Opini  

Aksara Pegon dan Pergumulan Bahasa Pesantren

Selain tradisi terpelajar, banyak ulama salaf yang juga memakai tulisan sebagai sarana dakwah. Tulisan menjadi wakil watak kosmopolitan Islam hingga agama ini bisa diterima di berbagai belahan pucuk dunia.

Praktik paling umum dari transfer ilmu agama di pesantren adalah ngaji Bandongan, dimana santri mendengarkan materi yang disampaikan kiai secara lisan lalu santri menulis penjelasan itu menggunakan aksara Arab Pegon.

Arab Pegon merupakan sarana menyampaikan ilmu agama dengan perantara tulis-menulis.

Secara definisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa Indonesia 2005), pegon diartikan dengan “aksara arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa; tulisan Arab yang tidak dengan tanda-tanda bunyi (diakritik); tulisan Arab gundul.” Arab Pegon juga biasa disebut sebagai Arab Pego atau Arab Jawi.

Menulis menggunakan aksara Arab Pegon memiliki tingkat kesulitan tersendiri karena aksara Arab Pegon ini unik. Ia merupakan perpaduan antara aksara Arab dengan beberapa huruf lokal yang bunyinya tidak ada dalam bahasa Arab, seperti huruf C (چ), E (اي), NY(پ), NG (ڠ), GA (ݢا).

Syarat utama untuk bisa menulis Aksara Pegon ialah melakukan pembiasaan dengan membaca teks-teks Arab untuk memudahkan dalam merekam bentuk huruf-huruf yang disampaikan kiai atau guru dengan menggunakan bahasa daerah.

Secara historis, dalam catatan jumhur sarjana muslim, Arab Pegon pertama kali muncul sekitar tahun 1400 M yang dirintis oleh RM. Rahmat atau yang karib disapa Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dentha Surabaya.

Pendapat lain menyebut bahwa penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada juga pendapat yang menyebut huruf Arab Pegon ini ditemukan oleh Imam Nawawi Al-Bantani.

Dalam perjalanannya, persebaran Arab Pegon juga diserap oleh komunitas muslim Melayu di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand Selatan, dan Brunei.

Baca Juga  Gus Iqdam: Inilah Amalan Untuk Menyembuhkan Penyakit dan Menaikkan Derajat

Santri, merupakan entitas yang sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Penjabaran makna kitab dengan menggunakan bahasa daerah di mana pesantren itu berada menunjukkan sikap keterbukaan pesantren sekaligus simbol toleransi yang penting.

Sebagai lapis pranata kebudayaan di Indonesia, Aksara Pegon lahir dari dominasi kedaerahan yang melentur sebagai unsur lokalitas yang mengkulminasi melalui intensitas pegumulan santri ketika bertukar wacana dalam obrolan-obrolan ringan di pesantren.

Iklim lintas budaya di pesantren ditambah intensitas pergumulan santri dengan berbagai bentuk teks mempengaruhi carap pandang sensitifitas santri dalam mengenali konstruksi kedaerahan tertentu untuk juga menjaga keragaman di pesantren.

Kepekaan bahasa kaum santri menegaskan tradisi lingua franca yang perlu dimaknai ulang. Santri yang belajar kita kuning dengan makna gandul: tulisan pegon menjadi tali pancang awal pergumulan kebahasaan di pesantren.

Santri adalah makhluk berbudaya.

Tinggalkan Balasan