Oleh: Dzulfahmy Muhammad*

Dari Masjid ke Masjid

Hari Rabu malam tepatnya (1/6) sepeda motor Supra berplat S dengan motif bergaris hijau dan kuning menemani perjalanan spiritual saya mengembara di kota Yogyakarta (Jogja). Tak jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya, suasana malam di kota ini selalu memiliki nuansa kehangatan ketika sedang menghirup udaranya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Kali ini, saya lebih memilih untuk menyusuri kota dan melewati jalanan pemukiman warga untuk sampai di sebuah masjid. Masjid yang cukup unik dan jarang ditemui di kota lain, Masjid Jendral Sudirman (MJS). Masjid yang berada di komplek Kolombo ini dalamnya terdapat majelis dan kajian bernuansa filsafat alias “Ngaji Filsafat” yang diampu oleh Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag., dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga di setiap Rabu malam.

Selepas shalat Isya berjamaah, jarum jam menunjukkan pukul 19.35 WIB. Sengaja saya berniat datang lebih awal lantaran inilah momen pertama kali kajian diadakan secara tatap muka setelah dua tahun tertunda wabah pandemi Covid-19. Sebelum berangkat, saya mengecek kembali postingan Instagram @masjidjendralsudirman tentang judul kajian filsafat malam ini. “Judulnya Persahabatan menurut Aristoteles…. Yakin, seru banget nih!” gumamku dalam hati.

Ramainya jalanan kota di malam hari menumbuhkan kreativitas saya untuk memilih jalan di sela-sela pemukiman warga sekaligus menjadi jalur alternatif saya untuk sampai ke MJS lebih cepat. Selain itu pemukiman disini kerap menghadirkan sederet hidangan khas aroma jajanan Angkringan malam yang cukup menarik bagi para mahasiswa Jogja sekaligus para pelancong. Sepertinya, tak peduli berapa banyak junk food bertebaran, rasanya Angkringan akan tetap jadi pilihan utama para mahasiswa di akhir bulan.

Delapan menit perjalanan dengan jarak kurang lebih tiga kilometer. Sampailah saya di gerbang hijau MJS pada pukul 19.43 WIB, di luar masjid hanya ada beberapa mobil terparkir dan di sekitar masjid telah berjajar rapi dengan banyaknya sepeda motor. Berjarak tiga meter dari gerbang masuk ada tiang penunjuk bertuliskan “Mesin motor harap dimatikan!”. Saya pun mematikannya dan memilih parkiran yang paling ujung di sebelah barat masjid supaya tidak terjepit motor-motor lain ketika saya ingin pulang lebih awal.

Selepas mematikan mesin motor, tampak gerombolan muda-mudi yang sedang menunggu Pak Faiz (panggilan akrab Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag.) datang atau barangkali sedang menunggu kawan dekatnya. Sebagian besar dari mereka telah duduk rapi di tiga shaf pertama dengan segelas teh atau kopi dihadapanya, sebagian lagi sedang duduk-duduk di emperan masjid sembari kongkow ditemani secangkir teh atau kopi yang telah disiapkan oleh pengurus masjid. Teh dan kopi yang disediakan secara cuma-cuma di sini memang menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta kajian “Ngaji Filsafat”. Ibarat bank yang terkenal dengan pelayanan sejuta senyuman, maka teh dan kopi disini cukup membuat para pengkaji tersenyum lebih lebar dari biasanya.

Pak Fahruddin Faiz: Sumber Mata Air Filsafat

Masjid Jendral Sudirman Majelis Masyarakat Filsafat - dawuh guru 1

Saya memilih duduk di sebelah utara agak bersembunyi di balik tembok lantaran datang sendirian. Di sebelah tengah terpenuhi oleh jamaah laki-laki, sedang di sebelah selatan terpenuhi oleh jamaah perempuan, jumlahnya tentu lebih dari seratus orang. Tak selang berapa lama, dua orang masuk ke dalam masjid yang satu berperawakan kecil namun terlihat masih muda layaknya mahasiswa senior kampus, memakai setelan jas hitam dan berkacamata ala mahasiswa, beliaulah Pak Faiz. Sedang satu lagi berperawakan besar dan terlihat memakai outfit khas santri, yaitu seorang Master of Ceremony (MC) yang kemudian duduk sembari memberikan himbauan dan memulai jalannya kajian.

Bagi saya, pak Faiz bukan hanya sekedar guru biasa, beliau laksana mata air di tengah panasnya gurun sahara, beliau mampu memancarkan kejernihan pola berfikir, mengobati rasa kehausan para pelancong filsafat dan membangun pola berfikir masyarakat yang sehat khususnya di Indonesia. Maka tak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai “Sumber Mata Air Filsafat”.

Ngaji Filsafat Perdana Secara Laring (Setelah Pandemi): Persahabatan dalam Perspektif Aristoteles

Pak Faiz memulai kajian dengan suara khasnya ala pujangga Radio era 80-an yang membuat pendengarnya terbawa menuju dimensi kerohanian. Pelan tapi pasti, beliau mulai membangun gelombang frekuensi yang sepadan dengan para audiens yang kebanyakan terdiri dari muda-mudi mahasiswa Jogja. Tak lupa celoteh dan kelakar ringan yang sangat relate dengan kehidupan para mahasiswa menjadi daya tarik tersendiri khususnya mereka yang mengalami masalah persahabatan maupun percintaan.

Dalam bahasannya, dunia medsos saat ini kerap menghadirkan fenomena bersaing dan saling menjatuhkan yang jelas jauh dari etika masyarakat di Indonesia. Sedang dunia nyata menghadirkan persahabatan sebagai solusi atas terpecah belahnya bangsa sekarang ini.

Melalui Aristoteles (Filsuf Yunani), salah satu sumber pondasi filsafat ia membagi persahabatan menjadi tiga bentuk Filia; Pertama, persahabatan karena suatu objek sehingga menjadi apa yang dicintai. Kedua, persahabatan dengan apa yang memuaskan nafsu dengan prinsip kenikmatan/kesenangan, ini untuk kaum muda. Ketiga, persahabatan benar, yang berguna, yang baik dan bermakna.”

Tak hanya tentang persahabatan, beliau menjelaskan tentang fisafat berpikir tertib bahagia. Yaitu, untuk menjadi bahagia maka orangnya harus baik, untuk menjadi orang baik, maka harus memiliki karakter yang baik, kalau tidak, maka orang itu hanya berpura-pura. Belum pasti orang yang jujur itu baik, ada yang niat datang ngaji hanya untuk kopi dan teh, pencitraan atau bahkan sekedar nongkrong saja.

Bagaimana Cara Membentuk Karakter yang Baik?

Ada empat cara; (1) Imitasi, sering anak kecil cenderung meniru segala hal bahkan menjadi semacam pembatinan terhadap diri sendiri dan orang lain. (2) Internalisasi penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian. (3) Aksi, bahwasannya segala hal butuh aksi, tanpa aksi sebuah rencana hanyalah omong kosong. (4) Habit, sampai kepada level tertinggi yaitu kebiasaan.

Pada dasarnya, filsafat filosofia kedekatan ada empat, yaitu cinta (Eros), persahabatan (Philia), rasa sayang karena ikatan keluarga (Storcli) dan cinta ketuhanan sama halnya dengan ikhlas yang tanpa syarat (Agape).

Persahabatan merupakan hubungan (relationship) yang saling mengakui kehadiran. Beliau berkelakar banyak orang menyatakan cinta tapi malah diminta jadi sahabatan saja, banyak orang yang judi seakan akan berkumpul atau berteman, tetapi aslinya hati mereka sedang bermusuhan.

Di dalam Alquran surat Al-Hasyr ayat 13:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada berakal.”

Sebagai ilustrasi, ada dua orang sahabat yang tidur di kos, sahabat yang pertama tidak bisa tidur jika lampu padam, sedang sahabat yang kedua tidak bisa tidur jika lampu tidak menyala, keduanya bersikukuh dan pada akhirnya keduanya tidak tidur pada malam itu.

Dasar persahabatan ada tiga, yaitu besahabat dengan yang baik kemudian yang bermanfaat dan yang terakhir yang berguna. Manusia punya kecenderungan suka pada yang baik-baik. Mengapa hari ini kita susah guyub rukun? Karena kita tidak melihat bahwasanya tidak ada manusia yang jahat 100%, manusia selalu memiliki sisi-sisi yang baik. Kebanyakan dari kita tidak melihat titik yang sama yaitu kebaikan. Maka, sudah seharusnya diantara kita ada rasa saling menguatkan demi terciptanya kebaikan.

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Serang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (HR Bukhari dan Muslim”

Kata-Kata Bijak Fahruddin Faiz

“Orang itu tidak mungkin melakukan kebaikan tanpa ada sahabatnya, ada banyak kebaikan yang macet karena tidak ada sahabatnya.”

“Tidak punya sahabat jujur dan penyayang, maka kita tidak ada gunanya.”

“Apa gunanya kemakmuran tanpa adanya tujuan kebaikan itu pada siapa?”

“Sahabat adalah peluang kita melakukan kebaikan.”

“Dengan punya sahabat kita akan lebih terkendali”

“Sahabat adalah arena kebaikan.”

“Kalau ingin bahagia maka lakukan kebaikan.”

“Persahabatan berdasarkan kemanfaatan adalah untuk para penipu.”

“Keadilan harus selalu berpasangan dengan kebaikan.”

Di dalam Alquran surat Al-Nahl ayat 90:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu semoga kau sanggup mengambil pelajaran.”

“Friendship atau persahabatan pada dasarnya no sorry no thank you.”

“Sebelum mencintai sahabat harus mencintai diri sendiri.”

“Mencari teman cepat, mencari sahabat pelan-pelan.”

“Bersahabat dengan orang jahat hanya boleh pada level kesenangan dan kemanfaatan, tapi tidak untuk kebaikan.”

Saya (penulis) mengibaratkan MJS menjadi sumber revolusi pemikiran anak bangsa sekaliber dengan kewibawaan sastrawan Yogyakarta Emha Ainun Najib dengan Majelis Masyarakat Maiyahnya, maka tak berlebihan jika saya menyebut Masjid Jendral Sudirman sebagai Majelis Masyarakat Filsafat. Menuju Masjid Membudayakan Sujud.

Pada akhirnya, penulis kembali ke masjid awal ditemani motor supra menyempatkan diri membeli gorengan di Angkringan pemukiman sebagai hidangan sekaligus teman menulis tulisan ini di tengah malam yang temaram.

*Dzulfahmy Muhammad. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.