Quote Sujiwo Tejo tentang Ironi Budaya Modern

Quote Sujiwo Tejo
sumber : google

“Lama-kelamaan orang akan malas romantis karena takut disebut galau, malas peduli karena takut disebut kepo, malas mendetail karena takut disebut rempong. malas berpendapat karena dikira curhat.”

Sujiwo Tejo

Ironi Budaya Modern: Ketakutan Berlebihan yang Membentuk Kepribadian Malas

Dalam kehidupan modern yang penuh dengan dinamika sosial dan teknologi, perilaku manusia mengalami berbagai perubahan yang signifikan. Sujiwo Tejo dalam kutipannya yang reflektif mengungkapkan keprihatinannya terhadap kecenderungan manusia untuk menjadi malas karena takut dinilai negatif oleh orang lain. Seiring berjalannya waktu, banyak orang mulai malas menunjukkan sisi romantisnya karena takut dianggap galau, malas peduli karena takut dianggap kepo, malas mendetail karena takut dianggap rempong, dan malas berpendapat karena takut dianggap curhat. Fenomena ini mencerminkan kondisi psikologis dan sosial yang kompleks di masyarakat kita saat ini.

Romantisisme, misalnya, adalah salah satu aspek kehidupan yang sering kali dianggap remeh atau bahkan diejek dalam budaya populer. Padahal, romantisisme adalah ungkapan kasih sayang dan perhatian yang tulus terhadap orang lain. Namun, dalam era media sosial yang serba cepat dan dangkal, sikap romantis sering kali disalahartikan sebagai tanda kegalauan atau ketidakstabilan emosional. Ketakutan akan stigma tersebut membuat banyak orang enggan untuk mengekspresikan perasaan mereka secara terbuka. Mereka khawatir akan pandangan orang lain yang mungkin menganggap mereka terlalu sentimental atau tidak rasional. Akibatnya, hubungan antarindividu menjadi lebih dangkal dan kurang bermakna karena kurangnya ekspresi kasih sayang yang tulus.

Selain romantisisme, kepedulian terhadap sesama juga mengalami nasib yang sama. Di zaman sekarang, menunjukkan kepedulian yang tulus sering kali dianggap sebagai tindakan “kepo” atau terlalu mencampuri urusan orang lain. Stigma ini membuat banyak orang merasa ragu untuk menunjukkan kepedulian mereka, bahkan ketika mereka melihat seseorang yang jelas-jelas membutuhkan bantuan. Padahal, sikap peduli adalah salah satu fondasi penting dari kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Ketika orang takut dianggap kepo, mereka cenderung memilih untuk mengabaikan situasi yang seharusnya mendapatkan perhatian mereka. Hal ini berdampak negatif pada kualitas interaksi sosial dan solidaritas antarindividu.

Ketelitian dan perhatian terhadap detail adalah aspek lain yang sering kali diremehkan. Dalam budaya yang serba cepat dan instan, orang yang terlalu memperhatikan detail sering kali dianggap “rempong” atau terlalu ribet. Padahal, ketelitian adalah salah satu kualitas yang sangat penting dalam banyak aspek kehidupan, baik dalam pekerjaan, hubungan pribadi, maupun dalam menjalankan tugas sehari-hari. Orang yang teliti cenderung menghasilkan karya yang berkualitas tinggi dan mampu menghindari kesalahan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Namun, ketakutan akan stigma “rempong” membuat banyak orang enggan untuk menunjukkan ketelitian mereka, dan memilih untuk menyederhanakan segala sesuatu, bahkan ketika itu tidak sesuai.

Berpendapat dan menyampaikan pandangan juga menjadi tantangan tersendiri dalam masyarakat modern. Di era digital, di mana setiap orang memiliki platform untuk menyuarakan pendapat mereka, muncul kekhawatiran akan penilaian negatif dari orang lain. Berpendapat sering kali disalahartikan sebagai curhat atau mengeluh tentang kehidupan pribadi. Stigma ini membuat banyak orang merasa takut untuk mengemukakan pendapat mereka, meskipun pendapat tersebut penting dan konstruktif. Ketakutan ini mengakibatkan berkurangnya diskusi yang bermakna dan mendalam, serta menghambat perkembangan ide-ide baru yang bisa membawa perubahan positif.

Fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh media sosial dan budaya digital. Di satu sisi, media sosial memberikan platform bagi orang untuk mengekspresikan diri mereka. Di sisi lain, media sosial juga menjadi tempat di mana setiap tindakan dan kata-kata seseorang dapat dengan mudah dihakimi oleh banyak orang. Kehidupan pribadi menjadi lebih terbuka untuk publik, dan setiap orang merasa diawasi oleh mata yang tidak terlihat. Ketakutan akan penilaian dan kritik membuat banyak orang memilih untuk mengekang ekspresi diri mereka dan mengikuti arus yang dianggap aman.

Budaya ini menciptakan sebuah ironi. Di satu sisi, kita hidup di zaman yang menawarkan kebebasan berekspresi yang lebih besar dari sebelumnya. Di sisi lain, kebebasan ini dibatasi oleh ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain. Orang menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, mengorbankan keaslian diri mereka demi mendapatkan penerimaan sosial. Akibatnya, kepribadian dan interaksi sosial menjadi lebih dangkal dan tidak autentik.

Untuk mengatasi fenomena ini, perlu adanya perubahan dalam cara pandang dan budaya kita. Pertama, kita perlu menghargai dan menghormati ekspresi diri yang autentik. Setiap orang memiliki hak untuk menunjukkan sisi romantis, peduli, teliti, dan berpendapat tanpa harus takut dihakimi. Pendidikan dan kesadaran akan pentingnya menghargai perbedaan dan ekspresi diri dapat membantu mengurangi stigma negatif yang ada.

Kedua, media sosial perlu digunakan dengan bijak. Alih-alih menjadi tempat untuk menghakimi dan mengejek orang lain, media sosial dapat menjadi platform untuk mendukung dan menghargai keberagaman ekspresi. Pengguna media sosial perlu didorong untuk bersikap lebih positif dan konstruktif dalam berinteraksi dengan sesama.

Ketiga, penting untuk mengembangkan sikap keberanian dan ketahanan diri. Orang perlu belajar untuk tidak terlalu terpengaruh oleh penilaian negatif dari orang lain. Keberanian untuk menjadi diri sendiri dan mengemukakan pendapat adalah kunci untuk menciptakan interaksi sosial yang lebih sehat dan bermakna.

Akhirnya, kita perlu membangun budaya yang menghargai ketulusan dan keaslian. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mendorong setiap individu untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut akan stigma atau penilaian negatif. Ketulusan dalam bertindak dan berbicara akan menciptakan hubungan yang lebih bermakna dan saling mendukung.

Dalam kesimpulannya, kutipan Sujiwo Tejo mengingatkan kita akan pentingnya menghargai ekspresi diri dan mengatasi ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain. Dengan memahami dan mengatasi fenomena ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih autentik, peduli, dan bermakna. Ini adalah tantangan bagi kita semua untuk menciptakan perubahan positif dalam budaya kita dan membangun lingkungan yang mendukung kebebasan berekspresi dan menghargai keberagaman.

Baca Juga  Dawuh Gus Iqdam Muhammad : Ketika Kesalahan Terjadi, Maafkanlah