Syekh Abdus Samad al-Palembani lahir pada 1116 H atau bertepatan pada tahun 1704 M. Beliau merupakan putra dari Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani dengan Radin Ranti.
Ayah beliau adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibu beliau adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah. Syekh Abdus Samad al-Palembani wafat tahun 1200 H atau bertepatan pada tahun 1785 M.
Syekh Abdus Samad al-Palembani memulai pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syekh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syekh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam lagi.
Mungkin Abdus Samad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada.
Kepada Syekh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syekh Abdus Samad al-Palimbani belajar kepada Syekh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.
Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut paham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al-Maturidi.
Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syekh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Oleh sebab dari kecil dia lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat bahawa dia adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.
Setelah Syekh Abdus Samad banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syekh Abdus Samad telah dipandang alim, kerana dia adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke Makkah.
Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.
Orang tua al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan Madinah. Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti MuhammadArsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun dia menetap di Mekah, tidka bermakna dia melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Syekh Al-Palembani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses ´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri.
Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, ´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Guru
- Syekh Abdul Jalil
- Syekh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok
- Syekh Muhammad bin Samman
- Syekh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani
- Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani
- Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi
- dan Abdul Al-Mun´im Al-Damanhuri
- Ibrahim Al-Rais
- Muhammad Murad
- Muhammad Al-Jawhari
- Athaullah Al-Mashri
Penerus
- Syekh Muhammad Akib Bin Hasanuddin
- Syekh Ahmad Khatib Sambas
- Syekh Muhammad Nafis al-Banjari
Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani tidak kritis. Dia dikatakan kerap mengkritik kalangan yang mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Dia selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh.
Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syekh Al-Palembani menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syekh Al-Palembani mengambil jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul wujud´ Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah SWT sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Syekh Abdus Samad berada di negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, dia bertambah kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.
Maka dia merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun dia kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan sholat istikharah. Keputusannya, dia mesti meninggalkan Palembang, kembali ke Mekah.
Lantaran anti Belanda, dia tidak mau menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya dia bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun dia sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.
Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.
Setelah perahu siap dan kelengkapan berlayar cukup, maka berangkatlah Syekh Abdus Samad al-Palembani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, dia bergiat dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan keislaman, terutamanya tentang tasawuf, fikah, usuluddin dan lain-lain.
Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan dia ke nusantara. Kepulangan Syekh Abdus Samad al-Palembani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Syekh Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya, Syekh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri Maharaja Putera Dewa.
Meskipun Syekh Abdus Samad al-Palembani lama menetap di Mekah, namun hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka berkirim surat setahun sekali, yaitu melalui mereka yang pulang setelah melaksanakan ibadah haji.
Selain hubungan dia dengan adik-beradik di Kedah, Syekh Abdus Samad al-Palembani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat mendalami ilmu tasawuf terutama Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada dia.
Dia sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).
Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).
Syekh Abdus Samad al-Palembani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, dia lebih tertarik membantu umat Islam di Patani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Syekh Wan Abdul Qadir bin Syekh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Syekh Abdus Samad al-Palembani di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Patani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan (tanah air) mereka.
Dalam peperangan itu, Syekh Abdus Samad al-Palembani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan dia bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi dia bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.
Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi, termasuk Syekh Abdus Samad al-Palembani yang diriwayat ini adalah orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Syekh Abdus Samad al-Palembani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi jihad, bukan karena mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun dia pernah mengajar di Mekah. Akhirnya Syekh Abdus Samad al-Palembani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’. Sayangnya kedatangan dia agak terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.
Sementara itu, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan. Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Syekh Abdus Samad al-Palembani pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan dia berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang Hang Tuah’ itu.
Para pengikut tasawuf percaya di sanalah dia menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan tasawuf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya bahawa dia telah mati dibunuh oleh musuh-musuh Islam.
MURID-MURID BELIAU
- Wajihud Din Al-Ahdal
KARYA-KARYA
Syekh Abdus Samad al-Palembani tidak sebanyak karya sahabatnya, Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga panjang. Sedangkan Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.
Walau bagaimanapun, Syekh Abdus Samad al-Palembani dan Syekh MuhammadArsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang produktif. Syekh MuhammadArsyad al-Banjari terkenal dengan fiqhnya yang berjudul Sabilul Muhtadin.
Syekh Abdus Samad al-Palembani adalah yang paling menonjol di bidang tasawuf dengan dua buah karyanya yang paling terkenal dan masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin. Kitab-kitab karya beliau diantaranya:
- Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
- Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
- Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
- Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
- Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
- Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
- Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
- Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
- Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
- Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
- ‘Ilmut Tasawuf
- Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
- Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
- Anisul Muttaqin
- Puisi Kemenangan Kedah. (*)