Oleh: Mambaul Athiyah

(Kemunculan Perempuan yang Inspiratif, Baik di Kancah Nasional Maupun Dunia Pesantren)

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Perempuan adalah orang pertama yang berinteraksi dengan anak-anaknya. Dikatakan pula bahwa perempuan adalah sosok yang paling bisa dekat dengan anak, mereka mengajarkan semua yang pertama kali kepada dunia (melalui anak-anaknya) juga menyuntikkan semua nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, perempuan harus paham terlebih dahulu tentang arti hidup, harus kokoh, harus memiliki kesabaran luas, memiliki nilai-nilai kehidupan, mengajarkan rasanya menyayangi dalam hal ini terkait dengan perdamaian, toleransi dan yang terpenting lagi adalah mampu mengenalkan apa itu empati kepada anak-anaknya (dunia secara luas).

Perempuan juga multitasking. Menghapal sambil memasak, oke. Menggendong anak sambil mengajar, smart. Mengaji sambil membawa anak-anak serta dan mampu memperhatikan mereka itu adalah talenta. Belum lagi saat mengerjakan tugas menumpuk dengan cepat dan sigap dalam dua bidang yang berbeda ini adalah bentuk keistimewaan perempuan yang sangat diakui khalayak. Hal ini membuat perempuan mampu membuat jaringan-jaringan baru dengan banyak orang dengan lebih mudah, mereka juga membuat afirmasi-afirmasi positif di saat berkegiatan dan berorganisasi. Ibarat pepatah, perempuan itu magis. Sentuhannya mendamaikan dunia, senyumannya menceriakan dunia.

Namun, perempuan juga masih banyak yang menjadi korban kerasnya dunia. Deritanya dianggap aib jika diceritakan padahal mereka yang berani speak up adalah sebuah usaha untuk meraih kedamaian untuk dirinya sendiri yang nantinya akan bisa berimbas kepada dunia sekitarnya.

Dan, hal demikian ini sayangnya masih dianggap sesuatu yang tidak pantas diumbar di media, di depan tetangga bahkan dalam lingkungan keluarga. Anehnya, terkadang makhluk yang terkenal berempati ini seringkali juga ditemukan nyinyir dan tidak berempati kepada kaumnya sendiri. Saling menjatuhkan dan rivalitas perempuan bahkan bisa dilakukan dalam diam dan ketidakberpihakan.

Untuk membentuk masyarakat yang sadar dalam mewujudkan perdamaian kaum perempuan atau bahkan menjadikan inspirasi perempuan tertentu sebagai icon perdamaian seringkali terganjal. Sakleknya anggapan masyarakat menempatkan perempuan sebagai pendengar menjadi penyebab ciut nyalinya kaum perempuan untum bersuara. Padahal, Siti Khadijah, Siti Aisyah, Siti Fatimah juga Siti Asiyah istri Fir’aun sudah menjadi contoh nyata kalau aspirasi dan ide serta sarannya didengarkan sebagai pertimbangan dalam menentukan sebuah hukum pada masanya.

Siti Asiyah dengan kecerdikannya mampu mengubah keputusan Fir’aun dari hendak membunuh Nabi Musa menjadi mengasuhnya.

Siti Khadijah mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali ke Gua Hira’ dan menerima wahyu, mempercayainya secara utuh dan mendamaikan hati Rasulullah yang bergemuruh menjadi kedamaian.

Siti Aisyah juga membuat Rasulullah melibatkannya dalam diskusi ringan hingga berat untuk mendengarkan keluhan kaum wanita dan menjadikan hukum yang lebih ramah kepada perempuan. Aspirasi dan ceritanya tentang sesama perempuan mampu menjadikan Rasulullah memiliki pandangan tentang umatnya yang perempuan juga sebaliknya mampu menjadi juru bicara Rasulullah kepada kaum perempuan terkait huku-hukum agama yang melibatkan kaum perempuan.

Siti Fatimah mampu menunjukkan betapa damainya rumah tangganya bersama Sahabat Ali bin Abi Thalib yamg melakukan pekerjaan domestik bersam-sama serta melakukan sharing parenting untuk putra-putranya juga bersama. Bahkan, etos kesungguhan Siti Fatimah menunjukkan kemandiriannya dalam rumah tangga sangat dihormati, empati dan rasa sayang yang dimilikinya membuat perdamaian di rumahnya sebagai tempat paling nyaman untuk sahabat Ali di saat pikirannya tentang banyak hal berkecamuk.

Dewasa ini, peran para perempuan di Indonesia juga kian nampak. Tidak hanya di kalangan umum, kehadiran perempuan-perempuan pesantren yang berkiprah di dunia lewat gebraka dunia maya ini tampil menunjukkan wajah baru islam di Indonesia, di mana pada awalnya mereka bergerak tersembunyi di belakang bilik pesantren dan sekarang mampu memberi imbas positif kepada masyarakat. Setidaknya gerakan mereka menginspirasi kaumnya untuk melek dunia, melek media, melek propaganda dan terlebih lagi melek terhadap realitas. Mereka juga menyebarkan afirmasi positif kepada para perempuan lainnya.

Sebut saja Mbak Yenny Wahid dan Najwa Shihab sebagai perempuan nasional yang menginspirasi. Belum lagi para nawaning yang semakin terlihat geliatnya di jagat media sosial baik nawaning dari Lirboyo seperti Ning Sheila Hasina, Ning Imas, juga nawaning dari Jombang seperti Ning Nisaul Kamilah, Ning Margareta, Ning Ita Fajria Tamim juga masih banyak lainnya. Mereka bergiat di dalam bidangnya masing-masing, menyebarkan empati serta mengajarkan perdamaian lewat sepak terjang mereka.

Hal ini merembet kepada banyak perempuan lainnya yang semakin berdaya, semakin terbuka kesempatannya untuk berkontribusi dalam perdamaian baik lewat pemikirannya maupun lewat gerakan sosialnya.

Inilah selayaknya pemaknaan yang tepat tentang maqolah Al Ummah madrosatul ula, perempuan yang penuh empati akan menularkan nilai-nilai perdamaian dan akhlakul karimah kepada generasi penerusnya.

*Mambaul Athiyah. Penulis, Penikmat Sastra, Lulusan Sastra Arab