Oleh: Ali Adhim
Ada yang berubah dalam cara kita memahami kekuasaan. Jika dulu kekuasaan adalah kursi dan palu sidang, kini ia hadir di mimbar, di layar televisi, bahkan di nada-nada sholawat. Seperti alunan musik yang samar, ia merasuki ruang batin kita tanpa kita sadari.
Gelar “Gus yang diperdebatkan” adalah salah satu tanda dari perubahan ini. Gelar yang terkesan akademis, tetapi lebih sering menjadi simbol politis. Di balik penghormatan itu, ada sebuah narasi: bagaimana agama, popularitas, dan kekuasaan saling berkait dan bercampur dalam warna yang kadang sulit dibedakan.
Sholawat, dalam keindahan syairnya, adalah medium spiritual yang tak hanya mendamaikan, tapi juga menggugah. Ia membawa kita ke dunia yang lebih tinggi—atau setidaknya seharusnya begitu. Tetapi ketika sholawat diperdengarkan di lapangan luas, dengan ribuan orang yang berbaris rapi sambil mengibarkan bendera, ada sesuatu yang berubah. Sholawat menjadi alat. Tidak lagi hanya untuk doa, tetapi untuk menyatukan dan memobilisasi.
Max Weber, seorang sosiolog besar, pernah berkata: “Religious beliefs have often been used as a justification for political action, but the danger lies in confusing the authority of faith with the legitimacy of power.” (Keyakinan agama sering digunakan sebagai pembenaran tindakan politik, tetapi bahayanya adalah ketika otoritas iman disamakan dengan legitimasi kekuasaan.)
Kata-kata Weber menemukan relevansinya di sini. Ketika sholawat berubah menjadi instrumen kekuasaan, ia meninggalkan fungsi utamanya sebagai medium spiritual. Ia menjadi simbol yang memukau, tetapi kadang menyesatkan.
Mungkin, bagi sebagian orang, ini bukan masalah. “Agama memang harus hadir dalam politik,” Tapi bagi Gandhi: “Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is. But politics without principles is a deadly game.” (Mereka yang mengatakan agama tidak ada hubungannya dengan politik, tidak tahu apa itu agama. Namun, politik tanpa prinsip adalah permainan mematikan.)
Apa yang terjadi jika prinsip-prinsip itu hilang di tengah tepuk tangan massa? Sholawat yang seharusnya mendorong keikhlasan bisa menjadi alat legitimasi, dan legitimasi adalah langkah pertama menuju dominasi.
Ada yang terasa ganjil di sini. Tokoh agama, dengan gelar dan popularitasnya, menjadi magnet politik. Dengan gelar “Gus yang diperdebatkan” mereka tidak hanya menjadi simbol moral, tetapi juga intelektual. Sebuah kombinasi yang dalam banyak kasus, terlalu kuat untuk dilawan. Al-Ghazali, ulama besar dari Timur, pernah mengingatkan: “Religion and power are twins; religion is a foundation, and power is its protector. That which has no foundation will crumble, and that which has no protector will perish.”(Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar; agama adalah fondasi, dan kekuasaan adalah pelindungnya. Yang tidak memiliki fondasi akan runtuh, dan yang tidak memiliki pelindung akan hancur.)
Tetapi ada yang luput dari peringatan ini. Bagaimana jika kekuasaan justru menjadi ancaman bagi agama itu sendiri? Bagaimana jika agama kehilangan keaslian spiritualnya karena terlalu dekat dengan kekuasaan?
John Locke pernah memperingatkan tentang pentingnya menjaga jarak antara keduanya: “The Church itself is a thing absolutely separate and distinct from the commonwealth and civil affairs.” (Gereja itu sendiri adalah sesuatu yang sepenuhnya terpisah dan berbeda dari urusan negara dan sipil.)
Namun, di negeri ini, agama dan politik adalah dua sungai yang alirannya sering bertemu. Ketika aliran itu bergabung, ia membawa kekuatan besar, tetapi juga potensi banjir yang merusak.
Mungkin, ini bukan hanya soal Gus yang diperdebatkan, atau sholawat yang menggema di lapangan. Ini adalah soal bagaimana kita memahami kekuasaan dalam bentuknya yang baru. Kekuasaan yang tidak lagi berbicara melalui senjata atau undang-undang, tetapi melalui nada dan syair, melalui doa dan mimbar.
Dan di tengah itu semua, kita sebagai masyarakat harus tetap waspada. Karena kekuasaan, seperti cahaya, bisa menyilaukan. Dan dalam silau itu, kita sering lupa bahwa bayangan panjang yang terbentuk di belakangnya adalah milik kita sendiri.