Oleh: Abdul Majid Ramdhani
“Ah, betapa menyedihkannya merindumu sewaktu uang saku tinggal beberapa ribu.” keluh Ram.
Lara kekasihnya, sudah genap dua bulan berada di luar negeri. Tepatnya melanjutkan pendidikan dari keilmuan jurusan Sastra Bahasa di kampus yang berada di London. Ram sudah tau hal itu sejak masih sekampus dulu, Lara memang mengidam-idamkan melanjutkan dapat bersekolah di Kota Inggris, yang juga dikenal karena “rezim” Ratu Elizabeth yang telah menduduki tahta lebih dari 70 Tahun lamanya. Dan Inggris merupakan negara “Pelopor Revolusi Industri.”
“Ram, nanti kita foto dengan backgroundnya London Eye ya?” tandas Lara kepada Ram.
“Hmm, salah satu tempat romantis di London yang wajib kita kunjungi yang selalu ayang impikan, “London Eye” atau Mata London.” jawab Ram sekenanya dan menyalakan rokok.
“London Eye, yang juga sering disebut dengan nama The Eye dan Millennium Wheel, lokasinya berada di pinggiran Sungai Thames, London, Britania Raya.” jelas Ram sambil menyuapi Lara nasi goreng seafood kesukaannya.
“Kincir Ria disana, dirancang khusus oleh sepasang arsitek bernama David Marks dan Julia Barfield. Bisa jadi, itulah yang membuat London Eye (Mata London) menjadi romantis karena ada nilai-nilai historisnya.” tegas Ram lagi.
Ram kekasihnya memang gemar mempelajari sejarah dan membaca berbagai buku. Hal inilah yang membuat Lara jatuh cinta.
“Lelaki berparas menawan memang bisa menggoda perasaan setiap perempuan, tetapi buat aku. Isi kepalanya jauh lebih memesona jiwa” celetuk Lara lalu mengecup pipi Ram.
Sontak saja wajah Ram memerah, suasana cafe yang ramai di malam itu oleh pengunjung. Tentu kecupan Lara membuat Ram salah tingkah.
Kenangan itu kini menjadi gumpalan yang mengendapkan kerinduan di dalam pikiran Ram. Dua bulan hanya bertukar kabar melalui surel (e-mail) dan surat-surat singkat bergambar kota Inggris yang dikirimkan oleh Lara.
Kedua insan muda itu memiliki istilah sendiri untuk hubungan jarak jauhnya, “Ling eling Dijaga Rasa” LDR-nya versi mereka.
Dua sejoli itu sedari masih menjadi mahasiswa memang anti-mainstream terhadap segala trend yang sedang berlangsung. Bagi mereka, merubah gaya itu sama pentingnya dengan merubah isi kepala. Jadi, jangan hanya memikirkan penampilan tapi juga pemikiran.
Mereka tidak mau berkompromi dengan politik sama sekali. Orang boleh berbicara tentang apa saja, di sinilah terletak kekuatan cinta mereka atau sebaliknya itulah yang justru menjadi titik lemah bagi keduanya. Keduanya tidak tertarik dengan organisasi kemahasiswaan yang mana pun.
Kini Ram bekerja menjadi seorang jurnalis di perusahaan media ternama. Ram percaya bahwa penghasilannya yang tak seberapa itu mampu memberikan penghidupan dan kebahagiaan untuk Lara setelah kembali ke Indonesia.
Namun, kisah cintanya tak semulus jajanan cilok. Ada persoalan mengenai prinsip di keluarga besar Lara yang memang mayoritas sebagai politikus atau keluarganya “orang penting” di negeri bahari ini.
Ayah Lara yang seorang politikus tentu sangat tidak setuju dengan hubungan cintanya dengan Bara. Bara pemuda yang kerjanya serabutan dan hanya mengandalkan tulisan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya tentu tidak terlalu “menawarkan masa depan” yang menakjubkan. Namun Lara menerima, bahkan Lara percaya kalau Ram di kemudian hari akan menjadi seorang ahli dalam bidang literasi.
“Rama Kusumadewa… kekasihku, ksatria penjaga jiwaku” Lara biasa memanggil Ram begitu.
Malam dini hari itu di petakan kontrakannya, Ram kembali teringat dan seakan-akan mendengar suara Lara.
“Lara, jangan hanya engkau menghujani email-ku dengan pesan-pesan kerinduan yang singkat dan sekelebat. Tetapi hujani sanubari ini dengan senyuman khasmu yang dapat melumat segala penat”
“Lara, lihatlah dengan matamu yang bundar dan berpendar-pendar itu. Mata yang selalu memancarkan harapan dan ketulusan cinta. Kini aku telah diberi semacam “hidayah” yang dipenuhi oleh anugerah-Nya. Lima tahun lebih aku menanti, kini telah aku duduki kursi pemimpin redaksi.”
Sejak sebulan lalu, Ram mendapat mandat untuk menggantikan posisi pemimpin redaksi. Seluruh pegawai tahu perihal perubahan struktural tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan Ram harus menginap di kantor selama hampir seminggu di ruangan milik Bang Zai.
Ram paham bahwa jabatan ini akan membuat kehidupan Ali berubah 180 derajat.
Lewat kelihaiannya melakukan pendekatan dan negosiasi, Bang Zai percaya bahwa Ram sangat mampu menahkodai perusahaan media yang didirikan dengan mandiri oleh Bang Zai dan para sahabatnya sesama jurnalis senior.
“Ternyata benarlah dugaanku,” kata Ram kepada Kang Balad, OB kantor sambil menggelengkan kepalanya. Kang Balad office boy paling sepuh di antara karyawan OB lainnya yang gemar sekali minum bandrek itu merupakan satu-satunya yang dekat dengan Ram dan sudah bekerja sejak perusahan media ini berdiri pada 25 tahun silam.
“Dan salah satu tanda kebesaran Tuhan adalah diciptakannya makhluk bernama ‘oknum’ yang muncul secara ajaib dan tiba-tiba, untuk dapat menggantikan seseorang bila telah berbuat kesalahan besar dan kecurangan secara masif” celetuk Kang Balad sembari memberikan sekotak cerutu kepada Ram.
Ram tertawa terpingkal-pingkal sambil menyulutkan cerutu selepas ia mendengar apa yang dikatakan oleh Kang Balad.
“Kang Balad ini gaya bicaranya, sudah seperti pemuka agama saja” sahut Ram dengan nada bergurau. Kang Balad tertawa agak lantang. Ali kemudian memberi sedikit upah lebih agar Kang Balad membelikannya sarapan.
“Sekalian untuk rokoknya kang Balad ya” ujar Ram, sembari fokus menonton siaran berita di televisi. Nampak sekilas wajah ayah dari seniornya, Bang Zai itu nampak tertunduk dan menghindari sorotan blitz para pewarta.
Tak lama HP-nya berdering, Ram tahu panggilan telepon masuk itu dari salah seorang sahabatnya Kabita, yang juga bekerja sebagai jurnalis. Kabita memang sempat digosipkan dengan Ram.
Lantaran latar-belakang histori pendidikannya yang satu fakultas dengan Ram. Kabita, adalah mahasiswi yang memang telah lama naksir Ram. Namun Ram memilih Lara.
Kabita, wanita keturunan asli pasundan memang berparas menawan. Belum lagi Kabita juga anak dari seorang pengusaha kuliner yang terkenal di Kota Bandung.
Kebersamaan Ram dan Kabita memang begitu intens dan hangat, apalagi semasa keduanya masih mendapatkan tugas liputan bersama di Bandung.
Tak jarang rekan-rekan se-profesi sengaja menjodohkan keduanya. Karena menurut mereka Ram dan Kabita itu nge-klop.
“Woi, elu berdua kenapa ngga jadian aja sih?, cocok begitu. Seperti tutup botol ketemu botolnya” canda salah seorang rekan kerjanya.
Kabita tersipu malu, sedangkan Ram justru tertawa dan tak menghiraukannya. Bahkan sampai hari ini, Kabita masih mengenakan cincin berbahan rotan pemberian Ram.
“Bersikap santun lah, karena kita bukan lah apa yang kita ucapkan. Tetapi dari apa yang bisa kita lakukan” ucap Kabita waktu itu. Ram memang pernah berseteru hebat dan nyaris beradu jotos dengan salah satu koresponden dari perusahaan media lain.
“Bang Zai, aku harus bagaimana dengan segala drama berita ini?. Tayangan-tayangan pemberitaan di stasiun televisi telah membuatku tersekat dalam penat. Aku benci berita!!!” ujarnya dalam hati sambil menghapus air matanya sendiri.
Tetiba saja pintu ruangan ada yang mengetuk. Ram segera beranjak dari kursi dan membuka pintu.
“Boleh sarapan bareng pak pemred” seseorang berkata.
Ram terkejut bukan kepalang, tadinya ia menyangka dibalik pintu itu adalah Kang Balad. Rupa-rupanya yang datang Bang Zai bersama Kabita. Ram lagi-lagi meneteskan air matanya.
goan ngga boleh cengeng tau… !!!” canda Bang Zai.
Secangkir kopi yang dibuatnya sendiri membawakan lagi sebuah romantisme-idealisme usang yang terulang. Seperti menyisakan ingatan. Kadang keduanya terhubungkan dengan cara yang ajaib. Ram menanggapinya dengan wajah dingin tanpa perubahan ekspresi.
Ram gembira kalau Bang Zai tidak dikenakan pasal hukum yang mana pun.
“Karena ngga banyak yang tahu kalau Bang Zai, Pemred di kantornya itu merupakan anak dari seorang politisi senior partai besar yang sangat berpengaruh”
“Ram, lupakan semua kabar itu, kondisi ini pun tak berlangsung lama. Jangan pikirkan dulu tentang perkembangan pemberitaan. Kamu harus tetap fokus memimpin kantor kita” tegas Bang Zai di dalam ruang kerjanya, yang kini menjadi ruang kerja Ram. Sedangkan Kabita hanya memerhatikan Ram.
Lelaki yang selama ini membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Ram memang cuek tapi biar begitu Ram tidak bisa menyembunyikan rasa senang. Ia tersenyum kecil saat melihat cincin pemberiannya masih melingkar dijari manis Kabita.
Kabita memang cantik, belum lagi kecerdasannya. Lelaki muda mana yang tak klepek-klepek melihat paras dan lekuk tubuh Kabita yang proporsional. Idaman semua lelaki.
“Jatuh cinta boleh saja berkali-kali tetapi, memilih wanita untuk dijadikan pasangan hidup di masa depan memerlukan keistiqomahan.”
Kabita pun menutupi wajah cemburunya dibalik kacamata yang dikenakan. Dan menampilkan senyuman terbaiknya.
“Jodoh memang ngga ada yang tahu Bang, tapi meminta dijodohkan oleh Tuhan itu bukanlah permintaan yang main-main” jawab Ram sekenanya dan menyalakan rokok.
“Paham cinta dan Agama itu tak jauh berbeda Ram, semua membutuhkan penerimaan tanpa ada paksaan” tutup Bang Zai. Kabita sumringah setelah mendengar apa yang dikatakan Bang Zai.
Tangerang Selatan, 09 April 2022.
Abdul Majid Ramdhani, lahir di Jakarta, 05 Mei 1989. Penulis memiliki nama pena, Ramdhani Sastra Negara. Penulis merupakan lulusan dari Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan sempat melanjutkan kembali mondoknya di Pesantren Al-qur’an Syihabudin Bin Ma’mun, Caringin Banten. Bagi diri penulis yang sangat gemar minum kopi dan memotret ini, “Menulis itu bisa menjadikanmu lebih optimis, romantis dan humanis”.

