Silsilah dan Latar Belakang Keluarga KH Bisri Syansuri
Nama Lengkap: Muhammad Mustajab (kemudian dikenal sebagai Bisri Syansuri)
Tanggal Lahir: 18 September 1887 (28 Dzulhijjah 1304 H)
Tempat Lahir: Tayu Wetan, Pati, Jawa Tengah
Wafat: 25 April 1980
Kiai Bisri Syansuri lahir dari pasangan Syansuri Abdus Shomad dan Siti Rohmah (Mariah). Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara: Mas’ud, Sumiyati, Muhdi, dan Syafa’atun. Keluarganya memiliki tradisi keagamaan yang kuat dengan leluhur yang dikenal sebagai ulama besar, seperti KH Kholil Lasem dan KH Baidlowi Lasem.
Nama kecilnya adalah Muhammad Mustajab, namun setelah pulang dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Bisri Syansuri sebagai penghormatan kepada ayahnya dan mengikuti tradisi penamaan di kalangan pesantren.
Keluarga Bisri dikenal memiliki kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama. Ayahnya adalah seorang pedagang yang juga dihormati sebagai tokoh agama di desanya. Lingkungan keluarga yang agamis ini membentuk karakter Bisri sejak kecil dan membawanya meniti jalan sebagai seorang ulama besar. Hubungan keluarganya dengan jaringan pesantren tradisional di Jawa juga memberikan pengaruh besar dalam perkembangan intelektual dan spiritualnya.
Kehidupan Pribadi dan Keluarga KH Bisri Syansuri
Pada tahun 1914, Kiai Bisri menikah dengan Nyai Hj. Nur Khodijah. Mereka dikaruniai enam anak: Ahmad Athoillah, Muasshomah, Sholihah, Musyarofah, Muhammad Ali Ashab, Muhammad Shohib.
Kiai Bisri dikenal sebagai sosok yang penyayang dan mendidik keluarganya dengan nilai-nilai Islam yang kuat. Rumah tangganya menjadi cerminan keharmonisan dan keteladanan dalam kehidupan beragama. Anak-anaknya pun melanjutkan perjuangannya dalam dunia pendidikan dan keagamaan, menjadikan keluarganya sebagai simbol keilmuan dan moralitas di masyarakat.
Pendidikan dan Guru KH Bisri Syansuri
Kiai Bisri memulai pendidikan dasar agama dari ayahnya dan Kiai Sholeh Tayu, di mana ia mempelajari Al-Qur’an dan tajwid. Pada usia 15 tahun, ia melanjutkan belajar di berbagai pesantren: Pesantren Kasingan, Rembang dibawah bimbingan Kiai Kholil. Pesantren Sarang, Lasem belajar dengan KH Syu’aib. Pesantren Bangkalan, Madura mengaji kepada Syaikhona Kholil.
Pada tahun 1906, ia belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah KH Hasyim Asy’ari. Di sana, ia mendalami ilmu fikih, tauhid, hadis, dan sejarah. Rekan-rekannya di pesantren ini termasuk KH Abdul Wahab Hasbullah yang kelak menjadi tokoh NU.
Antara tahun 1911 dan 1912, Bisri melanjutkan pendidikan ke Mekkah selama tiga hingga empat tahun. Ia berguru pada ulama besar seperti: Syekh Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas
Peran di Nahdlatul Ulama
Pada tahun 1926, Kiai Bisri bersama KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Ia dikenal sebagai ahli fikih yang tangguh dan memainkan peran penting dalam merumuskan kebijakan keagamaan NU. Kontribusinya memperkuat tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah dan menjadikan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sebagai Rais Aam PBNU, Kiai Bisri menjadi motor penggerak dalam merumuskan kebijakan dan keputusan organisasi. Ia juga aktif dalam membangun jejaring dengan berbagai pesantren dan ulama di seluruh Indonesia untuk memperkuat posisi NU di masyarakat. Perannya tidak hanya terbatas pada lingkup nasional, tetapi juga menjangkau hubungan internasional dalam dunia Islam.
Warisan Keilmuan KH Bisri Syansuri
Kiai Bisri memiliki sanad keilmuan yang kuat melalui KH Hasyim Asy’ari, yang terhubung ke jaringan ulama dunia seperti Syekh Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad al-Ghunaimy, dan Syekh Zakaria al-Anshory. Hal ini memperkuat otoritasnya sebagai ulama yang berpengaruh.
Kiai Bisri juga dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis kitab-kitab fikih dan panduan ibadah. Karya-karyanya menjadi rujukan di pesantren-pesantren tradisional. Selain itu, ia aktif membina generasi muda melalui pendidikan di pesantren yang ia dirikan di Denanyar, Jombang.
Peninggalan pemikirannya mencakup kajian mendalam tentang fikih yang mengintegrasikan tradisi dan modernitas. Ia juga berkontribusi dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren yang menggabungkan ilmu agama dan keterampilan praktis.
Dialog dan Pandangan Keagamaan KH Bisri Syansuri
Kiai Bisri terkenal dengan sikapnya yang terbuka terhadap perbedaan pandangan. Ia sering berdialog dengan tokoh Muhammadiyah seperti Abdul Mu’ti terkait praktik keagamaan. Sikapnya yang moderat dan menghargai perbedaan menjadi teladan bagi umat Islam.
Dalam Kongres IV Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabaroh pada 1968, ia menegaskan pentingnya menjaga tujuan thariqah dari penyimpangan serta menertibkan guru-guru yang menyimpang. Pandangannya ini menegaskan komitmennya terhadap kemurnian ajaran Islam.
Wafat dan Peninggalan KH Bisri Syansuri
Kiai Bisri Syansuri wafat pada 25 April 1980 di Jombang, Jawa Timur, dan dimakamkan di kompleks Pesantren Denanyar. Prosesi pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat yang terdiri dari ulama, santri, dan masyarakat umum, menandakan besarnya pengaruh dan penghormatan kepada beliau.
Peninggalan Kiai Bisri meliputi Pesantren Denanyar sebagai pusat pendidikan Islam yang melahirkan generasi ulama dan cendekiawan. Kitab-kitab fikih yang menjadi rujukan dalam pendidikan pesantren di seluruh Indonesia. Organisasi NU melalui kontribusinya dalam memperkuat struktur dan kebijakan organisasi. Santri dan murid-murid yang melanjutkan ajaran dan gagasannya di berbagai bidang.
Warisan intelektual dan spiritualnya tetap relevan hingga saat ini, menjadi inspirasi dalam pengembangan pendidikan Islam dan pemikiran moderat di Indonesia. Kehidupan dan perjuangannya membentuk fondasi kuat bagi pesantren dan organisasi Islam modern.