tulisan ini dikaji oleh penulis sebagai bentuk kepedulian atas pemahaman yang keliru sebagian kalangan dalam menanggapi isu gender yang menjadikan Islam dengan segenap ajarannya dikatakan sebagai biang kerok langgengnya budaya ketidakadilan gender. Melalui penelusuran referensi dengan mengumpulkan data kepustakaan untuk memperkuat data dalam tulisan ini khususnya tulisan dari para ulama.

Baca Juga  Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Filsafat Islam

Bisa kita lihat pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut, terkait bagaimana habit domestik yang ada pada Rasululllah Saw.

٦٧٦حدَّثنا ادَمُ قَالَ حدَّثنا شُعْبَةُ قَالَ حَدثنَا الحَكَمُ عنْ إبْرَاهِيمَ عنِ الأسْوَدِ قَالَ سَألْتُ عائِشَةَ مَا كانَ النبِيُّ ﷺ يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قالَتْ كانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أهْلِهِ فإذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إلَى الصَّلاَةِ

“Telah menceritakan padaku Adam: Berkata Syu’bah, berkata Hakam, dari Aswad, Bahwa dia bertanya kepada ‘Aisyha, “Apa yang biasa dilakukan Nabi Saw. di rumahnya?” Dia menjawab, “Dia biasa menyibukkan diri melayani keluarganya dan ketika tiba waktu salat dia akan melakukannya”. (HR. Bukhari: 676)

Dalam hadis di atas Rasulullah menunjukan bahwa Nabi Muhammad Saw. juga membantu pekerjaan domestik keluarganya dan bilamanan adzan berkumandang Nabi Muhammad berhenti dari pekerjaannya dan bergegas menuju Masjid. Dalam Syarah Bukhari “Umdat Al-Qari” pengulangan lafadz  كانَ يكُونُ menunjukkan makna istimrar (hal yang dilakukan berkalikali). Yang mana artinya Nabi Muhammad Saw. selalu membantu keluarganya dalam menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Para   ulama sendiri berbeda pendapat tentang kewajiban seorang istri mengurusi urusan rumah ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa khidmatul bait (mengurusi rumah) adalah kewajiban seorang wanita karena telah menjadi ‘urf sejak zaman Nabi. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq. Pendapat Kedua menyatakan bahwa khidmatul bait bukanlah kewajiban seorang  wanita  namun  merupakan  kesukarelaan  dan  salah  satu  dari  akhlak yang terpuji. Pendapat ini disampaikan oleh para ulama fiqh sepeti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Pendapat para  ‘ulama  fiqh ini  didukung  oleh  fakta  sejarah  yang  menunjukkan bahwa sejak masa Nabi Muhammad saw. telah ada adat yang  mengatur  wanita  untuk  bekerja  pada  ruang  domestik.  Diantara  riwayat-riwayat mengenai hal itu adalah: Sayyidah Fatimah ra. selama menikah dengan sayyidina Ali ra. selalu melaksanakan  pekerjaan  rumah,  termasuk  memasak  dan  menggiling  gandum.  Karena  beratnya  pekerjaan  tersebut  maka  beliau  mengadu  kepada  sayyidah  Aisyah  lalu  rasul  tidak  memberikan  Fatimah  seorang  budak  tetapi  mengajarkannya  tasbih.  Menurut  ulama,  ini  adalah  dalil  yang   menjelaskan   bahwa   mengurusi   urusan   domestik   merupakan   urusan istri yang mana menjadikan akhlak terpuji baginya.[2] Namun pakah tanggung jawab tersebut hanya pada istri?

Baca Juga  Eksistensi Awal Munculnya Pemikiran Teologi Dalam Dunia Islam

Riwayat  lain  menceritakan  bahwa  Asma  binti  Abu  Bakr  melayani  suaminya  dan  membantunya  dalam  mengerjakan  beberapa  pekerjaan  seperti  mengurusi  kuda  dan  lain-lain.  Asma’  merasa  berat  jika  harus  mengurusi kuda seorang diri maka ayahnya memberikan seorang budak untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumahnya.[3] Ketika menjadi khalifah, Sayyidina Umar ra. pernah menceritakan bahwa istrinya memasak untuk beliau, membuatkan roti, mencuci baju, dan  menyusui  anak,  padahal  itu  bukanlah  kewajiban  istrinya.  Dan  karena itu pula, sayyidina Umar menerima ketika diomeli oleh istrinya dan  menasehati  pria  yang  datang  kepada  beliau  untuk  melakukan  hal  yang sama.[4]

Riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa mengerjakan segala urusan domestik pada dasarnya bukanlah kewajiban seorang istri. Namun melakukan hal tersebut adalah bagian dari akhlak terpuji dan telah dicontohkan oleh para sahabat, istri Nabi, dan juga putrinya sendiri. Sehingga dapat ditarik kesimuplan kewajiban tanggung jawab rumah dalam Islam sendiri sangat menjungjung tinggi nilai kesetaraan, saling membantu antara istri dan suami. Sebagaimana contoh yang telah dipaparkan, Nabi Muhammad Saw. sendiri saling membantu urusan domestik dengan istrinya.

(و الله أعلم بصواب)

[1] Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, 72-75.

[2] Badruddin al-‘Aini, Umdatul Qari, Beirut: Dar Ihya al-Turast al-‘Araby, t.t. 20-21

[3] Abu al-Hasan Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-Turats al‘Arabi), vol IV 1717 nomor hadis 2182.

[4] Muhammad bin Umar Nawawi, Syarah Uqud al-Lujain, Indonesia: Dar Ihya alKutub al-‘Arabiyyah, 5.

Tinggalkan Balasan