Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Alḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alā Sayyidinā Muḥammadin wa ‘alā ālihi wa ṣaḥbihi ajma‘īn.
Dengan niat lillāhi ta‘ālā, demi menjaga keutuhan jam’iyah, marwah organisasi, dan ruh perjuangan Nahdlatul Ulama, kami para pemangku pesantren di Mlangi yang tergabung dalam Yayasan Nur Iman Mlangi telah mengkaji, membahsu, dan memandang perlu adanya keihlasan seluruh stakeholder NU untuk duduk bersama. Duduk dengan hati yang ditundukkan, pikiran yang jernih, dan niat yang ikhlas, guna membuka ruang resolusi bersama atas berbagai dinamika yang terjadi di antara para masyayikh, mustasyar, syuriah, tanfidziyah, serta ahlul hidmah di tubuh organisasi.
Kami meyakini sepenuhnya bahwa mustasyar, syuriah, dan tanfidziyah adalah satu kesatuan khidmah. Masing-masing memiliki maqām, fungsi, dan amanah yang luhur. Secara hakekat, tidak ada yang lebih tinggi untuk merasa paling benar, dan tidak ada yang lebih rendah untuk disisihkan, meskipun ada hierarki organisasi. Semuanya berjalan dalam satu barisan, li i‘lā’i kalimatillāh wa li ḥifẓi jam’iyyah.
Perbedaan pandangan, perbedaan ijtihad, bahkan perbedaan sikap adalah keniscayaan dalam organisasi besar. Sejarah NU telah membuktikan hal itu berulang kali. Namun perbedaan tersebut harus dijaga dalam bingkai adab, tawāḍu‘, dan musyawarah. Bukan dalam suasana saling curiga, saling menegasikan, apalagi membuka aib jam’iyah di hadapan publik.
Sebagai para khadam jam’iyah, kita semua perlu senantiasa mengingat bahwa NU bukan milik pribadi atau kelompok. NU adalah titipan para muassis, para masyayikh, dan para wali Allah yang membangunnya dengan tirakat, air mata, dan pengorbanan lahir-bathin. Karena itu, sungguh tidak patut bila perbedaan yang sebetulnya dapat diurai justru nanti pada akhirnya akan meretakkan bangunan besar yang telah diwariskan kepada kita.
Memahami Masalah: Beyond Regulation
Akhir-akhir ini arah konflik di PBNU semakin sulit ditebak ujung pangkalnya. Eskalasinya kian meruncing dan perlahan melelahkan batin nahdliyyin. Sayangnya, konflik yang ada tidak bertumpu pada perkara substantif seperti visi jam’iyah atau program strategis untuk kemaslahatan umat. Media sosial justru menjadi arena utama, dengan “perang PDF” yang menjadikan AD/ART, Perkum, tafsir kewenangan, dan narasi keabsahan sebagai alat saling menafikan. Masing-masing pihak merasa paling sah, paling legitimate, dan paling benar. Musyawarah-mufakat yang semestinya menjadi jalan hikmah pun kehilangan wibawanya sebagai ruang mencari solusi bersama.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh unsur mustasyar, syuriah, dan tanfidziyah cenderung berjalan dengan logika kewenangan yang parsial. Dengan tetap berkhusnudh-dhon, niatnya boleh jadi baik. Namun langkah-langkah tersebut belum bergerak dalam satu kerangka resolusi konflik yang utuh dan dipercaya bersama. Alih-alih membangun majelis etik dan musyawarah jam’iyah, masing-masing unsur tampil dengan pernyataan dan keputusan sendiri-sendiri, sehingga terkesan saling menafikan. Ketika otoritas keagamaan, struktural, dan administratif tidak berbicara dalam satu bahasa hikmah, konflik justru akan terus berlanjut.
Keadaan ini semakin runyam ketika ikhtiar yang ada lebih menonjolkan pembenaran posisi masing-masing ketimbang pemulihan kepercayaan jam’iyah. Proses yang seharusnya meneduhkan berubah menjadi klarifikasi sepihak yang mudah dibaca sebagai manuver. Absennya mediator yang netral dan dipercaya bersama, minimnya transparansi, tipisnya empati terhadap kegelisahan nahdliyyin di akar rumput, serta masuknya kepentingan politik dan ekonomi eksternal, membuat konflik terus meningkat tanpa arah penyelesaian.
Jika dibiarkan situasinya seperti ini, PBNU berisiko menjauh dari karakter dasarnya sebagai ruang hikmah, keteladanan, dan pemersatu umat. Jika perdebatan atau solusi hanya berbasis nalar legalisme, yang akan muncul adalah pertarungan antara kebenaran subtantif dan kebenaran procedural. Inisiasi sebaik apapun mustasyar akhirnya tidak memiliki kekuatan mengikat hukum bagi struktur yang ada. Dalam ilmu tata negara, posisinya seperti DPA. Upaya saling menyalahkan, kritik, atau menyalahkan salah satu pihak, yang diangkat di public, di tengah polarisasi saat ini, tidak akan banyak membantu mengurai masalah yang ada.
Tiga Akar Masalah
Selama langkah-langkah penyelesaian masih bergerak dalam agenda dan kewenangan yang parsial, kebuntuan akan terus terjadi. Apa pun format yang ditawarkan (status quo, MLB, maupun muktamar dipercepat) tidak akan menyentuh akar persoalan tanpa kerangka resolusi bersama yang disepakati. Tanpa kesepakatan etik dan mekanisme bersama, langkah-langkah itu (apapun hasilnya akhirnya) mudah saling berbenturan atau menyisakan persoalan. Kami mengidentifikasi tiga akar masalah sistemik yang membuat permasalahan yang ada tidak segera tertangani dengan cepat dan tuntas.
Pertama, diakui atau tidak, pemicu persoalan selama ini bermula dari konsesi tambang yang diberikan pemerintah. Isu ini perlahan menggeser orientasi jam’iyah dari khidmah sosial-keagamaan ke wilayah ekonomi-politik yang sarat kepentingan. Tambang ternyata bukan sekadar ikhtiar kemandirian finansial, namun telah menghadirkan beragam debat akademik, persoalan etik, ekologis, dan pembagian kewenangan yang tajam. Dalam praktiknya, tambang lebih banyak menimbulkan mudarat, memicu kecurigaan, dan memperdalam polarisasi, sehingga menjauhkan NU dari khittahnya sebagai kekuatan masyarakat sipil.
Kedua, kebuntuan konstitusional terutama dalam relasi antara syuriah dan tanfidziyah yang sama-sama merasa memegang mandat muktamar. Batas kewenangan substantif tidak cukup jelas, terutama terkait mekanisme pemecatan pengurus hasil muktamar. AD/ART ditarik ke berbagai tafsir, diperuncing oleh Perkum yang dinilai kurang koheren. Muktamar yang seharusnya menjadi sumber legitimasi bersama justru berubah menjadi objek perebutan tafsir. AD/ART yang ada mengalami kebuntuan konstitrusional ketika mengalami dinamika disruptif seperti saat ini. Muktamar yang seharusnya menjadi sumber kesepakatan bersama justru berubah menjadi rujukan yang diperebutkan.
Ketiga, keberadaan Majelis Tahkim yang mandat dan daya ikatnya tidak jelas. Desain Majelis Tahkim, jika melihat komposisinya, sejatinya ditujukan untuk menyelesaikan persoalan di tingkat PW dan PC. Majelis Tahkim tidak pernah diimajinasikan untuk menyelesaikan persoalan atau konflik di level PBNU. Bagaimana mungkin, hakim mengadili dirinya sendiri, dalam satu majelis hakim. Ketidakjelasan ini menandai krisis tata kelola dan otoritas, yang jika dibiarkan berpotensi melemahkan persatuan dan kewibawaan moral jam’iyah. Majelis Tahkim yang ada tidak memilki kapasitas kelembagaan untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Lima Solusi
Berangkat dari analisis terhadap persoalan di atas, kajian kami mengusulkan lima hal pokok sebagai solusi sistemik, komprehensif, dan mengatasi konflik yang nuansanya personal. Kelima hal tersebut adalah:
Pertama, mengembalikan konsesi tambang dan menggantinya dengan fasilitasi ekonomi hijau dan biru. Langkah ini sejalan dengan orientasi jam’iyah dalam menjaga kemaslahatan jangka panjang. Ekonomi hijau dan biru seperti energi terbarukan, pertanian lestari, perikanan berkeadilan, dan ekonomi pesisir, lebih selaras dengan nilai pesantren dan jam’iyyah, yang inklusif, berkelanjutan, berpihak pada generasi mendatang, kemandirian ekonomi, keadilan ekologis, dan tanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Kedua, merumuskan tata kelola organisasi yang demokratis, terbuka, dan berintegritas dengan ruh supremasi syuriah. Hakekat NU adalah syuriah. Supremasi syuriah ini harus diterjemahkan dalam AD/ART dan Perkum tanpa kehilangan ruh demokrasi dan partisipasi kolektif. Muktamar cukup melahirkan satu mandataris utama, yakni Rais Am yang dipilih oleh Ahwa. Dari mandat inilah tertib organisasi dibangun. Tanfidziyah dipilih oleh Rais Am dari lima kandidat pilihan muktamirin, agar kepemimpinan eksekutif tetap demokratis namun tidak tercerabut dari bimbingan syuriah. Syuriah berkhidmah menjaga manhaj, hikmah, dan kebijaksanaan keulamaan. Tanfidziyah berkhidmah menjalankan roda organisasi dengan amanah dan tanggung jawab. Mustasyar berkhidmah sebagai penasehat, penyeimbang, serta penjaga kejernihan nurani jam’iyyah. Ketiganya saling membutuhkan.
Majelis Tahkim perlu dibentuk secara independen, dengan anggota yang tidak merangkap jabatan struktural. Keanggotaannya diambil dari Ahwa dan para kiai sepuh perwakilan regional. Majelis ini diberi kewenangan jelas untuk memutus pelanggaran etik dan konstitusi organisasi, termasuk pemecatan terhadap jajaran syuriah dan tanfidziah, serta membuka ruang constitutional complaint bagi semua nahdliyyin.
Ketiga, menegaskan kembali NU sebagai bagian dari masyarakat sipil sesuai Khittah 1926. NU harus menjaga jarak yang maslahat dengan kekuasaan, menyuarakan keadilan, membela kaum mustadh‘afin, dan menjadi penyangga demokrasi serta penuntun etika sosial. NU lahir dari rahim umat, tumbuh bersama rakyat, dan memperoleh legitimasi dari kepercayaan akar rumput, bukan dari kedekatan dengan negara. Dengan posisi ini, NU dapat menjalankan perannya sebagai penyangga demokrasi, menguatkan partisipasi rakyat, serta mengingatkan kekuasaan ketika melenceng dari jalan kemaslahatan. NU akan menjadi kekuatan kultural yang merawat keberagaman, menumbuhkan dialog, dan membangun solidaritas sosial lintas batas. Dari posisi ini, NU tidak akan kehilangan pengaruh, justru meneguhkan makna kehadirannya sebagai penjaga nalar public. Penegasan sebagai masyarakat sipil bukanlah langkah mundur, namun jalan istiqamah agar NU tetap setia pada khittahnya, yakni melayani umat, bangsa, dan kemanusiaan dengan martabat dan kebijaksanaan.
Keempat, membentuk badan penjaminan mutu organisasi yang diisi para akademisi dan profesional sebagai ahlul ikhtishash, yang kompeten, dan amanah. Badan ini bertugas melakukan evaluasi kinerja internal pengurus berbasis ilmu, data, dan nilai-nilai Aswaja, guna menjaga khidmah jam’iyah tetap terarah, terukur, dan terkendali. Sebagian laporannya dipublikasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada public yang menopangnya.
Kelima, seluruh solusi tersebut hanya dapat dijalankan jika didahului oleh kesepakatan bersama antara mustasyar, syuriah, dan tanfidziyah. Kesepakatan ini bukan untuk menyeragamkan pandangan, menyepakati semua point, melainkan menyepakati bahwa seluruh perbedaan diselesaikan secara bermartabat melalui muktamar. Tanpa kesepakatan ini, masing-masing akan terus berjalan sendiri dan menjauh dari tujuan utama, yakni menjaga keutuhan Nahdlatul Ulama. Jika kesepakatan tidak terbangun, maka Keputusan apapun, entah dari mustasyar, syuriah, atau tanfidziah, hanya akan menghasilkan, meminjam istilah Gus Dur, demokasi lonjong, bukan bulat. Salah satu perngorbanan yang dibutuhkan agar mufakat bisa mudah dicapai, mungkin, adalah keempatnya (Rais Am, Katib, Ketum dan Sekjend) menyatakan diri bahwa tidak akan maju lagi dalam muktamar mendatang untuk posisi tersebut.
Semoga Allah SWT membersihkan hati kita dari ego, ‘ujub, dan ghurur, serta menghiasi kita dengan ikhlas, sabar, dan tawadhu‘. Semoga jam’iyah ini senantiasa dijaga Allah dalam keberkahan dan persatuan.
Rabbanā ighfir lanā wa li ikhwaninā alladzīna sabaqūnā bil īmān, wa lā taj‘al fī qulūbinā ghillan lilladzīna āmanū.
Wallāhul muwaffiq ilā aqwamit tharīq. Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
19 Desember 2025
Yayasan Nur Iman Mlangi (Konsorsium 11 Pesantren)
Prof Dr. KHR. Tamyiz Mukharrom, Lc, MA Muhammad Mustafid, S.Fil
Ketua Sekretaris
Narahubung: 08156866002

