Nyai Ahmad Dahlan: Penggerak Perempuan Muhammadiyah


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Perempuan sebagai pendamping suami memiliki hak untuk menjadi pintar

Berbeda dengan R. A. Kartini, Siti Walidah—nama kecil Nyai Ahmad Dahlan—adalah sebuah kesunyian yang luput dari sejarah emansipasi Indonesia. Meskipun tokoh Ahmad Dahlan sudah dikenal di seantero negeri ini, tidak banyak yang tahu perempuan dibaliknya yang begitu hebat dan setia mendukung perjuangannya menegakkan Islam. Dialah Nyai Ahmad Dahlan yang kemudian dikenal sebagai seorang tokoh gerakan perempuan Muslim Indonesia.

Walaupun namanya tidak lebih bersinar dari Tjut Nyak Dien, Nyai Ahmad Dahlan memiliki andil yang kuat dalam mendorong kemajuan kaum perempuan melalui spirit Islam. Keterlibatannya dalam menggerakkan perempuan dimulai dengan turut dalam aktivitas Muhammadiyah dan Aisyiyah. Menurut Nyai Dahlan, perempuan bukanlah bahwahan apalagi lawan laki-laki, mereka adalah mitra suami yang juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan.

Abdi Ndalem Santri: tempat Siti Walidah ditempa

Menjadi anak dari Penghulu Kraton, H. Muhammad Fadli bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hasan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol, Nyai Dahlan dididik dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Lahir di Kauman—tepatnya di Abdi Ndalem Santri—Yogyakarta pada 1872 M, Nyai Dahlan tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya adalah sosok yang lebih mengedepankan spirit Islam dan disiplin tinggi.

Nama Kauman berasal dari bahasa Arab “qoimuddin” yang berarti penegak agama. Masyarakat yang tinggal di Kauman adalah keluarga ulama yang memiliki pengetahuan agama dan menjunjung nilai-nilai Islam. Mereka dikenal dengan abdi ndalaem santri yaitu orang-orang yang mengabdikan dirinya dalam pemerintahan. Berbeda dengan priyayi pada umumnya, abdi ndalem lebih mengedepankan etika santri dalam menjalankan tugasnya sebagai elite pemerintahan. Nafas Islami Kauman membentuk karakter bagi penghuninya; begitupun Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.

Berlatar belakang kehidupan Islam tradisional, para ulama di Kauman memiliki cara pandang yang cukup ketat dalam menyikapi budaya yang datang dari Barat. Sifat keagamaan yang ber-taqlid pada ajaran ulama madzhab membuat ulama tradisional kauman menolak segala hal tentang budaya Barat; terutama pemerintahan Belanda. Hal tersebut sedikit banyak memengaruhi penduduk di Kauman untuk menggerakkan dan menyelenggarakan pendidikannya sendiri berdasarkan ajaran Islam.

Dengan demikian para ulama di Kauman rutin mengadakan pengajian untuk masyarakat sekitar. Masyarakat mempercayakan pendidikan anaknya melalui pengajian yang salah satunya diselenggarakan oleh K.H. Muhammad Fadlil, ayah Siti Walidah. Kiai Fadlil terkenal sebagai ulama besar yang sangat menekankan pelaksanaan ajaran Islam. Dalam lingkungan seperti inilah Siti Walidah tumbuh.

Selain sebagai penghulu kraton, Kiai Fadlil—seperti elite pada umumnya di Kauman—juga bekerja sebagai pedagang dan pengusaha batik. Melalui keluarganya, Siti Walidah sejak kecil dikenalkan dengan kehidupan sederhana . Pandangan para ulama kauman banyak memengaruhi kehidupan Siti Walidah. Ia tidak pernah menempuh pendidikan formal di sekolah umum yang didirikan oleh pemerintahan Belanda. Sebaliknya, hari-harinya dipenuhi dengan pendidikan kitab-kitab Agama dan mengaji Al-Qur’an. Demikianlah, Siti Walidah begitu gemar menuntut ilmu dan berpandangan luas meskipun tidak mengenyam pendidikan formal.

Berjalan Bersama K.H Ahmad Dahlan

Seperti halnya perempuan di kalangan masyarakat Kauman, semasa remaja Siti Walidah menjalani hidup dalam pingitan. Hingga di usia tujuh belas tahun ia menikah dengan Muhammad Darwis—nama kecil K. H. Ahmad Dahlan—yang terhitung masih kerabat dengannya. Sejak saat itu Siti Walidah dikenal luas dengan sebutan Nyai Dahlan. Pernikahannya dengan Kiai Dahlan melahirkan enam orang anak; Djohana (1890), Haji Siradj Dahlan (1898), Siti Busyra Islam (1903), H. Siti Aisyah Hilal (1905), Irfan Dahlan (1907), dan Siti Zuharah Masykur (1908).

Pada masa perjalanan keluarganya, Nyai Dahlan turut mendampingi suami merintis organisasi Islam yang bergerak dalam pembaharuan pemikiran keislaman. Meskipun Nyai Dahlan bukan satu-satunya istri yang dinikahi, ia adalah yang paling lama mendampingi Ahmad Dahlan sampai wafat. Oleh sebab itu hanya Siti Walidah yang menyandang sebutan istimewa sebagai Nyai Dahlan.

Selain terdidik sebagai abdi ndalem, Nyai Dahlan juga memiliki wawasan yang luas selama mendampingi suaminya. Nyai Dahlan kemudian menjadi akrab dengan tokoh-tokoh nasional seperti Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, serta K. H. Mas Mansyur. Berkat kecerdasannya, ia berhasil mendampingi Ahmad Dahlan membawa Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nyai Dahlan pun turut dalam kaitannya merumat kemajuan perempuan Muhammadiyah. Demikian, ia juga sering dijuluki sebagai “Ibu Muhammadiyah”.

Begitulah Nyai Dahlan bersama suaminya menaruh perhatian penuh terhadap kemajuan pendidikan perempuan. Berawal dari usaha membangun perkumpulan sopo tresno—sebuah pergerakan perempuan yang didirikan Tahun 1914—hingga berganti nama menjadi Aisyiyah. Nyai Dahlan berpegang pada pendirian bahwa perempuan harus seilmu dengan laki-laki. Dunia Islam tidak akan baik jika yang maju hanya laki-laki saja sebab perempuan juga bertanggungjawab untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

 

Sopo Tresno hingga Aisyiyah: Menembus Benteng Kebodohan Perempuan

Dalam suasana kekacauan sosial-budaya-politik di kawasan Nusantara akibat cengkeraman pemerintah kolonial Belanda, Kiai Ahmad Dahlan membangun tradisi gerakan sosial Islam dan amal saleh. Pada saat itu Yogyakarta telah menjadi sebuah kota modernisasi yang akrab dengan gerakan sosial untuk memajukan Indonesia. Salah satunya yang tak luput dari perhatian adalah menggerakkan kaum perempuan ke ruang publik demi pencerdasan dan kedermawanan.

Saat feminisme masih menjadi sebuah perdebatan di Eropa, Kiai Dahlan sudah menyadari betapa pentingnya keterlibatan perempuan dalam membangun bangsa dan mendakwahkan agama. Oleh sebab itu, ditanamkan pada istrinya—Nyai Ahmad Dahlan—pengetahuan mengenai perempuan dalam pandangan Islam. Dengan demikian, Nyai Dahlan memperoleh kesempatan yang sama untuk mengurus dirinya sendiri. Pada saat itulah, muncul embrio pemikiran kehadiran sebuah perkumpulan wanita sebagaisebuah keharusan untuk mensinergikan potensi yang ada dalam diri perempuan.

Sebuah pekerjaan besar akan berhasil jika melibatkan perempuan karena ada banyak peran strategis yang dapat diemban perempuan dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu, Kiai Dahlan mencoba mendorong istrinya untuk membuat sebuah perkumpulan perempuan. Melihat ketulusan perjuangan suaminya, Nyai Dahlan begitu setia mendampingi setiap langkah Kiai Ahmad Dahlan. Bagi Nyai Dahlan, suaminya adalah guru sekaligus partner dalam memperjuangkan Islam dan menggerakan perempuan.

Baca Juga  Biografi Lengkap Syekh Abdus Samad Beserta Ajarannya

Namun demikian, bukan hal yang mudah membesarkan organisasi perempuan pada masa itu. Sebelumnya, masayarakat Kauman menganggap bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki. Sehingga Nyai Dahlan harus berjuang menembus benteng kepercayaan kolot—yang menyebut sepak terjangnya melanggar kesusilaan perempuan. Tapi, melalui sopo tresno, sedikit demi sedikit masyarakat mulai terbuka dengan pemikiran Nyai Dahlan. Ia menanamkan pandangan kepada perempuan bahwa mereka adalah partner laki-laki sehingga wajib mempertanggungjawabkan dirinya sendiri kapada Allah.

Dalam rangka pembentukan organisasi perempuan, Nyai Dahlan memilih jalan pendidikan dengan memberikan pembelajaran dan memberantas buta huruf bagi mereka. Sebagai langkah awal dikumpulkannya beberapa perempuan dari keluarga sendiri hingga diperluas menjadi lingkup tetangga. Atas gerakan kecil itu, mereka yang telah memperoleh pendidikan dari pasangan suami istri Ahmad Dahlan diserahi tugas untuk menyebarkan ilmunya dan mempimpin para perempuan. Kelompok kecil ini kemudian disebut dengan kelompok pengajian yang beranggotakan remaja putri.

Selain remaja, para orang tua pun tidak pernah absen dari perhatian Nyai Dahlan. Orang tua adalah komponen yang memiliki peran penting pada pendidikan di dalam keluarga. Memajukan perempuan teruma orang tua berarti pula memajukan generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, kepada mereka, Nyai Dahlan memberi pelajaran melalui forum khusus. Dengan demikian lahirlah kelompok pengajian perempuan tidak hanya untuk remaja melainkan juga orang tua. Dari aktivitas tersebut kemudian tercetuslah nama “sopo tresno”.

Sopo tresno yang dikonstruksi pada Tahun 1914 ini berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti “siapa cinta” atau “siapa suka”. Walaupun belum menjadi sebuah organisasi—karena belum memiliki anggaran dasar dan perantuaran lain, kelompok pengajian sopo tresno ini telah memfokuskan programnya pada peningkatan kualitas anggota pengajian dan bergerak pada bidang sosial keagamaan. Kegiatan yang dilakukan berupa pengkajian agama yang disampaikan secara rutin oleh Kiai dan Nyai Dahlan.

Sesuai dengan nafas pergerakan masyarakat Kauman, anggota sopo tresno diajak mendalami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perempuan. Oleh sebab itu, rekonstruksi pemikiran perempuan di kalangan masyarakat semakin berkembang pesat. Nyai Dahlan mengharapkan tumbuhnya kesadaran bagi perempuan tentang hak dan kewajibannya sebagai manusia, istri, hamba Allah, sekaligus warga negara yang baik.

Kepandaian Nyai Dahlan dalam mengemas penyampaian pengajian, membuat sopo tresno bisa merangkul semua kalangan masyarakat—dari buruh hingga priyayi. Bagi Nyai Dahlan, pendidikan berlaku untuk semua kalangan masyarakat tanpa memandang golongan dan pangkat. Sehingga dalam kajian sopo tresno, setiap kalangan memiliki mediasi untuk berbagi cerita dan masalah. Dengan penghapusan kelas sosial tersebut, sopo tresno semakin menarik perhatian masyarakat luas. Dalam konteks dakwah, sopo tresno memiliki signifikansi untuk menghambat proses Kristenisasi di Pulau Jawa.

Perkembangan sopo tresno yang terbilang sangat pesat ini menggugah para penggedhe untuk melakukan pertemuan khusus di rumah Nyai Dahlan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Kiai Dahlan, Kiai Mukhtar, K. H. Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan pengurus Muhammadiyah lainnya. pertemuan tersebut kemudian membahas tentang pengembangan sopo tresno menjadi sebuah organisasi perempuan Islam yang memiliki anggaran dasar dan peraturan lainnya. Semula muncul nama “Fatimah” yang diusulkan sebagai nama organisasi tapi tidak disepakati oleh semua tokoh yang hadir. Kemudian oleh Haji Fakhruddin diusulkan sebuah nama “Aisyiyah”. Atas usalan Haji Fakhruddin tersebut kemudian disepakati nama “Aisyiyah”—diambil dari nama Siti Aisyah istri Rasulullah SAW—sebagai nama organisasi yang mapan.

Nama Aisyiyah yang telah disepakati tersebut diharapkan mewarisi perjuangan dari Siti Aisyah dalam turut mendakwahkan Islam sebagai seorang muslimah. Dengan demikian, pada 22 April 1917 M atau 27 Rajab 1355 H organisasi Aisyiyah secara resmi berdiri. Bertepatan dengan peringatan Isra, Mi’raj Nabi Muhammad SAW, upacara peresmian organisasi Aisyiyah dilaksanakan secara khidmad. Adapun pengurus pertama organisasi ini adalah: Siti Bariyah sebagai ketua, Siti Badilah sebagai penulis, Aminah Harawi sebagai bendahara. Sedangkan beberapa nama yang mengisi kaanggotaan adalah Ny. Abdullah, Fathmah Wasil, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, serta Siti Busyra. Berkaitan dengan konsultan administrasi dan organisasi dipegang oleh Haji Mukhtar.

Selanjutnya pada tanggal 5 Januari 1922 Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Organisasi yang semakin sistematis itu kemudian mengembangan berbagai program pembinaan dan pendidikan wanita. Beberapa program tersebut antara lain: mengirim siswa praja wanita untuk membina dan mengembangkan puteri-puteri di luar sekolah sebagai kader, mengirim para mubaligah ke kampung-kampung untuk memimpin shalat tarawih, mengadakan kursus agama Islam, serta mengadakan perayaan hari besar Islam.

Pada tahun-tahun selanjutnya, Aisyiyah berkembang pesat dan menemukan bentuknya sebagai organisasi perempuan modern. Gerakan yang mengusung cita-cita ideal untuk menegakkan dan menjunjung tingga Agama Islam tersebut semakin giat mengepakkan sayapnya. Beberapa bentuk program yang menjadi senjata untuk mencapai cita-cita idealnya antara lain:

pertama, mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan menurut ketentuan Islam. Usaha yang dilakukan berkaitan dengan tujuan tersebut adalah memberikan bimbingan kepada perempuan kearah kesadaran beragama dan berorganisasi. Selain itu, mereka berupaya membimbing anak muda menjadi muslimah yang berguna bagi Agama dan Bangsa. Pergerakan ini juga memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntutan Islam dengan memajukan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Serta berusaha menggiatkan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.

Kedua, membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka membangun Islam seutuhnya. Aisyiyah mencoba menggerakkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan takwa. Selain itu, mendirikan, memakmurkan, dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. Keempat, mempergiat penyelidikan ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurnia. Serta yang kelima, memantapkan persatuan dan kesatuan dalam pembangunan nasional.

Perjalanan Aisyiyah tidak berhenti sampai di situ, Aisyiyah juga mendirikan madrasah yang bertugas mengurusi sekolah khusus puteri serta urusan Wal Ashri yang mengusahakan beasiswa bagi masyarakat kurang mampu. Dari sini munculah pengajian Wal-Ashri dan Kuliatul Muballighin yang tumbuh menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammadiyan sebagai sembrio lahirnya Universitas Muhammiday Yogyakarta. Selanjutnya pada Tahun 1939 Aisyiah mengalami kemajuan dengan menambah urusan pertolongan (PKU) yang bertugas menolong kesengsaraan umum. Disamping itum Aisyiyah juga mendirikan Biro Konsultasi Keluarga.

Baca Juga  Biografi Lengkap KH. Abdul Ghofur Beserta Ajarannya

Dalam membimbing gerak langkah Aisyiyah, Nyai Dahlan rajin berkeliling untuk berdakwah bahkan sampai ke pelosok desa di Yogyakarta. Tidak terbatas di Yogyakarta, Nyai Dahlan bersama pengurus Aisyiyah pun sering mengadakan perjalanan ke luar kota untuk menyebarkan nafas pergerakan perempuan muslim. Ia melakukan pembinaan di cabang-cabang Aisyiyah seperti Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Ponorogo, Madiun dan sebagainya. Dengah kegigihannya, Nyai Dahlan benar-benar terjun ke lapangan untuk membina dan mengikuti setiap gerak aktivitas organisasinya secara langsung. Demikianlah perjuangan Nyai Dahlan dari sopo tresno hingga Aisyiyah telah mendobrak tembok feodalisme dan ketidaksetaraan gender sekaligus melakukan advokasi permbedayaan kaum perempuan pada masa itu.

Modernisasi Pendidikan Islam dan Kaum Perempuan

Tekanan terhadap kaum perempuan telah membuka wacana Nyai Dahlan dalam memperjuangkan pendidikan mereka. Seperti yang telah disinggung di atas, ia menekankan bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Dengan begitu perempuan mempunyai andil dalam mendampingi suami dan mencetak generasi bangsa yang berilmu dan berakhlak sesuai dengan nafas Islam. Perhatiannya pada pendidikan Islam pu tidak sebatas untuk perempuan—melainkan untuk semua kalangan.

Sebagaimana Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan juga menyepakati “catur pusat” pendidikan yang terformulasikan melalui: pendidikan di dalam lingkungan keluarg; pendidikan di dalam lingkungan sekolah; pendidikan di dalam lingkungan masyarakat; dan pendidikan di lingkungan ibadah. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan dan perombakan mendasar pada sistem pendidikan kala itu. ia melakukan pembaharuan terhadap sistem pendidikan sekolah dan pesantren. Apa yang telah disuguhkan Belanda dalam bidang pendidikan menurutnya tidaklah buruk semua. Prinsip yang dipegang oleh Kiai Dahlan adalah al-muhafadzah ala al-qadiim as-shaaih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk.

Pada mulanya, terobosan tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan kaum Muslim. Misalnya, mereka mengecam dengan dalil “barang siapa mengikuti suatu golongan, maka ia termasuk dalam golongan itu”. Bagi mereka, Belanda adalah kafir sehingga Kiai Dahlan termasuk golongan kafir apabila mengikuti sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda. Namun demikian, yang menarik adalah ketika Nyai Dahlan—dalam barisan yang pro—mampu menyesuaikan dengan pemikiran suaminya dalam modernisasi pendidikan Islam.

Tujuan pendidikan melalui modernisasi pendidikan tersebut telah mengakhiri dikotomi tujuan pendidikan yang ada pada saat itu yaitu pendidikan barat yang berorientasi keduniawian di satu sisi dan pendidikan pesantren yang berorientasi pada akhirat semata di sisi yang lain. pendidikan seperti inilah yang secara utuh mampu mengembangkan potensi dalam diri seseorang. Sebagaimana tujuan pendidikan yang asasi dan sesuai dengan fitrah manusia. Dengan demikian pendidikan membentuk generasi muslim yang memiliki kualifikasi religiusitas, intelektualitas, serta tanggung jawab sosial yang kuat dan utuh.

Selang diterimanya pemikiran tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kesempatan memperoleh pendidikan pada umumnya banyak dimonopoli oleh kaum laki-laki. Hal ini mendorong pasangan Dahlan untuk memperluas pendidikan kepada kaum perempuan. Perjalanan panjang merintis pendidikan lambat laun memberikan ruang pada perempuan untuk turut dalam menuntut ilmu. Mulanya, Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah—dikenal sebagai Volk School Muhammadiyah—merupakan sekolah pertama yang didirikan oleh Kiai Dahlan pada 1912. Dalam proses pengembangannya, jumlah murid yang cukup banyak mampu menyeret perhatian pemerintah kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1918, kesultanan memberikan sebidang tanah yang letaknya di Kampung Suronatan yang kemudian dibangun gedung sekolah enam lokal dan sebuah surau.

Selanjutnya di tahun yang sama, Volk School (Sekolah Desa 3 Tahun) Muhammadiyah Kauman dikembangkan menjadi dua sekolah yaitu sekolah khusus laki-laki dan sekolah khusus perempuan. Sekolah laki-laki berada di kampung Suronatan dengan nama standar school Muhammadiyah (Sekolah Dasar 5 Tahun). Sedangkan sekolah perempuan tetap berada di Kauman dengan nama Sekolah Pawiyatan. Atas kondisi tersebut, Nyai Dahlan mengusulkan ide untuk mendirikan asrama khusus bagi kaum perempuan. Untuk menyermpurnakan pendidikan kaum perempuan di samping telah dibuka sekolah formal, Nyai Dahlan mengusung pendidikan nonformal dalam bentuk asrama atau pondok. Asrama khusus perempuan tersebut diperkirakan berdiri pada 1918 sebagai respon dari banyaknya kaum perempuan yang bersekolah di Pawiyatan. Melalui asrama tersebut Nyai Dahlan berharap bisa mendidik kaum perempuan khususnya di bidang Agama dan keputrian.

Awalnya yang menempati asrama khusus perempuan itu adalah anak dari Kampung Kauman. Kemudian ketertarikan santriwati untuk nyatri di asrama meluas ke wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah Muhammadiyah berkembang di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, banyak anak dari berbagai daerah dikirim ke Yogyakarta dan tinggal di asrama. Selain menanamkan pengetahuan tentang Islam di asrama, Nyai Dahlan juga menekankan pendidikan bermasyarakat agar santriwati dapat berkiprah dalam ruang-ruang publik. Salah satu contoh pendidikan langsung yang dilakukan Nyai Dahlan adalah mebawa santriwati setiap sehabis shalat subuh untuk melihat langsung kehidupan masyarakat secara lebih dekat. Sementara untuk santriwati senior dilatih untuk bertablig ke luar kota.

Berkat kegigihan dan dedikasinya tersebut, Nyai Dahlan mampu mencetak perempuan-perempuan cerdas, penuh disiplin, serta terampil melalui pendidikan bernafaskan Islam. Mendidik santriwati di asrama memang bukan suatu hal yang mudah namun Nyai Dahlan selalu bersikap baik dan penuh kasih sayang. Keikhlasan dalam mendidik yang ditunjukkan Nyai Dahlan secara langsung itu kemudian menjadi contoh santriwati. Dengan demikian banyak anak didiknya yang tumbuh menjadi pemimpin masyarakat di daerahnya masing-masing. Pendidikan yang diberikan Nyai Dahlan membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemjuan perempuan. Perjuangan Nyai Dahlan ini kemudian diikuti oleh putrinya Aisyah Hilal yang kemudian mengasih asrama hingga tahun 1968.

 

Prinsip yang Diajarkan Nyai Dahlan

Konsep pendidikan bagi perempuan menurut Nyai Dahlan adalah bahwa seorang perempuan muslim tidak boleh hanya tahu urusan berumah tangga melainkan tugas dan kewajiban mereka dalam agama serta berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, prinsip yang sering diajarkan oleh Nyai Dahlan adalah menolak adagium Jawa “wong wadon iku suwarga nunut, nerakane katut wong lanang” yang berarti surga perempuan itu tergantung pada laki-laki (suami) begitu pula nerakanya. Menurut Nyai Dahlan, Islam menegaskan bahwa semua orang baik laki-laki maupun perempuan mempunyai tanggung jawab masing-masing. Demikian seorang perempuan harus seilmu dengan laki-laki untuk mampu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Lanjut Nyai Dahlan, Islam tidak akan menjadi baik jika yang maju hanya kaum laki-laki.

Baca Juga  Biografi Lengkap KH. Marzuqi Dahlan Beserta Ajarannya

Dalam setiap kesempatan, Nyai Dahlan selalu menekankan kepada perempuan agar jangan sampai urusan rumah tangga menghalangi peran perempuan dalam masyarakat. Pemikiran tersebut bukan serta merta untuk melawan laki-laki, justru ajaran tersebut ia dapatkan dari suami yang mendorongnya berkiprah melaksanakan kewajibannya di tengah masyarakat. Demikian Nyai Dahlan pun menentang adanya kawin paksa yang berkembang dalam tradisi masyarakat Jawa Patriarki. Baginya, perempuan juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal menjadi mitra yang baik bagi suami. Dalam merealisasikan prinspinya, Nyai Dahlan bahkan sering menyertakan remaja putri asrama dalam tablig ke luar kota untuk berani tampil di muka publik.

Prinsip lain yang juga sering ditekankan oleh Nyai Dahlan adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Konsistensi prinsipnya tersebut secara pribadi direalisasikan melalui penolakan keras terhadap kebijakan pemerintahan Jepang yang memerintah anak-anak untuk menyembah matahari. Ikut serta menyembah matahari adalah sebuah kemusyrikan. Atas penolakannya, Jepang menerbitkan surat keputusan pemerintah militer Jepang di Jawa Madura tanggal 10 September 1943 yang berisi larangan bagi perkumpulan Aisyiyah untuk mengorganisir sendiri perkumpulannya sebagai pergerakan wanita yang mandiri. Namun demikian, seberapapun sulitnya hidup di masa penjajahan, Nyai Dahlan berjuang untuk membawa kaumnya tetap berada di koridor Islam. Selain itu, ia selalu memberikan nasihat kepada semua orang untuk tetap berlaku jujur dalam setiap kehidupannya sehingga sepahit apapun sesuatu jika memang benar harus dilakukan dan jika salah harus ditinggalkan.

Nyai Dahlan juga menanamkan prinsip dari ajaran falsafah Jawa yaitu “Sepi ing pamrih”. Watak dasar inilah yang dikenal sebagai budi luhur orang Jawa dan senantiasia diperjuangkan dalam hidupnya. Nyai Dahlan secara langsung memberikan contoh kepada anggotanya sebuah keikhlasan dalam membesarkan perjuangan perempuan muslim melalui sopo tresno hingga Aisyiyah. Selain itu sesuai dengan ajaran Islam bahwa dalam melakukan dakwah, ibadah, sedekah, dan lain sebagainya hendaklah dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan apapun. Begitulah prinsip yang dipegang Nyai Dahlan dalam perjalanannya menyebarkan semangat perjuangan perempuan serta memperkokoh ajaran Islam.

Melawan Penjajahan

Melalui pendidikan, Nyai Dahlan mencoba melawan penjajahan. Hal tersebut tidak terlepas dari perjuangan suaminya. Meskipun secara formal Muhammadiyah bukan partai politik namun pergerakannya dianggap merugikan pemerintah kolonial Belanda. Kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah dan Aisyiyah di bidang pendidikan adalah salah satu contoh menentang aksi pembodohan oleh pemerintah Belanda. Melalui pendekatan kompromitif, pasangan Dahlan menggabungkan metode pendidikan formal dan pendidikan pesantren. Dengan demikian, modernisasi pendidikan Islam bisa menghambat persebaran Kristenisasi oleh pemerintah Belanda.

Setelah kekuasaan Belanda di Indonesia berhasil diambil ali oleh Jepang pada Tahun 1942, keadaan rakyat semakin terpuruk. Banyak tekanan-tekanan yang diberikan oleh pemerintah Jepang. Beberapa organisasi yang dianggap mengancam pendudukan Jepang tidak diperbolehkan mengadakan perkumpulan secara mandiri. Begitu juga yang menimpa Aisyiyah kala itu, sesuai dengan surat keputusan Pemerintah Militer Jepang di Jawa Madura tanggal 10 September 1943 melarang Aisyiyah melakukan perkumpulan secara mandiri. Jepang memberikan ijin kepada Muhammadiyah untuk tetap mengadakan perkumpulan dengan syarat tidak boleh mengorganisasi kaum perempuan dan anak muda secara mandiri serta bekerja sama atas kemakmuran Asia Timur dibawah pimpinan Dai Nippon. Oleh sebab untuk memenuhi persyaratan tersebut, Aisyiyah sementara ditiadakan dari Muhammadiyah. Selain itu, Jepang juga menekan anak-anak sekolah untuk turut menyebah matahari. Kondisi tersebut membuat Nyai Dahlan tidak tinggal diam. Dengan suara lantang ia menentang seruan dari pemerintah Jepang. Nyai Dahlan menekankan kepada anak didiknya bahwa menyembah matahari adalah perbuatan musyrik yang benar-benar harus ditinggalkan.

Meskipun pada masa itu perempuan dan anak muda dibatasi geraknya—dengan hanya boleh bergabung di fujinkai dan seinedan—Nyai Dahlan senantia mendorong mereka untu tetap berjuang. Sebagai kaum perempuan, Nyai Dahlan menekankan untuk tetap mempersiapkan segala yang akan dibutuhkan untuk perjuangan Indonesia. Hal tersebut dikatakan olehnya “segeralah berangkat dan supaya kamu berikan contoh teladan. Sebagai kaum perempuan yang di garis belakang kamu harus menyiapkan segala yang dapat dibantukan kepada garis depan seperti pemeliharaan kesehatan, pengobatan, serta kegiatan kemasyarakatan lainnya.” Demikianlah Nyai Dahlan adalah tokoh penggerak perempuan Islam yang sangat disegani. Selain itu, ia juga memiliki hubungsn dekat dengan tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Bagus Hadi Kusuma, dan Jenderal Sudirman.

Perjuangan Nyai Dahlan tidak berhenti bahkan setelah Kiai Ahmad Dahlan wafat pada Tahun 1923. Selama sembilan tahun berikutnya Nyai Dahlan tetap aktif menggerakan perempuan melalui Asyiyah.  Ia sempat menghadiri kongres dalam keadaan sakit-sakitan. Terhadap perjuangan bangsa, ia bersikap tegas seperti yang telah dipesankannya kepada para konsul Muhammadiyah Tahun 1946. Nyai Dalan berpesan sebagai berikut:

“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana Almarhum K.H. A. Dahlan telah menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan. Alhamdulillah pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia telah terusir akan tetapi labih berbahaya adalah tentara Dai Nippon yang terbukti telah menarik kita pada kemusyrikan. Syukurlah dengan rahmat dan hidayat dari Allah, bangsa Indonesia telah merdeka setelah sekaligus melawan Jepang dan menolak sekutu yang diboncengi NICA untuk menjajah kembali. Maka wajiblah umat Islam berjuang terus mencapai Baldatun Thayyibatun wa rabbun ghofur. Marilah kita hidup suburkan Muhammadiyah yang akan mengisi wadah negara kita yang telah merdeka itu serta akan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.”

Begitulah pesan terakhir Nyai Dahlan kepada Muhammadiyah yang ia percayai akan meneruskan perjuangannya. Dengan segenap perjuangannya, Nyai Dahlan pun berpulang ke Rahmatullah pada hari Jumat tanggal 31 Mei 1946 jam satu siang di kediaman Kauman Yogyakarta.  Atas jasa-jasa yang telah diberikan Nyai Dahlan kepada agama, bangsa, dan negara, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada tanggal 22 September 1971 melalui SK Presiden RI No. 042/TK/Tahun 1971. (A3)

Tinggalkan Balasan